EVALUASI PELATIHAN

 

EVALUASI PELATIHAN





Sumber daya manusia merupakan aset yang sangat berharga yang dimiliki oleh suatu organisasi atau perusahaan. Manusia merupakan makhluk yang dapat berkembang sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Oleh karena itu, kapasitas tersebut harus senantiasa dikembangkan. karena jika tidak dikembangkan maka kemungkinan akan terjadi kemunduran bahkan statis. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah melalui program pendidikan, pelatihan dan pengembangan. Keberhasilan suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh kinerja individu karyawannya, dan setiap organisasi maupun perusahaan akan selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja karyawan sehingga tujuan perusahaan akan tercapai.

Program pelatihan merupakan upaya pengembangan sumber daya manusia. Manfaat yang akan didapatkan peserta jika mengikuti program pelatihan mungkin meliputi belajar keterampilan atau perilaku baru. Sedangkan untuk perusahaan atau organisasi mungkin meningkatnya penjualan dan pelanggan yang lebih puas. Untuk mengetahui efektivitas dan tingkat ketercapaian dari program pelatihan tersebut, maka dilakukan sebuah langkah berupa aktivitas evaluasi.

DEFINISI EVALUASI PELATIHAN

       Evaluasi program pelatihan merupakan pengumpulan secara sistematis terhadap informasi deskriptif dan penilaian yang diperlukan untuk membuat keputusan pelatihan yang efektif yang terkait dengan seleksi, adopsi, nilai dan modifikasi aktivitas pembelajaran yang bervariasi (Werner den DeSimone, 2006 233).

       Evaluasi pelatihan dan pengembangan merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan tujuan yang dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan (Nurbiyati, 2011).

       Evaluasi pelatihan adalah upaya untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan program, atau untuk mengetahui implementasi dari suatu kebijakan. Dengan demikian kegiatan evaluasi pelatihan mengacu pada tujuan sebagai ukuran keberhasilan. (Widyastuti and E. S. 2015)

Evaluasi dilakukan bukan hanya pada akhir program pelatihan saja, karena evaluasi merupakan mata rantai dari sistem program pelatihan yang dilakukan sebelum pelatihan, pada saat pelatihan dan setelah pelatihan berakhir.

      Proses evaluasi pada tahap awal yaitu sebelum pelatihan dinamakan dengan need assessment atau mencari tahu keterampilan, dan kebutuhan dari para peserta pendidikan dan pelatihan serta pengembangan sumber daya manusia.

      Evaluasi di tahap menengah pada saat dilakukan pelatihan dinamakan monitoring yang bertujuan untuk mencari informasi apakah program pelatihan yang telah disusun berjalan sesuai dengan rencana atau tidak.

      Evaluasi setelah pelatihan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat perubahan kinerja dari karyawan atau anggota organisasi setelah selesai mengikuti program pelatihan.

Evaluasi menjadi sangat penting untuk dipelajari karena evaluasi akan mengukur tingkat ketercapaian dari program pelatihan yang dilakukan. Sehingga dapat memberikan feedback untuk kelangsungan program pelatihan selanjutnya. Melewatkan tahapan yang satu ini sama saja dengan melakukan program pelatihan setengah jalan karena tidak pernah terukur tingkat keberhasilannya. Pun ketika hendak menyelenggarakan program yang sama pada periode waktu berikutnya, penyelenggara tidak memiliki tolok ukur yang baik dalam membuat pelatihan yang lebih tepat sasaran.

Program pelatihan memang harus melewati berbagai evaluasi dan uji coba. Semua ini dilakukan agar kualitas pelatihan semakin baik, kuat, dan selalu ter-update.

FUNGSI EVALUASI PELATIHAN

Menurut Fauzi (2011), fungsi utama evaluasi adalah memberikan data informasi yang benar mengenai pelaksanaan suatu pelatihan sehingga penyelenggara pelatihan tersebut dapat mengambil keputusan yang tepat untuk memutuskan apakah pelatihan itu akan diteruskan, ditunda atau sama sekali tidak dilaksanakan lagi.

Oleh karena itu, evaluasi pelatihan berfungsi sebagai suatu usaha untuk:

       Menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan pelatihan

       Menemukan faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pelatihan

       Menemukan penyimpangan atau kekeliruan pelaksanaan pelatihan

       Memperoleh bahan untuk penyusunan saran perbaikan, perubahan, penghentian, atau perluasan pelatihan.

 

TUJUAN EVALUASI PELATIHAN

Evaluasi program pelatihan dapat memiliki beberapa tujuan dalam organisasi. Menurut Phillips (dalam Kaswan, 2011), evaluasi dapat membantu:

        Menentukan apakah program mencapai tujuannya

       Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan program, yang dapat mengarah pada perubahan, seperti yang dibutuhkan

       Menentukan rasio biaya-keuntungan program pelatihan

       Menentukan siapa yang seharusnya berpartisipasi dalam program pelatihan di masa yang akan datang

       Mengidentifikasi peserta mana yang paling mendapat manfaat atau yang paling tidak mendapat manfaat dari program itu

       Mengumpulkan data untuk membantu dalam membesarkan program tersebut di masa yang akan datang

       Membangun database untuk membantu manajemen dalam mengambil keputusan

 

PENDEKATAN EVALUASI PELATIHAN (APPROACH FOR TRAINING EVALUATION)

Sebuah model evaluasi merupakan kriteria dan fokus penilaian. Karena program HRD dapat dievaluasi dari sejumlah perspektif maka penting untuk merinci sudut pandang mana yang dapat dipenirnbangkan.

The Four Levels Techniques for Evaluating Training Programs

Salah satu teori mengenai evaluasi training dikemukakan oleh Kirkpatrick (1967), yang dikenal dengan The Four Levels Techniques for Evaluating Training Programs. Kirkpatrick (1998) mengemukakan bahwa evaluasi suatu pelatihan merupakan bagian yang tidak dapat  dipisahkan   dari   pelatihan  itu  sendiri dan evaluasi  tersebut   merupakan   kegiatan   yang harus dilakukan  untuk  mengetahui apakah    pelatihan            secara  keseluruhan  berlangsung  secara  efektif atau           tidak.  

Menurut Kirkpatrick (Tupamahu, 2005), ada empat tingkatan yang dilakukan dalam evaluasi pelatihan.

  1. Pertama, evaluasi pada reaksi/reaction (evaluasi level 1) yaitu evaluasi untuk mengukur reaksi kepuasan peserta terhadap pelaksanaan pelatihan.

Tentunya sebagai perusahaan menginginkan para peserta merasa training yang mereka lakukan berguna dan membantu perkembangan mereka, sekaligus bahwa mereka merasa nyaman dengan para instruktur, topik yang diberikan, materi-materi, presentasi, serta lokasi training. Reaksi perlu diukur untuk menjadi referensi ke depan agar program training menjadi seefektif mungkin dan senantiasa berkembang, sekaligus mendeteksi apakah ada materi yang tertinggal dan tidak disampaikan.

Tips praktis untuk level ini adalah memberikan kuesioner kepada peserta, agar peserta dapat memberikan rating atas: instruktur, topik, materi-materi, presentasi yang telah diberikan, serta lokasi training.

  1. Kedua, evaluasi pada pembelajaran/learning (evaluasi level 2) yaitu evaluasi untuk mengukur sejauh mana peserta memahami materi pelatihan yang disampaikan dalam   meningkatkan tiga kompetensi: pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude).

Hal yang sebaiknya dilakukan sebelum memulai sesi training adalah dengan menyiapkan daftar tujuan pembelajaran, yang juga akan menjadi titik awal analisis nantinya. Perlu diingat bahwa hasil pembelajaran dapat diukur dengan berbagai cara, melalui perubahan pengetahuan, skill, atau sikap dan perilaku peserta. Level ini juga sangatlah penting karena berkembang atau tidaknya peserta juga dapat membantu sesi training di kemudian hari.

Tips praktis untuk level ini adalah memberikan pra dan post-test kepada karyawan.

  1. Ketiga, evaluasi pada perilaku / behaviour (evaluasi level 3) yaitu   evaluasi untuk mengukur sejauh mana peserta menerapkan / mengimplementasikan pemahaman kompetensi yang diperolehnya tersebut dalam lingkungan pekerjaannya.

Hal yang dapat dievaluasi adalah seberapa jauh sikap dan perilaku para peserta berkembang setelah menerima training. Hal ini dapat lebih spesifik terlihat dalam bagaimana mereka mengaplikasikan informasi dan materi yang mereka dapatkan. Perlu diingat bahwa sikap dan perilaku akan berubah senada dengan perubahan kondisi lingkungan sekitar. Sangat mungkin perubahan tersebut tidak tampak apabila, misalnya, dua level sebelumnya tidak diaplikasikan dan diukur dengan benar. Maka, perusahaan akan berasumsi training gagal, padahal sebaliknya. Namun, tidak adanya perubahan tidak selalu berarti para peserta tidak mempelajari apa-apa; sangatlah mungkin atasan atau lingkungan kerja menghalangi mereka mengaplikasikan apa yang sudah mereka pelajari, atau dari diri mereka sendiri memang tidak ada niatan untuk menerapkannya.

Tips praktis untuk level ini adalah melakukan pencatatan dan evaluasi terhadap perubahan perilaku yang diharapkan dari peserta, sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Contoh: kemampuan bernegosiasi, kemampuan menjual, dan sebagainya.

  1. Keempat, evaluasi pada hasil/result (evaluasi level 4) yaitu evaluasi untuk mengukur seberapa besar dampak pelaksanaan pelatihan terhadap kinerja pekerjaan ataupun hasil akhir yang diharapkan.

Di level terakhir, hasil akhir dari sesi training tersebut dapat dianalisa dan diukur. Pengukuran ini termasuk hasil akhir yang menurut perusahaan adalah baik bagi kelangsungan bisnis, para pegawai, dan segala hal yang berhubungan dengan perusahaan itu sendiri.

Tips praktis untuk level ini adalah melihat apakah ada peningkatan terhadap aspek bisnis atau proses bisnis perusahaan. Contoh: peningkatan penjualan, efisiensi waktu kerja, dan sebagainya.

Pada    prinsipnya, teori ini menyatakan bahwa proses evaluasi suatu training terdiri   dari empat tingkat/level yaitu Level 1 sampai dengan Level 4, meskipun   tidak sekuensial tetapi saling terkait satu dengan lainnya.

Model Evaluasi CIPP (Context, input, Process, Product/Output)

Model CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985) sebagai hasil usahanya mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). Konsep tersebut ditawarkan dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki.

Model CIPP (Context, input, Process, Product/Output) ini merupakan sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan untuk memberikan bantuan kepada administrator atau leader pengambil keputusan.

Model evaluasi CIPP ini terdiri dari 4 komponen:

  1. Evaluasi Konteks (Context Evaluation)

       Evaluasi konteks merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan, dan tujuan organisasi maupun individu yang belum terpenuhi.

       Evaluasi konteks berhubungan dengan analisis masalah yang berkaitan dengan kelebihan dan kelemahan suatu lingkungan dan objek tertentu.

       Evaluasi konteks membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program.

       Evaluasi konteks memberikan informasi kepada pengambil keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan datang.

  1. Evaluasi Input (Input Evaluation)

      Evaluasi input membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang dibutuhkan, menentukan alternatif, rencana dan strategi untuk mencapai tujuan yang belum tercapai serta menentukan prosedur kerja untuk mencapai tujuan.

      Komponen pada evaluasi masukan meliputi SDM, sarana dan peralatan pendukung, dana atau anggaran, serta berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.

  1. Evaluasi Proses (Proses Evaluation)

       Mendeteksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program sebagai record atau arsip prosedur yang telah dilaksanakan.

       Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki.

       Contohnya dengan membuat catatan harian setelah pelaksanaan pelatihan. Memonitor secara cermat setiap perubahan-perubahan yang terjadi pada aktivitas peserta yang telah mengikuti pelatihan.

  1. Evaluasi Produk/Output (Product/Output Evaluation)

       Evaluasi output merupakan penilaian yang dilakukan guna melihat ketercapaian atau keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya misalnya apakah ada peningkatan terhadap skill setelah dan sesudah pelaksanaan pelatihan.

       Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan, dikembangkan atau bahkan dihentikan.

Model input, Process, Output, Outcome (IPO)

Bushnell (1990) dalam Eseryel (2002) mengevaluasi sebuah pelatihan dengan menggunakan pendekatan sistem sebagai berikut.

       Input, yaitu mengevaluasi indikator kinerja sistem seperti kualifikasi peserta, ketersediaan bahan, kesesuaian pelatihan.

       Process, yaitu meningkatkan perencanaan, desain, pengembangan, dan penyampaian program pelatihan.

       Output, yaitu mengumpulkan data yang dihasilkan dari intervensi pelatihan.

       Outcomes, yaitu hasil jangka panjang yang dikaitkan dengan peningkatan lini bawah perusahaan, keuntungan, daya kompetisi, dan lainnya.

Model Training Validation System (TVS)

Model TVS (Training Validation System) yang dikembangkan oleh Fitz-Enz (1994). Model TVS menggunakan indikator situation, intervention, impact, dan value untuk menilai efektivitas dalam sebuah program pelatihan.

       Situation, yaitu mengumpulkan data pra-pelatihan untuk memastikan level kinerja saat ini di dalam organisasi dan mendefinisikan tingkat kinerja mendatang yang dikehendaki.

       Intervention, yaitu mengidentifikasi alasan adanya kesenjangan antara kinerja yang sekarang dengan yang diharapkan untuk mengetahui apakah pelatihan merupakan solusi masalah.

       Impact, yaitu mengevaluasi perbedaan antara data pra dan pasca pelatihan.

       Value, yaitu mengukur perbedaan dalam kualitas, produktivitas, pelayanan, atau penjualan yang semuanya dapat dinyatakan dalam bentuk uang.

Evaluasi model Brinkerhoff

   Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari elemen-elemen yang sama, ada banyak cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli evaluasi atau evaluator mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & CS mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator yang lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut :

a. Fixed vs Emergent Evaluation Design

Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan secara sistematik sebelum implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan program disertai seperangkat pertanyaan yang akan dijawab dengan informasi yang akan diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat sebelumnya di mana si pemakai akan menerima informasi seperti yang telah ditentukan dalam tujuan.

b. Formative vs Sumative Evaluation

Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat membantu memperbaiki program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat implementasi program sedang berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh karyawan atau orang-orang program. Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu program sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan suatu program tertentu akan diteruskan atau dihentikan. Waktu pelaksanaan evaluasi sumatif terletak pada akhir implementasi program. Strategi pengumpulan informasi akan memaksimalkan validitas eksternal dan internal yang mungkin dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama.

c. Experimental and Quasi experimental Design vs Naural/Unotrusive

Beberapa evaluasi memakai metodologi penelitian klasik. Dalam hal seperti ini subyek penelitian diacak, perlakuan diberikan dan pengukuran dampak dilakukan. Tujuan dari penelitian untuk menilai manfaat suatu program yang dicobakan. Strategi pengumpulan data terutama menggunakan instrument formal seperti tes, suvey, kuesioner serta memakai metode penelitian yang terstandar.

Evaluasi model Stake (Model Countenance) Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan membedakan adanya tiga tahap dalam program pelatihan, yaitu antecedent (context), transaction (process) dan outcomes. Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai suatu program pelatihan, kita melakukan perbandingan yang relatif antara program dengan program yang lain, atau perbandingan yang absolut yaitu membandingkan suatu program dengan standar tertentu. Penekanan yang umum atau hal yang penting dalam model ini adalah bahwa evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake mengatakan bahwa description di satu pihak berbeda dengan judgement di lain fihak. Dalam model ini antecendent (masukan) transaction (proses) dan outcomes (hasil) data di bandingkan tidak hanya untuk menentukan apakah ada perbedaan antara tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat program (Farida Yusuf Tayibnapis, 2000: 22).

Langkah-Langkah Evaluasi Program Pelatihan

Menurut Purwanto dan Atwi Suparman (1999 : 73) Dalam mengadakan evaluasi terhadap program pelatihan secara sistematis pada umumnya menempuh 4 langkah yaitu :

1.     Penyusunan Desain Evaluasi

Pada langkah ini evaluator mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi, mulai menentukan tujuan evaluasi, model yang akan digunakan, informasi yang akan dicari serta metode pengumpulan dan analisis data. Apabila langkah pertama dapat menghasilkan desain yang cukup komprehensif dan rinci, maka sudah dapat dijadikan sebagai acuan kegiatan evaluasi yang akan dilaksanakan. Rancangan atau desain evaluasi biasanya disusun oleh evaluator setelah melakukan diskusi dan ada kesepakatan dengan pihak yang akan membiayai kegiatan evaluasi atau sponsor. Namun adakalanya rencananya disusun oleh evaluator untuk dijadikan bahan mengadakan negosiasi dengan sponsor.

2.     Pengembangan instrumen pengumpulan data

Langkah selanjutnya adalah menentukan bentuk instrumen yang akan digunakan serta kepada siapa instrumen tersebut ditujukan (responden). Kemudian setelah itu perlu dikembangkan butir-butir dalam instrumen. Berbagai pertimbangan mengenai berapa banyak informasi yang akan dikumpulkan, instrumen dikembangkan sendiri, mengadopsi ataupun menggunakan instrumen baku dari instrumen yang sudah ada sebelumnya. Untuk memperoleh data yang valid maka instrumen yang digunakan harus memperhatikan masalah validitas dan reliabilitas. Selain hal tersebut, masalah efisiensi dan efektivitas harus tetap diperhatikan. Jenis-jenis instrumen yang paling sering digunakan untuk mengumpulkan data dalam evaluasi program pelatihan adalah dalam bentuk tes, angket, ceklis pengamatan, wawancara atau evaluator sendiri sebagai instrumen.

3.     Pengumpulan Data (Assessment), Menafsirkan dan membuat judgement

Langkah ketiga merupakan tahapan pelaksanaan dari apa yang telah dirancang pada langkah pertama dan kedua. Pada langkah ini evaluator terjun ke “lapangan” untuk mengimplementasikan desain yang telah dibuat, mulai dari mengumpulkan dan menganalisis data, menginterpretasikan, dan menyajikan dalam bentuk yang mudah untuk dipahami dan komunikatif. Pengumpulan data dapat dari populasi maupun dengan menggunakan sampel. Apabila menggunakan sampel maka harus representatif mewakili populasi, oleh karena harus memperhatikan teknik sampling yang baik. Berdasarkan data yang dikumpulkan kemudian dianalisis dan dibuat judgement (pertimbangan) berdasarkan kriteria maupun standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Dari hasil judgement kemudian disusun rekomendasi kepada penyelenggara kegiatan pelatihan maupun pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan kegiatan pelatihan.

Langkah ketiga ini merupakan proses esensial dari kegiatan evaluasi program pelatihan di mana terjadi dialog antara evaluator dengan objek evaluasi. Hal yang harus diperhatikan oleh evaluator pada tahap ini adalah masalah etika dan penguasaan ‘setting’ atau latar dimana evaluasi dilaksanakan.

4.     Menyusun Laporan Hasil Evaluasi

Menyusun laporan merupakan langkah terakhir kegiatan evaluasi program pelatihan. Laporan disusun sesuai dengan kesepakatan kontrak yang ditandatangani. Misalnya dalam kontrak disepakati bahwa laporan dibuat dua jenis laporan dengan sasaran atau penerima laporan yang berbeda. Dapat disepakati pula bahwa penyampaian laporan secara tertulis dan ada kesempatan presentasi. Langkah terakhir ini erat kaitannya dengan tujuan diadakannya evaluasi. Oleh karena itu gaya dan format penyampaian laporan harus disesuaikan dengan penerima laporan.

REFERENSI

Chaerudin, Ali. (2019). Manajemen Pendidikan dan Pelatihan SDM. Sukabumi: CV Jejak.

Hikmawati, Dianur. (2012). Evaluasi Efektivitas Program Pelatihan Service Excellence di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. Skripsi, Jakarta: Universitas Indonesia.

Khurotin, Nurul. (2018). Analisis Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia di PT. Beon Intermedia Cabang Malang. Skripsi, Malang: Universitas Brawijaya.

Setiyaningrum, Ayu. (2016). Implementasi Model Evaluasi Cipp pada Pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan di BPTT Darman Prasetyo Yogyakarta. Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Widoyoko, E. P. (2009). Evaluasi program pembelajaran. Yogyakarta: pustaka pelajar, 238.

Widyastuti, Umi, and Dedi Purwana E. S. (2015). “Evaluasi Pelatihan (Training) Level II berdasarkan Teori The Four Levels Kirkpatrick.” Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Vol.3 No.2 119-128.

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH || Amsal dalam Al-Qur’an

MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN LINGKUNGAN “ PELAKSANAAN SURVEILANS PENGAWASAN AIR BERSIH DAN LIMBAH CAIR DI RUMAH SAKIT UMUM HIDAYAH PURWOKERTO”

MAKALAH || Manusia, Moralitas, dan Hukum