DAKWAH SEBAGAI MEDIA PROMOSI KESEHATAN
MAKALAH
AGAMA ISLAM II :
DAKWAH
SEBAGAI MEDIA PROMOSI KESEHATAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Islam merupakan agama sempurna yang diturunkan oleh Allah
SWT untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, sesama manusia, alam semesta, maupun Tuhannya. Hal ini
bertujuan agar manusia tidak salah memilih jalan dan dapat hidup lebih terarah.
Salah satu aspek kehidupan yang diatur dalam Islam adalah kesehatan. Al-Qur’an
dan Hadits menjunjung tinggi kesehatan dengan banyak memberikan penjelasan dan
gambaran dalam urusannya yang meliputi kesehatan fisik, kesehatan mental dan
jiwa, kesehatan nutrisi, kesehatan lingkungan, serta kesehatan masyarakat.
Islam menganjurkan kita untuk mampu memelihara kesehatan baik perorangan,
keluarga, maupun masyarakat. Dalam rangka memelihara kesehatan tersebut, kita
sebagai sesama manusia sudah selayaknya untuk saling berbagi
informasi-informasi terkait kesehatan.
Promosi kesehatan merupakan kegiatan atau usaha untuk
memberikan informasi atau pesan terkait kesehatan kepada suatu individu,
kelompok, maupun masyarakat. Kegiatan ini sering dilakukan oleh para tenaga
maupun pelajar di bidang kesehatan dengan tujuan menambah pengetahuan dan juga
meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya memelihara kesehatan.
Dengan adanya pemahaman yang baik terkait kesehatan, diharapkan dapat
mempengaruhi perilaku masyarakat yang lebih peduli tentang kesehatan. Dalam
Islam, usaha untuk memberikan informasi terkait kesehatan maupun aspek yang
lainnya disampaikan melalui dakwah. Dakwah merupakan suatu kegiatan yang
bersifat mengajak atau menyeru untuk beriman dan taat kepada Allah SWT, dengan
menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam pedoman dalam menjalankan
kehidupan.
Dakwah dapat dijadikan salah satu media promosi kesehatan
karena metodenya yang bersifat massa. Hal ini juga didukung dengan fakta bahwa
Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam. Oleh
karena itu, promosi kesehatan melalui metode dakwah merupakan hal yang cukup
efektif untuk dilakukan. Dengan promosi kesehatan melalui dakwah inilah
informasi mengenai kesehatan dapat tersampaikan dengan baik serta sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Dakwah diharapkan dapat menjadi
pendidik (muaddib), pelurus informasi
(musaddid), pembaharu (mujaddid), pemersatu (muwahid), serta pembela (mujahid) pada hubungan antara umat
Muslim dan kesehatan.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan promosi kesehatan?
2.
Apa yang dimaksud dengan dakwah?
3.
Bagaimana bentuk dakwah sebagai media promosi kesehatan?
4.
Bagaimana implementasi promosi kesehatan dengan media
dakwah?
5.
Bagaimana efektivitas dakwah sebagai media promosi
kesehatan?
6.
Apa saja hambatan dari penggunaan dakwah sebagai media
promosi kesehatan?
1.3
Tujuan
1.
Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam II pada
semester empat.
2.
Mengetahui makna dakwah dan promosi kesehatan.
3.
Mengetahui bentuk implementasi promosi kesehatan dengan
media dakwah.
4.
Menganalisis efektivitas dakwah sebagai media promosi
kesehatan.
5.
Menganalisis hambatan dari penggunaan dakwah sebagai media
promosi kesehatan.
1.4
Manfaat
1.
Menambah wawasan dan pemahaman mengenai dakwah menurut Islam
dan perannya sebagai media dalam promosi kesehatan.
2.
Mengasah keterampilan menulis dan menyusun sebuah makalah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Dakwah
Istilah dakwah seringkali diartikan secara sempit sehingga
identik dengan pengajian, khutbah, dan arti sempit lainnya sehingga perlu
dipertegas arti dakwah yang sebenarnya. Ditinjau dari segi bahasa, dakwah
berasal dari bahasa Arab “Da’wah” داعواه dari kata do’a دعاء yad’u یدعو yang berarti panggilan, ajakan, seruan.
Sedangkan menurut istilah, ada beberapa ulama yang memberikan definisi yang
berbeda-beda, di antaranya :
Syech Ali Mahfudh dalam kitabnya “Hidayatul Mursyidin”
mengatakan dakwah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan
mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka pada kebaikan dan mencegah mereka
dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia akhirat (Syech
Ali Mahfudh/Khadijah Nasution, 1970:17).
1. Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh dalam
bukunya “Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam’ mengatakan bahwa dakwah adalah
seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang
benar, 10 dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat yang baik (Aboebakar
Atjeh, 1971:6)
2.
Drs. H. Masdar Helmi mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak
dan menggerakkan manusia agar mentaati ajaran-ajaran Allah (Islam) termasuk amar
ma’ruf nahi munkar untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Beberapa
definisi di atas berbeda-beda redaksinya akan tetapi setiap definisi dakwah
memiliki tiga unsur pengertian pokok, yaitu:
1. Dakwah adalah proses penyampaian
ajaran Islam dari seorang kepada orang lain.
2. Penyampaian ajaran Islam tersebut
dapat berupa amar ma’ruf (ajakan kepada kebaikan) dan nahi munkar
(mencegah segala bentuk kemaksiatan).
3. Usaha tersebut dilakukan dengan
tujuan terbentuknya suatu individu atau masyarakat yang taat dan mengamalkan
sepenuhnya seluruh ajaran Islam.
Dengan demikian dakwah adalah segala
bentuk aktivitas penyampaian ajaran agama Islam kepada orang lain dengan
berbagai cara yang bijaksana untuk terciptanya individu dan masyarakat yang
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam semua lapangan kehidupan.
2.2
Promosi Kesehatan
Menurut WHO, promosi kesehatan diartikan sebagai proses yang
mengupayakan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk
mengendalikan faktor kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatannya. Selain itu, definisi promosi kesehatan juga tertuang dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1148/MENKES/SK/VII/2005 tentang Pedoman
Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah, disebutkan bahwa promosi kesehatan
adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat,
agar mereka dapat menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya dan didukung kebijakan publik
yang berwawasan kesehatan.
Promosi kesehatan merupakan revitalisasi dari pendidikan
kesehatan pada masa lalu, dimana dalam konsep promosi kesehatan tidak hanya
merupakan proses penyadaran masyarakat dalam hal pemberian dan peningkatan
pengetahuan dalam bidang kesehatan saja, tetapi juga sebagai upaya yang mampu
menjembatani perubahan perilaku, baik dalam masyarakat maupun organisasi dan
lingkungannya. Perubahan lingkungan yang diharapkan dalam kegiatan promosi
kesehatan, meliputi lingkungan fisik-nonfisik, sosial budaya, ekonomi, dan
politik. Promosi kesehatan adalah perpaduan dari berbagai macam dukungan baik
pendidikan, organisasi, kebijakan, dan peraturan perundang-undangan untuk
perubahan lingkungan (Mubarak, 2007).
Tujuan promosi kesehatan adalah meningkatkan kemampuan baik
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat agar mampu hidup sehat dan
mengembangkan upaya kesehatan yang bersumber masyarakat serta terwujudnya
lingkungan yang kondusif untuk mendorong terbentuknya kemampuan tersebut. Upaya
untuk mewujudkan promosi kesehatan dapat dilakukan melalui strategi yang baik.
Strategi adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam
promosi kesehatan sebagai penunjang dari program-program kesehatan yang
lainnya, seperti kesehatan lingkungan, peningkatan status gizi masyarakat,
pemberantasan penyakit menular, pencegahan penyakit tidak menular, peningkatan
kesehatan ibu dan anak, serta pelayanan kesehatan. Tujuan umum promosi kesehatan yang
bermuatan pendidikan kesehatan adalah membuat perubahan perilaku pada tingkat
individu hingga masyarakat pada aspek kesehatan (WHO dalam Notoatmodjo, 2003).
Adapun tujuan lainnya, yaitu:
1) Mengubah pola pikir masyarakat bahwa
kesehatan merupakan sesuatu yang bernilai bagi keberlangsungan hidup.
2) Memampukan masyarakat, kelompok atau
individu agar dapat secara mandiri mengaplikasikan perilaku hidup sehat melalui
berbagai kegiatan.
3)
Mendukung pembangunan dan pemanfaatan sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan secara tepat.
Secara operasional, tujuan dari
adanya pendidikan kesehatan, seperti halnya:
1) Menumbuhkan rasa tanggung jawab
untuk menjaga kesehatan diri sendiri, serta lingkungan sekitar.
2) Melakukan tindakan preventif maupun
rehabilitatif agar tercegah dari peningkatan keparahan suatu penyakit melalui
berbagai kegiatan positif.
3) Memunculkan pemahaman yang lebih
tepat terkait keberadaan dan perubahan yang terjadi pada suatu sistem, serta
tata cara yang efisien dan efektif dalam penggunaannya.
4)
Memampukan diri agar secara mandiri dapat mempelajari dan
mempraktikkan hal yang mampu dilakukan sendiri sehingga tidak selalu meminta
bantuan pada sistem pelayanan formal.
2.3
Dakwah sebagai Media Promosi
Kesehatan
Di tahun 1986 WHO pada konferensi
pertama promosi kesehatan yang diselenggarakan, mendeklarasikan salah satu
definisi promosi kesehatan yang paling komprehensif, yakni proses pemberdayaan
masyarakat untuk meningkatkan kendali atas kesehatan, dan memperbaiki status
kesehatannya (Ratodi, no date).
Sejak itu telah banyak tulisan dan
kajian mengenai promosi kesehatan dan berbagai cara untuk mendesain,
merencanakan dan melaksanakan strategi promosi kesehatan. Terdapat banyak cara
untuk memulai atau mengimplementasikan program promosi kesehatan. Secara garis
besar cara yang dianggap sebagai yang paling sukses adalah adalah cara yang
berdasarkan pada kerangka kerja secara teoritis. Terdapat cukup bukti dalam
pelaksanaan promosi kesehatan yang menyarankan penggunaan kerangka teoritis
untuk meningkatkan kesempatan keberhasilan dalam mencapai tujuan awal program
promosi kesehatan (Ratodi, no date).
Kebanyakan strategi promosi
kesehatan menggunakan lebih dari satu teori di dalam pengembangan sebuah
rencana intervensi (Nutbeam, 1998). Sejauh ini pembahasan telah menunjukkan
kaitan antara agama dan kesehatan, menggambarkan berbagai konsep Islam berasal
dari tiga konsep utama Islam yang menuju kesehatan. Namun, apa yang masih
hilang adalah sebuah penguraian rinci terhadap bagaimana aplikasi nyata konsep
Islam dapat berguna dan digunakan dalam implementasi teori model promosi
kesehatan. Sebagai ilustrasi bagaimana konsep dan gagasan Islam dapat
berintegrasi ke dalam konsep dan gagasan promosi kesehatan saat ini, model Lima
Tahap dari Bracht dkk digunakan sebagai kajian analisis.
1. Analisis Masyarakat (Community Analysis)
Tahap
pertama ini membutuhkan pemahaman dan analisa yang akurat dan komprehensif mengenai
kebutuhan, sumber daya, struktur sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat. Untuk
mendorong dan memastikan desain program telah merefleksikan hal ini, tahap ini
membutuhkan keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat secara baik. Konsep Islam yang
berdasar pada Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan titik awal dalam memahami
struktur sosial dan nilai-nilai dalam sebuah masyarakat Islami. Ulama, Imam, dan Ustadz adalah sumber utama bagi
masyarakat dalam mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadits dan dengan begitu dapat ditafsirkan
sebagai pemimpin Islam yang utama dalam masyarakat Islam.
Pemahaman
terhadap berbagai macam konsep Islam seperti tiga konsep utama Islam (rukun Islam, rukun iman, dan hukum Islam) dapat memfasilitasi
sebuah analisis masyarakat yang mendalam terhadap sebuah masyarakat Islami. Ke
tiga konsep utama Islam tersebut telah memunculkan terhadap konsep-konsep lain
yang bervariasi, yang mana diterapkan dengan bentuk yang berbeda-beda didalam
masyarakat Islami di seluruh penjuru dunia. Konsep ini meliputi Dakwah,
Syariah, Shuura, Hisba dan Waqaf dan diantara konsep-konsep lainnya (Ratodi, no
date).
Dakwah
contohnya, yang hakikatnya merupakan ajakan. Islam mendorong setiap umatnya
untuk mengajak satu sama lainnya untuk memahami dan mengetahui apa yang baik dan
apa yang buruk. Ini secara jelas diungkapkan di dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf (kebaikan), mencegah dari yang munkar (keburukan), mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Akan
tetapi hal ini bukan berarti paksaan, seperti yang tercantum pada Surah An-Nahl ayat 125: “Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat
membedakan antara yang hak dengan yang bathil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dalam
memahami konsep Islam yang sederhana tapi sangat penting ini, seorang promotor
kesehatan dapat memulai dialog dengan Muslim secara langsung pada level
individu atau secara tidak langsung melalui level pimpinan. Dialog ini pada
akhirnya akan menawarkan sebuah pemahaman dan analisis yang komprehensif dari sebuah
masyarakat Islami untuk menyimpulkan tahap pertama dari model Lima tahap Bracht
(Ratodi, no date).
2. Desain – Inisiasi
Tahap
kedua dari model Lima Tahap Bracht ini adalah tahap desain dan inisiasi, dimana
tahap ini mengarahkan kepada pembentukan sebuah kelompok perencana inti dan
menyeleksi koordinator setempat. Bersamaan dengan itu, tahap ini juga meliputi
pemilihan sebuah struktur organisasi dan contoh dari hal ini diberikan dalam
bentuk dewan penasehat, aparatur desa, koalisi, perwakilan terkemuka, jaringan
informal, dan gerakan advokasi masyarakat (Ratodi, no date). Dalam Islam
konsep Shuraa adalah sebuah contoh dari struktur organisasi dalam masyarakat
Islami. Konsep ini dapat dibandingkan dengan deskripsi dari koalisi atau
aliansi beberapa kelompok masyarakat dan atau organisasi kesehatan. Konsep dari
Shuura ini tidak hanya sekedar sebuah dewan penasihat atau sebuah koalisi,
tetapi dalam komunitas Muslim Shuura diharuskan untuk bekerja sama dalam
perundingan yang saling menguntungkan dan keputusan yang diambil bersifat
mengikat (Hussein, 1998). Oleh karenanya konsep ini menyediakan sebuah
kemungkinan pintu masuk menuju tahap ke dua dari model Lima Tahap Bracht.
3. Implementasi
Implementasi
program promosi kesehatan merupakan tahap ketiga dalam Model Lima Tahap Bracht.
Dalam tahap ini, teori dan ide dirubah menjadi tindakan pemanfaatan para
profesional dan sumber daya manusia lainnya didalam masyarakat sesuai
perencanaan intervensi. Selama proses, sumber daya yang tersedia di masyarakat
dimaksimalkan dan diadapatasi dalam batasan lokal. Konsep Islam Syariah, dimana
termasuk dalam konsep hukum Islami, menawarkan panduan yang jelas dalam
menghadapi berbagai macam permasalahan di dalam Islam. Bagi seorang promotor
kesehatan, memahami ini akan sangat krusial dalam memastikan kesuksesan program
mereka. Dengan mengetahui skala dari area intervensi didalam hukum Syariah
(wajib, sunah, makruh, mubah, dan haram) seorang promotor kesehatan dapat melengkapi
dirinya sendiri dalam merancang intervensi mereka sesuai dengan sudut pandang
masyarakat Islami yang dituju dan juga memastikan kesempatan yang lebih baik
untuk sukses (Ratodi, no date). Prinsip Ijtihad dalam konsep Hukum Islam yang
mengacu pada fakta bahwa (1) hukum berubah seiring perubahan
waktu dan tempat, (2) memilih yang paling ringan derajat kerugiannya diantara dua
pilihan yang sama-sama menimbulkan kerugian, (3) melindungi kepentingan umum/umat,
juga menawarkan saluran komunikasi bagi promotor kesehatan untuk membawa masuk
ide-ide baru ke dalam masyarakat Islami (Ratodi, no date).
4. Pemeliharaan – Konsolidasi
Tema
dari tahap keempat Model Bracht adalah pemeliharaan program (maintenance)
dan konsolidasi. Zakat, Waqaf dan Shodaqoh adalah konsep-konsep yang dapat
ditemukan pada semua konsep utama Islam (rukun Islam, rukun iman dan hukum Islam) menyediakan pijakan yang
dengannya seorang promotor kesehatan dapat menjelaskan secara rinci kepada umat
untuk memastikan keberlangsungan intervensi kesehatan masyarakat. Dalam ketiga
konsep Islam ini, baik struktur finansial dan struktur lainnya di masyarakat
yang mendukung kepentingan umat ditangani dan dapat dieksploitasi untuk manfaat
intervensi kesehatan. Contohnya adalah konsep Waqaf, sebuah konsep Islam dimana
kaum Muslim yang mampu memeberikan sumbangan materi untuk kemaslahatan
(kebaikan) masyarakat, dapat menjadi sebuah arti penting untuk memastikan dan
memberikan pemasukan bagi intervensi vital dalam promosi kesehatan (Ratodi, no
date).
5. Penyebaran – Penilaian Ulang
Yang
terakhir, tahap kelima dari Model Bracht adalah penyebaran dan penilaian ulang.
Pada tahap ini elemen kuncinya meliputi memperbaharui (updating) profil
dan analisis masyarakat, dimana di dalamnya melibatkan usaha pencarian
peluang yang mungkin telah muncul dalam kepemimpinan, sumber daya dan hubungan
organisasi di dalam masyarakat. Untuk melaksanakan aktivitas pada tahap ini,
para promotor kesehatan kembali dapat menggunakan konsep Shuura, dimana telah dijelaskan pada
tahap kedua. Sebagai tambahan, beberapa saluran komunikasi lainnya dapat
diidentifikasikan di dalam masyarakat Islam, di antaranya meliputi masjid dan
madrasah. Masjid merupakan area yang sangat penting di dalam umat Islam dan
menyediakan sarana ideal bagi langkah penyebaran promosi kesehatan. Contohnya
para kaum pria Muslim berkewajiban melaksanakan sholat Jum’at di masjid. Sholat
ini dilaksanakan dalam sebuah kumpulan jama’ah dan terdapat dua khutbah selama
ibadah sholat Jum’at. Khutbah yang pertama ditujukan kepada permasalahan agama,
sementara di khutbah kedua membicarakan permasalahan saat ini yang menimpa kaum
Muslim. Dengan mengambil keuntungan dari saluran komunikasi ini, promotor
kesehatan mampu menyelesaikan intervensi promosi kesehatannya secara sukses,
berdasarkan sudut pandang dari masyarakat itu sendiri terhadap kehidupan,
kesehatan,
dan perilaku kesehatan (Ratodi, no date).
2.3.1
Alasan Dakwah dapat Digunakan
sebagai Media Promosi Kesehatan
1.
Sebagai Pendidik (Muaddib)
Melaksanakan fungsi edukasi tentang
kesehatan yang sesuai dengan ajaran Islam.
2.
Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid)
Informasi tentang kesehatan harus
diluruskan agar sesuai dengan ajaran dan kaidah Islam.
3.
Sebagai Pembaharu (Mujaddid)
Penyebar paham pembaharuan dan
pengamalan ajaran Islam tentang kesehatan.
4.
Sebagai Pemersatu (Muwahid)
Mampu menjadi jembatan yang
mempersatukan umat Islam (ukhuwah Islamiyah).
5.
Sebagai Pembela (Mujahid)
Melalui media massa, umat Islam berusaha keras mendorong
penegakan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syi’ar Islam, mempromosikan
kesehatan sesuai dengan syariat islam kepada semua kalangan umat. Peran kelima ini, sebagai mujahid, sebenarnya menyimpulkan
keempat peran sebelumnya (Mahmudah, 2013).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Implementasi
Pada dasarnya, konsep dakwah sama dengan konsep
promosi kesehatan, yaitu sebuah proses untuk membuat seseorang mau dan mampu
melakukan segala sesuatu yang menjadi determinan kesehatan melalui pemberdayaan
dan termasuk dalam media promosi kesehatan. Namun, pada kondisi tertentu dakwah
sebagai media promosi kesehatan akan lebih tepat sasaran apabila dilakukan pada
kelompok masyarakat yang agamis. Hal ini dikarenakan masyarakat yang agamis
biasanya lebih condong taat pada ajaran agamanya sehingga dakwahlah yang tepat
untuk dijadikan sebagai media promosi kesehatan.
Dari macam-macam dakwah yang telah dijelaskan di makalah, kita bisa memilih dakwah
yang sesuai dengan karakteristik sasaran kita. Sehingga dalam menyampaikan
dakwah yang berisi promosi kesehatan sasaran kita mudah memahami pesan yang
kita sampaikan. Dengan
demikian, diharapkan sasaran yang kita tuju
dapat merubah perilakunya menjadi lebih sehat. Sebagai petugas promosi
kesehatan,
mungkin dakwah yang biasa dilakukan adalah dengan dakwah Ammah. Dakwah Ammah
yaitu metode dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang
ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka.
Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah (pidato). Dakwah ini sama seperti
metode yang kita gunakan saat melakukan penyuluhan pada kelompok orang
tertentu.
Berikut adalah contoh implementasi dakwah promosi kesehatan
:
Vaksinasi dalam Islam dan Kehalalannya
Membicarakan soal vaksin atau kemudian
mendiskusikan soal vaksinasi, belakangan ini selalu menjadi topik diskusi yang
banyak dibicarakan oleh semua kalangan. Para pakar dari kalangan dokter ataupun
akademisi banyak membicarakan soal vaksin dilihat dari aspek material dan
penggunaanya. Sementara itu,
kalangan santri dan Kiai (ulama) juga membicarakan soal vaksin dilihat dari
perspektif fiqih. Sebelum sidang pleno,
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa tentang suci dan
halalnya vaksin Sinovac. Pada
8 Januari 2021 yang lalu, pemberitaan soal vaksin banyak dimuat di beberapa media maintream
internasional, khususnya media Arab ataupun Timur Tengah. Dalam salah satu
portal media Arab terdapat judul berita jika diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia menjadi; “Indonesia Menunggu Fatwa Soal Vaksin untuk Melawan Corona”.
Jika
di lihat dari sejarah vaksin, bangsa Barat mempercai bahwa vaksin ditemukan
pada sekitar abad ke-17 (tahun 1600-an). Pada saat itu, masyarakat Eropa dan belahan dunia
lainnya dihadapakan pada penyakit ganas, menular, dan mematikan (wabah), yaitu cacar
nanah yang disebabkan oleh virus Smallpox. Pada saat itu, ±400.000 orang di
Eropa meninggal dunia setiap tahun karena Smallpox.
Merujuk pada History of Vaccini,
orang Eropa yang pertama kali menemukan teori vaksin adalah Edward Janer,
dokter asal Inggris yang lahir di Britania Raya tahun 1749. Dia dikenal dengan
sebutan “bapak imunologi“. Edward Jener disebut sebagai orang yang mempelopori
konsep vaksin termasuk menciptakan vaksin cacar, yang katanya vaksin pertama di
dunia. Pertama kali menemukan penemuan vaksin sekitar tahun 1796. Apakah Edward
Jener adalah “orang pertama” yang membicarakan tentang penyakit cacar berikut
cara pencegahannya?
Tentu jawabannya tidak. Pada zaman
keemasan Islam, ada tokoh Muslim yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakaria
ar-Razi. Orang Barat atau Eropa menyebutnya dengan panggilan Rhazes. Syaikh Abu
Bakar ar-Razi hidup antara tahun 864 – 930. Ia lahir di Rayy, Teheran Iran pada
tahun 251 H/865 dan wafat pada tahun 313 H/925. Ar-Razi sejak muda telah
mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang
kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Muhammad bin
Zakariya ar-Razi dalam kitabnya Al-Judari
wa Al-Hasbah, yang artinya ‘Penyakit Cacar dan Campak’, menulis secara
rinci soal penyakit cacar (Smallpox)
dan campak (measles).
Satu jenis penyakit atau wabah menular, ganas dan mematikan. Imam ar-Razi
menyebutkan bahwa, “Cacar (smallpox)
muncul ketika darah terinfeksi dan mendidih, yang menyebabkan pelepasan uap.
Pelepasan uap inilah yang menyebabkan timbulnya gelembung-gelembung kecil
berisi cairan darah yang matang. Yang menarik kitab Al-Judari wa Al-Hasbah ini
ditulis sekitar abad ke-9, hampir seribu tahun sebelum vaksin cacar dan campak
ditemukan. Dan Al-Razi secara jelas mendeskripsikan bahwa penyakit ini
menimbulkan wabah, menular lewat darah, dapat menyerang anak-anak maupun
dewasa.
Merujuk
hasil Fatwa MUI No 2 Tahun 2021, Vaksin Covid-19 produk Sinovac Life
Sciences Co. Ltd. China dapat dihukumi halal dengan empat alasan. Pertama, dalam proses produksinya, tidak
memanfaatkan (intifa’) babi atau bahan yang tercemar babi. Kedua, dalam
prosesnya tidak memanfaatkan bagian anggota tubuh manusia (juz’ minal insan). Ketiga, meskipun dalam prosesnya bersentuhan
dengan barang najis tingkat ringat (mutawassithah),
sehingga dihukumi mutanajjis, akan tetapi sudah dilakukan pensucian yang
telah memenuhi ketentuan pensucian secara syar’i (tathhir syar’i). Keempat, menggunakan fasilitas produksi yang
suci dan hanya digunakan untuk produk vaksin Covid-19. Selain hal di atas, peralatan dan penyucian dalam
proses produksi vaksin di PT. Bio Farma (Persero) dipandang telah memenuhi
ketentuan pencucian secara syar’i (tathhir syar’i). Hal tersebut, juga
dikuatkan dengan keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang telah
mengeluarkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dan
jaminan keamanan (safety), mutu (quality), serta kemanjuran (efficacy) bagi Vaksin Covid-19 produksi
Sinovac Life Sciences Co.Ltd. China yang menjadi salah satu indikator bahwa
vaksin tersebut memenuhi kualifikasi thayyib.
Penting
juga dipahami bahwa yang dimaksud dalam Fatwa MUI No 2 tahun 2021 adalah Vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh
Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dengan nama produk yang didaftarkan
sebanyak tiga nama, yaitu (1) CoronaVac, (2) Vaksin Covid-19, (3) Vac2Bio.
Bukan nama vaksin lain yang belum ditetapkan suci dan halal oleh MUI. Ada dua
poin penting dalam ketentuan hukum pada Fatwa MUI No 2 tahun 2021. Pertama, Vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life
Sciences Co. Ltd. China hukumnya suci dan halal. Kedua, Vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life
Sciences Co. Ltd. China sebagaimana diatas hanya boleh digunakan untuk umat
Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.
Dalam ajaran Islam, menjaga kesehatan (hifzu al-Nafs) atas diri sendiri dan
orang lain termasuk salah satu dari lima prinsip pokok (al-Dhoruriyat al-Khomsi). Vaksinasi sebagai salah satu tindakan
medis (min Babi ath-Thibbi al-Wiqoi)
untuk mencegah terjangkitnya penyakit dan penularan Covid-19. Menjaga
kesehatan, dalam prakteknya dapat dilakukan melalui upaya preventif (al-Wiqoyah), dimana salah satu ikhtiarnya dapat dilakukan dengan cara vaksinasi yang
merupakan perbuatan
yang dibenarkan dalam Islam. Dalam kaidah fiqih disebutkan, “Bahaya (al-Dharar) harus dicegah sedapat
mungkin”.
Tentang
pentingnya menjaga kesehatan dari serangan wabah dapat kita lihat dari beberapa
dalil sebagai berikut :
Dari
sini dapat kita lihat bahwa pada QS. an-Nisa:102 tersebut menunjukkan wajibnya menjaga kewaspadaan dari
segala bahaya yang akan datang. Dari sinilah dipahami bahwa berobat dengan obat dan
menjaga diri dari wabah penyakit.
Perihal mengkonsumsi obat yang bertujuan
untuk menguatkan stamina dapat kita lihat penjelasanya dalam kitab I’anah Ath-Tholibin (3/316) :
“Disunahkan
meningkatkan imunitas tubuh/daya tahan tubuh dengan menggunakan obat-obatan
yang boleh dikonsumsi dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan medis dan
disertai dengan tujuan yang baik, seperti menjaga kehormatan dari perbuatan
hina (iffah), dan memperbaiki
keturunan. Karena meningkatkan imunitas tubuh/daya tahan tubuh (al-Taqawwi) menjadi sarana (wasilah) untuk tercapainya hal-hal yang
terpuji, maka hukum meningkatkan daya tahan tubuh (taqawwi) termasuk perbuatan yang terpuji”
Dari
penjelasan di atas dapat kita pahami, bahwa mengikuti program vaksinasi
yang bertujuan untuk menjaga kekebalan tubuh dalam situasi pandemi Covid-19
termasuk perbuatan yang dibenarkan dalam Islam.
3.2
Efektivitas
Media dakwah merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
menyampaikan pesan-pesan dakwah ke masyarakat umum. Penggunaan media dan
alat-alat modern dalam pengembangan dakwah merupakan suatu keharusan untuk
mencapai efektivitas dakwah. Oleh karena itu, media dakwah yang digunakan harus
tepat agar dakwah menjadi efektif (Amin, 2009: 14).
Adanya umpan balik (feedback)
dalam bentuk respon positif menjadi indikator berhasil atau tidaknya suatu
komunikasi yang sudah dilakukan melalui berbagai media, salah satunya adalah
dakwah. Berikut adalah 4 indikator yang menunjukkan komunikasi efektif :
1.
Pemahaman, ini artinya pesan yang sudah disampaikan oleh
komunikator dapat dimengerti dan dipahami oleh komunikan. Namun, apabila pesan yang sudah
disampaikan sulit untuk dipahami dan diartikan lain oleh komunikan, itu artinya
telah terjadi kegagalan dalam proses komunikasi primer.
2.
Kesenangan, komunikasi yang dilakukan dapat menimbulkan
kesenangan bagi penerima sehingga dapat menjadikan hubungan antara pengirim dan
penerima pesan menjadi baik, hangat, dan semakin akrab.
3.
Pengaruh pada sikap, apabila penerima pesan mengalami
perubahan sikap positif setelah proses komunikasi dilakukan maka dapat
diartikan komunikasi berhasil dilakukan. Dalam hal ini, komunikasi juga dapat
mempengaruhi orang lain agar memilih persepsi, sikap atau perilaku sesuai
dengan yang diinginkan oleh pengirim pesan (komunikator).
4.
Hubungan sosial yang baik, artinya manusia sebagai makhluk
sosial tentunya memiliki kebutuhan untuk membangun dan mempertahankan hubungan
baik dengan sesama, yaitu dalam hal interaksi dan asosiasi, pengendalian dan
kekuasaan, serta cinta kasih pada sesama manusia.
Kemudian
dalam mewujudkan tercapainya efektivitas komunikasi, terdapat beberapa prinsip
dasar yang harus dimiliki oleh pendakwah, antara lain :
1.
Respect merupakan sikap saling menghormati
dan menghargai antara individu (mad’u) terutama yang menjadi sasaran dakwah.
Apabila suatu pendakwah memiliki prinsip ini maka individu sasaran akan
memiliki antusiasme dan melakukan hal-hal baik sesuai dengan pesan dakwah yang
sudah diberikan.
2.
Emphaty adalah kemampuan untuk menempatkan
diri pada suatu situasi dan kondisi yang sedang dialami oleh orang lain,
terutama dalam hal mendengarkan dan mengerti orang lain. Dengan adanya rasa
empati, hal itu akan memudahkan dalam mewujudkan keterbukaan dan kepercayaan
untuk membangun kerjasama dengan orang lain. Dalam konteks dakwah, memahami
perilaku mad’u merupakan kewajiban mutlak bagi para pendakwah. Adanya pemahaman
pada kondisi mad’u akan meminimalisir adanya hambatan dalam proses penyampaian
pesan dakwah kepada mad’u.
3.
Audible, artinya pesan yang disampaikan
harus dapat dimengerti baik oleh penerima pesan (mad’u). Penyajian pesan dalam
bentuk cara, sikap atau media juga harus mudah diterima dan dimengerti oleh
mad’u.
4.
Clarity, adanya kejelasan isi pesan
sehingga terhindar dari penafsiran yang berbeda. Adanya sikap keterbukaan atau
tidak ada yang disembunyikan sehingga menambah kepercayaan mad’u dan terhindar
dari sikap curiga dan berburuk sangka.
5.
Humble, membangun sikap rendah hati
seperti sikap siap melayani, menghargai, tidak menyombongkan diri, lemah
lembut, dapat mengendalikan diri dan lebih mengutamakan kepentingan bersama.
3.3
Hambatan
Secara umum, hambatan dalam penyampaian dakwah dibagi
menjadi dua bagian, yaitu hambatan internal dan
eksternal.
1.
Hambatan Internal
Hambatan ini berasal dari dalam diri baik pendakwah maupun
mad’u (individu penerima dakwah). Yang termasuk ke dalam hambatan internal
antara lain :
a)
Faktor fisik
Kondisi fisik dapat menghampat proses penyampaian dakwah dari
pendakwah ke mad’u. Contohnya, seorang mad’u yang memiliki gangguan pendengaran
atau tuli akan mengalami kesusahan dalam mendengarkan dakwah apabila tidak
memakai alat bantu.
b)
Faktor psikologis
Psikologis ini merupakan salah satu faktor penting dalam
penyampaian dakwah. Menjadi pendakwah harus dapat mengendalikan diri, memiliki
mental yang kuat dan sifat sabar. Hal ini karena setiap masyarakat memiliki
pemahaman dan berasal dari golongan yang berbeda-beda.
2.
Hambatan Eksternal
Hambatan ini
merupakan
hambatan yang berasal dari luar, seperti faktor lingkungan sosial dan budaya.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen, terdiri dari berbagai
macam pola pikir dan golongan. Hal ini mengharuskan pendakwah untuk bisa
menempatkan posisinya sesuai dengan golongan masyarakat yang ada dengan tujuan
agar pesan yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik. Selain itu,
masyarakat akan selalu dinamis mengikuti perkembangan zaman terutama perkembangan
teknologi. Apabila pendakwah tidak dapat menggunakan media dan alat-alat modern
yang sudah ada sekarang, maka proses dalam menyampaikan dakwah juga akan
terganggu.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sebagai negara dengan penduduk yang mayoritas beragama
Islam, promosi kesehatan melalui dakwah merupakan hal yang baik untuk
dilakukan. Dalam pelaksanaannya, seorang pendakwah atau da’i perlu
memperhatikan penggunaan metode atau alat yang inovatif agar proses penyampaian
pesan kepada masyarakat dapat berjalan secara efektif dan memiliki umpan balik
yang positif. Meskipun beberapa hambatan mungkin terjadi, seorang pendakwah
atau da’i dapat mengantisipasinya dengan menyusun strategi sebaik mungkin dan
mengikuti tahapan-tahapan yang ada secara runtut.
Penggunaan dakwah sebagai media
promosi kesehatan diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman
masyarakat mengenai pentingnya memelihara kesehatan. Selain itu, diharapkan
masyarakat juga dapat lebih mendalami keterkaitan kesehatan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Hal tersebut dikarenakan dakwah
dipercaya sebagai pendidik (muaddib),
pelurus informasi (musaddid),
pembaharu (mujaddid), pemersatu (muwahid), serta pembela (mujahid) yang membantu manusia khususnya
umat Muslim untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
4.2
Saran
Alangkah baiknya apabila seluruh umat Muslim mampu
menggunakan dakwah sebagai media untuk promosi kesehatan. Hal ini tentunya
dengan memperhatikan metode dakwah yang kreatif dan inovatif, sehingga
informasi terkait kesehatan dapat tersampaikan dengan jelas, baik, dan benar
oleh pendengar maupun pengikutnya. Dengan begitu, masyarakat khususnya umat
Muslim mampu untuk memelihara kesehatannya dengan baik serta turut menjalankan
tuntunan agama Islam guna mencapai kesejahteraan hidup di dunia maupun di
akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, S. M. (2009). Ilmu Dakwah.
178. Jakarta: Amzah.
Hasan, M. (2013). Metodologi dan
Pengembangan Ilmu Dakwah. Surabaya: Pena Salsabila.
Husein, A. A. (1998). The Arth of
Health Promotion in Islam and The Contemporary Public Health Challenges. MPH
Thesis.
Mahmudah, S. (2013). Peran Jurnalis
di Surat Kabar Republika dalam Dakwah bil Qalam.
http://eprints.walisongo.ac.id/1921/.
Mubarak, W. I., Chayatin, N., dan
Rozikin, S. (2007). Promosi Kesehatan : Sebuah Pengantar Proses Belajar
Mengajar dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu 30.
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta 20.
Nurmala, I. (2020). Promosi
Kesehatan. Airlangga University Press.
Nutbeam, D, dan Harris. (1998). Theory
in a Nutshell: A Practitioner’s Guide to Commonly Used Theories and Models in
Health Promotion. Sidney: University of Sydney, Department of Public Health
and Community Medicine, National Centre for Health Promotion.
Ratodi, M. (no date). INTEGRASI
KONSEP ISLAM DALAM KONTEKS PROMOSI KESEHATAN : Studi pada Model Lima Tahap
Bracht. 1-16.
Komentar
Posting Komentar