Pemikiran Jabir ibn Hayyan

 

Pemikiran Jabir ibn Hayyan

 


          Beliau merupakan seorang ilmuwan dan filosof terkemuka yang memiliki nama lengkap Abu Musa Jabir ibn Hayyan al-Azdi. Kalangan Barat mengenal dengan nama Geber. Beliau lahir di Thus Khurasan, Iran (Persia), pada tahun 721 M atau sekitar abad ke-8. Jabir adalah seorang yang berketurunan Arab, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah orang Persia. Ayahnya bernama Hayyan al-Azdi berasal dari suku Arab Azd adalah seorang yang ahli di bidang farmasi dari kabilah Yaman yang besar yaitu kabilah Azad, dan Sebagian besar dari mereka berhijrah ke Kufah setelah rubuhnya Bendungan Ma’rib. Disamping seorang yang ahli di bidang farmasi, ayahnya juga merupakan seorang yang mendukung Dinsati Abbasiyah dan ikut serta membantu meruntuhkan Dinasti Umayyah. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, ia hijrah dari Yaman ke Kufah yang merupakan salah satu kota pusat pergerakan syi’ah di Iraq. Ketika ayahnya sedang melakukan pemberontakan, ia tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah di Khurasan, kemudian ia dieksekusi dan dihukum mati. Setelah ayahnya meniggal, Jabir dan keluarganya kembali ke Yaman dan ia mulai mempelajari al-Qur’an dan berbagai ilmu lainnya dari seorang ilmuwan yang bernama Harbi al-Himyari.

          Jabir kembali ke Kufah setelah Abbasiyah berhasil menumbangkan Umayyah dan mulai merintis karirnya di bidang kimia. Ketertarikannya dalam bidang ini yang membuatnya terus mendalaminya sehingga menjadi seorang ahli dalam kimia. Ada yang mengatakan, ketertarikan kepada kimia dikarenakan oleh profesi ayahnya sebagai seorang peracik obat. Jabir ibn Hayyan hidup pada masa dua dinasti, yakni akhir kekhalifahan Umayyah dan awal kekhalifahan Abbasiyah.[1]

          Jabir kemudian mempelajari ilmu kedokteran pada masa Kekhalifahan Abbasiyah di bawah pimpinan Harun al-Rashīd dari seorang guru yang bernama Barmaki Vizier. Jabir pun terus bekerja dan bereksperimen dalam bidang kimia dengan tekun di sebuah laboratorium dekat Bawaddah di Damaskus dengan ciri khas eksperimen-eksperimennya yang dilakukan secara kuantitatif, bahkan instrumen-instrumen yang digunakan untuk eksperimennya dibuat sendiri dari bahan logam, tumbuhan dan hewani.

Di laboratoriumnya itulah Jabir berhasil menemukan berbagai penemuan besar yang sangat bermanfaat sampai saat ini, bahkan di laboratorium itu pula telah ditemukan berbagai peralatan kimia miliknya, dan setelah sempat berkarir di Damaskus, Jabir dikatakan kembali ke Kufah setelah terjadi tragedy Baramikah. Sekembalinya ke Kufah tak banyak lagi yang mengetahui tentang keberadaannya, namun dua abad setelah kematiannya barulah ditemukan laboratoriumnya seperti yang telah disebutkan tadi di atas. Di dalamnya didapati peralatan kimianya yang hingga kini masih mempesona, dan sebatang emas yang cukup berat.

Kontribusi terbesar Jabir adalah dalam bidang kimia. Keahliannya ini didapatnya dengan berguru pada Barmaki Vizier, pada masa pemerintahan Harun al-Rashid di Baghdad. Ia mengembangkan teknik eksperimentasi sistematis di dalam penelitian kimia, sehingga setiap eksperimen dapat direproduksi kembali. Jabir menekankan bahwa kuantitas zat berhubungan dengan reaksi kimia yang terjadi, sehingga dapat dianggap Jabir telah merintis ditemukannya hukum perbandingan tetap. Kontribusi lainnya antara lain dalam penyempurnaan proses kristalisasi, distilasi, kalsinasi, sublimasi dan penguapan serta pengembangan instrumen untuk melakukan proses-proses tersebut.

Sebagaimana halnya ilmuwan muslim abad pertengahan, Jabir ibn Hayyan tidak hanya mampu mendalami satu bidang ilmu tertentu, tetapi mereka juga mampu menguasai bidang keilmuwan lainnya dan sangat beragam. Selain ahli dalam bidang ilmu kimia, beliau juga ahli dalam ilmu yang lain seperti kedokteran, filsafat dan fisika. Hanya saja dari sekian banyak ilmu yang digelutinya, tampaknya ilmu kimia lebih melekat dan menonjol pada beliau. Karya-karya beliau banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan kemudian diserap oleh ilmu kimia modern. Eropa kemudian mulai mengenal istilah-istilah teknik seperti realiger (sulfit merah dari arsenik), tutia (seng oksida), alkali, antimonia, alembic, dan aludel. Demikian juga salamoniak (sejenis substansi baru kimia) telah diperkenalkan oleh Jabir ibn Hayyan yang sebelumnya tidak perrnah dikenal oleh orang-orang Yunani.[2]

Beberapa penemuan Jabir Ibn Hayyan diantaranya adalah: asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, asam asetat, tehnik distilasi dan tehnik kristalisasi. Dia juga yang menemukan larutan aqua regia (dengan menggabungkan asam klorida dan asam nitrat) untuk melarutkan emas. Jabir Ibn Hayyan mampu mengaplikasikan pengetahuannya di bidang kimia ke dalam proses pembuatan besi dan logam lainnya, serta pencegahan karat. Dia jugalah yang pertama mengaplikasikan penggunaan mangan dioksida pada pembuatan gelas kaca. Jabir Ibn Hayyan juga pertama kali mencatat tentang pemanasan wine akan menimbulkan gas yang mudah terbakar. Hal inilah yang kemudian memberikan jalan bagi Al-Razi untuk menemukan etanol.

Jika kita mengetahui kelompok metal dan non-metal dalam penggolongan kelompok senyawa, maka Jabirlah yang pertamakali melakukannya. Dia mengajukan tiga kelompok senyawa, yaitu: 1) “Spirits“ yang menguap Ketika dipanaskan, seperti camphor, arsen dan amonium klorida. 2) “Metals” seperti emas, perak, timbal, tembaga dan besi[3]. 3) “Stones” yang dapat dikonversi menjadi bentuk serbuk.

Secara kontinu Jabir mengembangkan penelitiannya di bidang kimia hingga mampu memiliki karya dalam bidang kimia mencapai 500 studi kimia, namun hanya sebagian saja yang berhasil ditemukan sampai pada zaman Renaisance. Di antara bukunya yang terkenal diantaranya adalah: 1) al-ikmah al-Falsafiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan berjudul Summa Perfecdonis, dan tahun 1678, ilmuwan Inggris lainnya, Richard Russel, mengalihbahasakan karya Jabir ini dengan judul Summa of Perfection, 2) Kitāb al-Ramah, 3) Kitab alTajmi, 4) al-Zilaq al-Sharqi, 5) Book of The Kingdom, 6) Book of Eastern Mercury, 7) Book of Balance (ketiganya diterjemahkan oleh Berthelot), 8) al-Khawash, 9) ifat al-Kaun (kosmologi), 10) al-ikmah al-Mashunah, 11) al-abi’ah, 12) Shunduq al-hikmah (Rongga Dada Kearifan), merupakan sebuah manuskrip, 13) al-Lahut, 14) al-abi’ah al-Fa’ilah al-ulā al-Mutaarrikah, 15) Kitāb al-Sumūm, 16) Asrār al-ikmah, 17) Al-Sir al-Maknun, 18) Al-Takhlish, 19) Al-Ihraq, 20) AlIbdah, 21) Shubh al-Nufus, 22) al-Sir al-Maktum, 23) al-Ijaz, 24) al-Juf al-Aswār, 25) Nihāyat al-Itqān, 26) Istiqa’at al-Mu’allim, 27) al-Kimia al-Jabiriyyah, 28) Kitāb al-Sab’in, 29) al-Zuhrā, diterjemahkan menjadi Book of Venus, 30) Kitab alAhjār yang diterjemahkan menjadi Book of Stones, 31) al-Kimya, diterjemahkan dan diterbitkan oleh ilmuwan Inggris, Robert Chester pada 1444, dengan judul The Book of the Composition of Alchemy, dan 32) Mukhtār Rasā`il.

1. Kimia Islam sebagai Embrio Ilmu Kimia Modern

Temuan empirik menjadi dasar sains-sains modern, termasuk ilmu kimia. Berabad-abad sebelum muncul peradaban Islam, premis-premis dasar kimia telah berdiri dengan kokoh seiring dengan perkembangan filsafat alam skolastik yang membentuknya.[4] Memasuki dunia kimia Islam, asumsi-asumsi dasar tersebut mengalami penyesuaian serta terjadi pertautan antara tema-tema kimiawi, spiritual, dan mistis. Para ahli kimia muslim berusaha mengungkap fenomena alam yang kadangkala bagi sebagian orang masih misteri dan sulit dimengerti menjadi sesuatu yang dapat dipelajari. Tidak jarang pula, ahli kimia muslim seringkali dianggap sebagai ahli pseudo sains.

Lebih jauh, perhatian ahli kimia muslim diarahkan pada kemampuan di seputar berubahnya logam biasa menjadi logam mulia (emas) atau disebut peristiwa transmutasi. Peristiwa ini menjadi pekerjaan umum dalam ilmu kimia hingga disusun tabel dan diagram kosmologi dari ilmuwan besar Jabir ibn Hayyan. Diagram ini menjadi populer karena mencerminkan letak unsur-unsur serta seluruh benda mati dan hidup ke dalam kerangka rasi yang dinamis. Transmutasi logam biasa menjadi emas melambangkan upaya menuju kesempurnaan atau ketinggian eksistensi. Ahli kimia klasik termasuk ahli kimia muslim meyakini bahwa seluruh alam semesta sedang bergerak menuju keadaan sempurna; dan emas, karena tak pernah rusak, dianggap zat yang paling sempurna. Dengan diubahnya logam biasa menjadi emas, ahli kimia sebenarnya mencoba membantu alam semesta menjaga kelestariannya. Maka, menjadi logis jika dengan memahami rahasia ketakberubahan emas akan ditemukan kunci untuk menjaga eksistensi dan kelestarian materi yang ada di alam semesta. Francis Bacon (1561-1626 M).

2. Peran dan Kontribusi Kimia Islam bagi Peradaban

Tokoh-tokoh yang memberi karakteristik kimia Islam adalah Jabir ibn Hayyan, ar-Razi[5] dan Izz al-Din al-Jaldaki.[6] G. Le Bon menyebutkan bahwa banyak bahan kimia yang sebelum Geber (Jabir) tidak dikenal, berkat jasanya menjadi dikenal. Beberapa zat yang ditemukan oleh ahli kimia muslim yang sampai saat ini masih terus digunakan dan bahkan telah dikembangakan menjadi senyawa penting antara lain:[7]

a. Asam Sulfat (H2SO4)

Asam sulfat mulai dikenal oleh Jabir ibn Hayyan ketika dia berhasil menemukan unsur belerang serta mereaksikan dengan merkuri dan air. Oleh alRazi, sifat bahan dasar asam sulfat, yaitu unsur belerang diklasifikasikan lebih sistematis dengan membedakan antara yang alami ditemukan di alam dengan mineral yang berhasil dibuat di laboratorium berdasarkan reaksi dekomposisinya. Temuan zat berharga oleh ilmuwan kimia muslim ini pada akhirnya mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi pada era sesudahnya. Kunci revolusi industri di Eropa dan Amerika Serikat ternyata hanya asam sulfat. Senyawa dari ikatan satu atom belerang dengan dua atom hidrogen dan empat atom oksigen atau H2SO4 ini, adalah bahan dasar untuk pembuatan berbagai produk modern.

Klaus Blum mengatakan bahwa seluruh peradaban manusia dalam 100 tahun terakhir sangat dipengaruhi senyawa dasar kimia semacam itu. Tanpa senyawa dasar seperti asam sulfat, umat manusia tidak dapat membuat obatobatan, peralatan rumah tangga sehari-hari, hingga produksi sabun, pupuk, serat nilon, kertas, seluloid dan plexiglas serta untuk perlengkapan mobil seperti air aki. Pemanfaatan yang meluas dari asam sulfat dan turunannya sudah tidak diragukan lagi. Mengacu pada kutipan di atas, salah satu contoh pengolahan kayu menjadi pulp kayu sebagai bahan dasar kertas dan karton adalah menggunakan asam sulfat.[8]

b. Asam Nitrat (HNO3)

Seperti halnya asam sulfat, asam nitrat yang berbahan dasar nitrogen juga senyawa penting yang telah dimanfaatkan secara besar-besaran pada masa sekarang. Oleh Jabir ibn Hayyan, senyawa ini digunakan untuk memurnikan tawas dan garam, sehingga dari proses penyulingan tersebut akan dihasilkan beberapa mineral anorganik seperti kalium nitrat (K(NO3)) dan natrium klorida (NaCl).

Pemanfaatan asam nitrat di era kimia modern semakin luas, diantaranya selain sebagai bahan dasar super pelarut (aqua regia), asam nitrat adalah penyusun utama dari bahan peledak TNT (2, 4, 6 trinitrotoluena) yang tersubstitusi dari senyawa benzena (bahan bakar minyak, bensin). Selain dalam bentuk TNT, asam nitrat juga berikatan dengan amonium membentuk ammonium nitrat dan berfungsi sebagai pupuk pertanian, tetapi senyawa ini dapat sebagai detonator dan eksplosif jika berkontak dengan senyawa asing seperti klorida.

c. Aqua Regia

Bahan ini adalah pelarut yang bersifat amat kuat dalam melarutkan bahan melebihi asam-asam lain yang juga dikenal dapat melarutkan bahan seperti asam klorida (HCl), asam sulfat (H2SO4), asam nitrat (HNO3). Pelarut ini dibuat dengan mencampurkan dua jenis pelarut seperti potasium nitrat dan asam klorida. Para ilmuwan masa sekarang amat terbantu dengan temuan pelarut ini. Aqua regia akan dapat melarutkan material khususnya logam murni, termasuk emas dan perak, serta alloy dan bahan polimerik yang solid dan kaku. Pelarut di atas oleh beberapa kimiawan muslim biasanya digunakan untuk kepentingan kerajaan seperti menempa logam untuk pembuatan peralatan militer, serta perlengkapan istana raja yang dimodifikasi dari bahan logam, emas, platina dan perak. Menurut E. J Holmyard,[9] Jabir ibn Hayyan juga berhasil mengidentifikasi serta mempelajari sifat-sifat dari tujuh macam logam, yakni: emas (Au), perak (Ag), timbal (Pb), timah (Sn), tembaga (Cu), merkuri (Hg) dan besi (Fe).

d. Besi (Fe)

Temuan logam besi (Fe) oleh ahli kimia muslim abad ke-8 M amat penting bagi peradaban sesudahnya. Sebagai unsur alam yang selalu tersedia dalam bentuk campurannya, ilmuwan muslim mengembangkan metode pemurnian dengan cara konvensional, di antaranya dengan melelehkan campuran besi di alam melalui pemanasan suhu tinggi dalam tanur, sehingga akan didapatkan globula (butiran yang tersebar dalam kerak semi-cair). Produk yang dihasilkan yaitu besi tempa.[10]

          Sebagai salah satu logam yang keberadaannya cukup melimpah di bumi, besi (Fe) seringkali dijumpai di alam dalam bentuk bijih, yaitu mineral yang bergabung dengan unsur lain seperti oksigen dan sulfur, adapun besi di alam lebih banyak dalam bentuk mineral hematit (Fe2O3), magnetit (Fe3O4) dan siderit (FeCo3).[11]

e. Alkohol

Identifikasi senyawa alkohol (etanol) telah dimulai sejak masa Jabir ibn Hayyan. Bahan senyawa ini kerapkali dimanfaatkan sebagai bahan peledak untuk kepentingan kerajaan yang menggunakan campuran anggur mendidih dengan dimasukkan dalam botol. Beberapa sifat lain alkohol adalah dapat memabukkan bagi siapa saja yang meminumnya. Oleh kalangan kerajaan, dibuatlah berbagai ramuan untuk minuman kerabat raja dan mayarakat golongan tertentu. Alkohol dan turunannya telah banyak digunakan dan banyak hasil temuan dan identifikasi zat serta beberapa metode analisis yang dihasilkan oleh ahli kimia Islam yang telah dinikmati dan dikembangkan oleh ilmuwan dan masyarakat pada masa sesudahnya.



[1] Philip K. Hitti, History of The Arabs, 364-368.

[2] Edy Chandra, “Religiusitas dalam Pendidikan Kimia: Pemikiran Pendidikan Kimiawan Klasik

Jabir bin Hayyan,” Jurnal Scientiae Educatia 1 No. 1, (April 2012), 6-7. Lihat juga Imelda Fajriati,

“Perkembangan Ilmu Kimia di Dunia Muslim”, Jurnal Sosio-Religia 9 No. 3 (Mei 2010), 10-60

[3] Lihat dalam Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam (Bunga Rampai dari Chicago), (Jakarta: Paramadina, 2000), 18.

[4] Howard R. Turner, Science in Medieval Islam: An Illustrated Introduction, alih bahasa Andri

Zulfahmi, (Austin: University of Texas Press, 1997), 201.

[5] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), 234.

[6] Isma`il Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang,

(Jakarta: Mizan, 1998), 362

[7] Budi Yuwono, Ilmuwan Islam Pelopor Sains Modern (Jakarta: Pustaka Qalami, 2005), 85.

[8] Nachtrib, Prinsip-prinsip Kimia Modern, alih bahasa Ahmadi Suminar (Jakarta: Erlangga,

2005), 228.

[9] E. J Holmyard, Alchemy (Inggris: Penguin Baltimore, 1957), 80.

[10] Holmyard, Alchemy, 208.

[11] Holmyard, Alchemy, 208.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH || Amsal dalam Al-Qur’an

MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN LINGKUNGAN “ PELAKSANAAN SURVEILANS PENGAWASAN AIR BERSIH DAN LIMBAH CAIR DI RUMAH SAKIT UMUM HIDAYAH PURWOKERTO”

MAKALAH || Manusia, Moralitas, dan Hukum