MAKALAH || Sejarah Penulisan Hadist

 MAKALAH

Sejarah Penulisan Hadist



KATA PENGANTAR

 Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Allhamdulillah, puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah.SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami diberi kesempatan untuk mengerjakan tugas makalah yang berjudul “Sejarah Penulisan Hadis” dengan tepat waktu.

Makalah ini telah disusun sesuai dengan pemhaman kami dan masih jauh dari kesempurnaan. Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas studi hadits.

Dalam penyusunan makalah ini, kami  sangat menyadari bahwa ilmu  yang kami miliki masih  sangat sedikit mengenai Studi Hadis. Harapan kami meskipun penuh keterbatasan dan kekurangan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah sedikit pengetahuan tentang wagra negara dan sistem kewarganegaraan dalam proses perkuliahan.

 

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

 

 

Surabaya, 4 Maret 2019

 

 

Penyusun

 

 


DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR ............................................................................................i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN  .....................................................................................1

A.    Latar Belakang ......................................................................................1

B.    Rumusan Masalah ................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN  ......................................................................................2

A.    Pro dan Kontra Penulisan Hadis ...........................................................2

B.    Hadis pada Masa Rosulullah dan Masa Sahabat................................. 4

C.    Hadis Pada Masa Kodifikasi  ............................................................. 8

D.    Hadis Pada Masa Pasca Kodifikasi................................................... 10

BAB III PENUTUP............................................................................................. 14

A.     Kesimpulan  ..................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 15

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Setelah Rasulullah wafat, Al-Qur’an mulai dibukukan dan pembukuan secara keseluruhan selesai pada khalifah Utsman bin Affan. Muhadditsun tertuntut untuk memulai pembukuan hadits dengan beberapa alasan tertentu baik yang kontra maupun yang pro untuk penulisannya. Untuk itu pada makalah ini membahas tentang sejarah penulisan hadis.

Hadist ialah sesuatau yang bersumber dari Nabi baik itu berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan-Nya. Sama hal-nya dengan Al-Qur’an, hadist juga mempunyai sebuah sejarah. Meskipun pada awalnya seperti yang kita ketahui bahwa penulisan hadist itu di larang oleh Nabi. Tapi lama-kelamaan Nabi juga memerintahkannya. Dan pada sususnan hadist yang ada pada masa sekarang itu tidaklah semua bersifat mutawatir dan dapat di jadikan pegangan  melainkan ada yang bersifat dho’if bahkan palsu. Maka dalam makalah ini akan di mengulas mengenai sejarah kelahiran sebuah hadist dan perkembangannya, sampai dengan hadist pada masa sekarang. berikut macam-macamnya.

 

B.  Rumusan Masalah

1.     Pro dan Kontra Penulisan Hadis

2.     Hadis Pada Masa Rosulullah dan Masa Sahabat

3.     Hadis Pada Masa Kodifikasi

4.     Hadis Pada Masa Pasca Kodifikasi

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.        Pro dan Kontra Penulisan Hadis

Hadis Nabi saw sampai kepada kita semua melewati proses sejarah yang cukup panjang, dimulai sejak awal abad 1 H pada masa Rosulullah sampai dengan masa penyempurnaan penyusunan kitab-kitab hadis, sekitar abad IV-V H.[1]

Dari beberapa catatan tentang hadits pada masa Nabi saw, ada 2 hal penting yang perlu dikemukakan. Yaitu, larangan menulis hadits dan perintah menulis hadits. Pada awalnya Nabi saw melarang para sahabat untuk menulis hadits karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits. Namun demikian, harus  pula dipahami bahwa larangan itu tidak bersifat umum. Artinya larangan penulisan hadits itu terkait dengan daya hafal masing-masing sahabat.[2]

أكتب فوالذي بيده ما خرج عنى إلا حق

 

“Tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaan nya tidak keluar dariku selain kebenaran”. (HR.Ahmad ibn Hanbal)

Berdasarkan hadis diatas diketahui bahwa ada sahabat tertentu yang diberi ijin untuk menulis hadis, tetapi secara umum nabi melarang umat islam untuk menulisnya. Nabi melarang menulis hadis karena khawatir tercampur dengan Al Qur’an dan pada kesempatan lain ia membolehkannya.[3]

Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis. Hal ini,  menurut M.Syuhudi Ismail disebabkan oleh beberapa alasan[4]:

1.     Hadis disampaikan tidak selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis hadis.

2.     Perhatian nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al Qur’an.

3.     Meskipun nabi mempunyai beberapa sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas menulis wahyu yang turun dan surat-surat nabi.

4.     Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan peralatan yang sangat sederhana.

Berbeda dengan kajian versi Yahudi yang banyak dari pemikir Islam temporer yang merujuk kepada referensi mereka bahwa yang diekspos hanyalah hadits-hadits larangan menulis, seperti sabda Nabi saw:

حَدَّثْنَا هَدَّابُ بْنُ خَا لِدٍ الأَزْدِىُّ حَدَّثْنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِبْنِ اَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ اْلحُدْرىِّ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَليهِ وَسَلم قَالَ: لاَتَكْبُوُا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ

Dinarasikan Abu Sa’id al- Khudri ra., Rasulullah saw. Bersabda: janganlah anda menulis haditsku, barang siapa yang menulis haditsku walaupun secuil selain dari pada penulisan Al-Qur’an. Maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu (HR. Muslim).

Hadits diatas merupakan hadits shahih yang dikeluarkan imam Muslim. Maka dengan argumentasi hadits tersebut, mereka memahami sebagai berikut:

1.     Hadits nabawi itu tidak perlu, yang diperlukan hanyalah Al-Qur’an. Kalau hadits itu diperlukan tentu nabi juga memerintah sahabat untuk menulisnya sebagaimana penulisan Al-Qur’an.

2.     Tidak perlunya hadits Nabawi didukung iformasi Al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad itu adalah manusia biasa seperti kita, maka logikanya bukan hanya Nabi yang memiliki otoritas dalam menafsirkan Al-Qur’an, akan tetapi semua manusia, termasuk kita dewasa ini mempunyai liberalitas (kebebasan) dalam memahami Al-Qur’an.

Dalam hadits yang dinarasikan oleh Abu Sa’id al-Khudri yang dikeluarkan oleh imam Muslim dinukilkan secara utuh maka redaksinya sebagai berikut:

حَدَّثْنَا هَدَّابُ بْنُ خَا لِدٍ الأَزْدِىُّ حَدَّثْنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِبْنِ اَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ اْلحُدْرىِّ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَليهِ وَسَلم قَالَ: لاَتَكْبُوُا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ      وحَدُّثِوا عَنِّ وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Dinarasikan Abu Sa’id al- Khudri ra., Rasulullah saw. Bersabda: janganlah anda menulis haditsku, barang siapa yang menulis haditsku walaupun secuil selain dari pada penulisan Al-Qur’an. Maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu. Sekarang, silahkan kalian menulis haditsku tanpa ada rasa bersalah. Barang siapa yang berdusta atas nama saya maka hendaknya ia mempersiapkan tempatnya di api neraka. (HR. Muslim)

Dengan penukilan hadits yang sempurna seperti diatas, sepertinya dapat dianalisa, kapan atau dalam kondisi apa Nabi melarang menulis haditsnya dan dalam kondisi apa justru Nabi menyuruh para sahabat untuk menulis haditsnya sehingga dapat diketahui, inti dari larangan Nabi adalah dikhawatirkan terjadinya pendustaan terhadap Pribadi Nabi saw.

Seperti itu pula ketika manukil ayat Al-Qur’an, sekiranya jujur maka penukilan ayat yang utuh (bukan sepotong) adalah berikut:

قُلْ إِنَّمَا أَنَابَشَرٌمِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِرَبِّهِ أَحَدًا

“Katakanlah wahai Muhammad: Sesungguhnya saya adalah manusia biasa seperti kalian semua, namun diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa. Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, supaya ia beramal shalih dan tidak menyukutukan Dia dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya.” (QS.  Al-Kahfi:110)

Seperti diketahui,  setelah meninggalnya Nabi saw. Merupakan masa transisi yang menyisakan berbagai macam persoalan internal umat Islam, diantaranya adalah masalah Khilafah dan belum dibukukannya Al-Qur’an. Keadaan ini sudah tentu menyulitkan para sahabat sehingga belum terpikirkan secara serius untuk membukukan hadits, Al-Qur’an saja belum dibukukan. Karena itulah, dapat dipahami bahwa pada masa kekhilafahan Abu bakar al-shiddiq, langkah pertama adalah  membukukan Al-Qur’an, kemudian baru hadits.

 

B.         Hadis Pada Masa Rosulullah dan Masa Sahabat

Data menunjukkan bahwa jumlah orang islam di masa nabi terus bertambah banyak, baik priode Makkah maupun Madinah. Kalau perhatian umat terhadap agama baru yang dibawa oleh nabi baru amat besar, agaknya tidak berlebihan. Banyak hal baru yang mereka dengar dari nabi. Maka tidak mustahil kalua sahabat nabi ingin tahu lebih banyak tentang ajaran nabi dengan cara meluangkan waktu untuk selalu menyertainya, kemudian mereka sampaikan kepada orang lain.[5]

Disamping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitas sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tangga, teman) maka tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran agama islam. Ia sendiri juga sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya setiap kali ada kesempatan nabi memanfaatkannya, sehingga banyak media yang digunakan nabi menyampaikan hadis. Para sahabat juga mengambil kesempatan itu untuk belajar agama.[6]

Pertemuan resmi seperti khubah, pertemuan antar kelompok, merupakan media efektif tersiarnya banyak hadis. Media lain yang perannya sama dengan peertemuan resmi dalam penyiaran hadis antara lain[7];

1.     Peristiwa yang dijumpai langsung oleh nabi. Misalnya, sebuah hadis dari abu Hurairah: Ketika Rasulullah mencurigai seorang pedagang bahan makanan di pasar, ia bertany “ bagaimana cara kamu berdagang?” setelah dijawab, nabi menyuruh agar pedagang itu memasukkan tangannya kedalam dagangannya. Setelah tangan dikeluarkan ternyata basah, tanda kecurangan. Nabi berkata, “Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu.

2.     Peristiwa yang dijumpai sahabat kemudian dilaporkan kepada nabi untuk diminta Fatwanya. Dua orang sahabat yang bepergian hendak shalat, tidak mendapatkan air. Maka mereka shalat dengan tayamum. Selesai shalat mereka mendapatkan air, sementara, waktu shalat belum habis. Satu orang mengulangi sholat dan yang satunya lagi tidak mengulangi shalat. Perbedaan perilaku ini di laporkan kepada Nabi. Kepada yang tidak mengulangi shalat Nabi berkata, “Engkau telah memenuhi Sunnah, shalatmu sudah cukup”. Kepada yang mengulangi shalat nabi berkata, “Engkau mendapat pahala dua kali”.

Pada periode Rosulullah SAW pengkodifikasian hadits belum terlalu di perhatikan secara khusus oleh para Sahabat. Para Sahabat lebih banyak mencurahkan diri dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an meskipun dengan prasarana yang sederhana. Hadist pada masa itu oleh para Sahabat lebih banyak untuk di hafal dan diamalkan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa ada sebagian sahabat nabi yang mempunyai hafalan dan periwayatan hadis yang sangat banyak. Konsepny sangat sederhana yaitu menghafalkan dan langsung mengamalkan.[8]

Meskipun kodifikasi hadits belum mendapatkan perhatian khusus dari para sahabat, Rasulullah menaruh perhatian yang sangat besar  dalam aspek pengembangan ilmu pengetahuan. ‘ajjaj al-khatib dalam bukunya Al-Sunnah qabl al- Tadwin menyebutkan tentang sikap Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan. Sikap ini sejalan denngan wahyu pertama yang diturunkan olah Allah swt kepada beliau, yaitu surat al-alaq ayat 1-5 yang intinya adalah perintah untuk membaca.[9]

Diantara bentuk sikap Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan adalah: seruan Rasulullah saw untuk mencari ilmu pengetahuan, seruan Rasulullah untuk menyampaikan ilmu, kedudukan orang yang mengajar ilmu pengetahuan (ulama’), kedudukan orang yang mencari ilmu, dan wasiat Rasulullah saw untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan.

Penulisan hadist yang terjadi pada masa Rasulallah adalah bersifat individual. Mereka yang telah mempunyai kemampuan menulis melakukannya sendiri-sendiri, seperti yang di lakukan Ibn Umar. Itulah sebabnya ditemukan kesaksian dari pernyataan Abu Hurairah: Ibn Umar telah memiliki tulisan hadits, namun saya belum mulai menulisnya. Sebagian sahabat mengangkat juru tulis seperrti yang dilakukan oleh Abu Hurairah yang mengangkat Hammam sebagai sekretaris pribadinya.[10]

Dan tentunya tidak semua hadist mereka tulis, melainkan hadist-hadist yang di pandang terlalu panjang dan spesifik. Itulah sebabnya ketika Abu bakar menginstruksikan untuk memerangi kaum murtad, umar menginterupsikannya: menurut catatan saya, Nabi diperintah untuk memerangi umat sampai mereka berikrar tiada tuhan selain Allah. Apabila mereka telah mengatakannya maka terjagalah darahnya, hartanya dan harga dirinya. Maka Abu Bakar berkomentar: catatan anda belum sempurna, kelanjutannya adalah: kecuali dengan haknya.[11]

Hadits yang panjang-panjang pun selalu ditulis oleh para sahabat, seperti hadits tentang ketentuan zakat yang hendak dikirim kepada Abu musa al-As’ari yang yang pada waktu itu didelegasikan oleh Nabi ke yaman, memohon agar ketentuan zakat itu dituliskan. Maka sebelum tulisan hadits zakat itu dikirim ke yaman oleh umar dinukil kembali untuk diarsip terlebih dahulu sehingga Umar ibn Khattab dikenal dengan bapak pengarsipan dokumen.[12]

Disamping itu pola dakwah Rasulullah diakhir hayatnya berubah, tidak lagi menggunakan oral (lisan) sebagai medianya, melainkan berganti pola tulisan. Hal ini terbukti ajakannRasulullah menuju keislaman kepada penguasa Romawi, Illayah, bizantium, persia, Najazi dan lainnya. Atas usulan Abu Sufyan, maka surat-surat itu diberi stempel. Maka Nabi pun minta dibuatkan stempel (khatam)[13].

Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadist tersebar secara terbatas. Bahkan pada masa itu, Umar melarang para Sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan Hadist dan sebaliknya, Umar menekankan agar para Sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluakan Al-Qur’an.

Dalam praktiknya ada dua cara meriwayatkan pada masa Sahabat tersebut [14]:

1.     Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka terima langsung dan mereka hafal benar dari Nabi SAW.

2.     Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafadz asli dari Nabi SAW.

Meskipun secara khusus hadits belum mendapatkan perhatian yang serius, namun kegiatan periwayatan hadits sudah mulai berkembang meskipun dengan jumlah yang sedikit. Hal ini karena Abu Bakar, Umar juga 2 khalifah terakhir sangat berhati-hati dalam menerima periwayatan sahabat lain, termasuk periwayatan dari Abu Hurairah yang dalam hal periwayatan Hadits dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.[15]

Sikap hati-hati ini dilakukan untuk mencegah banyak beredarnya hadits palsu unutk kepentingan tertentu yang terjadi, khususnya pada saat mulai terjadinya friksi dalam tubuh Islam, sejak tahun ke tujuh pada pemerintahan khalifah Utsman ibn Affan. Dengan demikian jumlah periwayatan hadits pada masa sahabat masih sangat sedikit, meskipun tergolong banyak apabila dibandingkan dengan jumlah penulisan hadits pada periode Nabi saw. Dapat dikatakan bahwa hadits dalam periodeini adalah membatasi periwayatannya.[16]

 

C.        Hadis Pada Masa Kodifikasi

Kendati terbuka peluang untuk membukukan hadis, tetapi dalam fakta sejarah, dimasa sahabat belum ada kegiatan pembukuan hadis secara resmi, diprakarsai oleh pemerintah. Umar bin khattab pernah berpikir untuk memebukukan hadis, ia menyarankan kepada sahabatnya untuk membukukan hadis. Tetapi, setelah umar beristirahat sebulan lamanya, ia membatalkan rencananya dengan perkataan.

إِنِّي كُنْتِ أُرِيدُ أَنْ أَكْتُبَ السُّنَنَ ، وَإِنِّي ذَكَرْتُ قَوْمًا كَانُوا قَبْلَكُمْ كَتَبُوا كُتُبًا فَأَكَبُّوا عَلَيْهَا وَتَرَكُوا كِتَابَ اللَّهِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَشُوبُ كِتَابَ اللَّهِ بِشَيْءٍ أَبَدًا

“Saya tadinya ingin menulis Sunnah-sunnah, kemudian saya teringat kkam terdahulu yang menulis buku-buku, sibuk dengannya”

Seiring dengan program Khalifah Umar Ibn Khottob meluaskan peta dakwah Islam, membuat pera Sahabat terpencar ke berbagai wilayah. Dan maraka para Sahabat telah mempunyai pegangan hadist baik berupa tulisan maupun hafalan ke tempat penugasan masing-masing. Sehingga di berbagai wilayah bermunculan Islamic Centresebagai pusat kajian Al-Qur’an dan Hadist.[17]

Pasca wafatnya Uamar Bin Khattab, kebijakan itu di lanjutkan oleh Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, sehingga untuk menguasai hadist-hadist Nabi pada waktu itu tidaklah mudah. Seseorang harus melakukan rihlah dari berbagai wilayah untuk menemui para Sahabat dan kader-kadernya.[18]

Pada masa inilah lahir Ulama’ Madzhab, sehingga bukan mustahil saat di tanya suatu persoalan , mereka belum menemukan hadist yang spesifik, dan ahirnya memberikan jawaban dengan pendekatan ijtihad murni yang konsekwensinya bisa benar dan bisa salah. Dan seperti yang kita tau jika pengkodifikasian muskhaf itu pada masa Khalifah Abu Bakar maka pengkodifikasian hadist itu terealisasikan pada masa Umar bin Abdul Aziz.

Dan pada waktu itu di bawah kekuasaan Umar bin Abdul Aziz, beliau meresa perlu untuk membukukan hadist dikarnakan para Sahabat (sisa Sahabta yang masih hidup) mulai terpencar di berbagai wilayah kekuasaan Islam, dan tidak sedikit yang meninggal dunia. Keadaan ini membuat Khalifa Umar bin Abdul Aziz tergerak untuk membukukan hadist.[19]

Untuk merealisasikan kenyataan di atas, Khalifah menyuruh atau mengintruksikan kepada gubernur Madinah ya’ni Abu Bakar bin Muhammad untuk mengumpulkan hadist apa adanya. Khalifah juga mengirim surat-suratnya keseluruh wilayah Islam supaya berusaha membukukan hadist yang ada pada ulama’ yang berdomisili di wilayah masing-masing. Diantara ulama’ besar yang membukukan hadist atas kemauan Khalifah itu adalah Ibn Sihab al-Zuhri. Itulah sebabnya para ahli sejarah menganggap Ibn Sihab sebagi orang pertama mendiwankan hadist secar resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul  Aziz. Dan intrusi Umar inilah ahirnya di lanjutkan oleh ulama’ hadist yang lain.

Munculnya tradisi perlawatan-perlawatan untuk mencari hadist ini sangat penting, artinya, sebab pada masa itu sujdah mulai banyak beredar hadist palsu. Dengan demikian, pencarian yang di lakukan bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan hadist, tetapi  juaga sekaligus untuk menghindari terjadinya hadist palsu yang di riwayatkan oleh orang yang tidak bertanggung;jawab. Dengan pencarian ini pula, satu riwayat di cocokan validitasnya dengan riwayat yang lain sehingga dapat di ketahui mana hadits yang betul-betul datangnya dari Nabi SAW. Dan mana yang bukan. Konfirmasi riwayat setidaknay berhasil untuk meminimalisir upaya terjadinya pemalsuan hadist.

 

D.        Hadis Pada Masa Pasca Kodifikasi

Suatu hal yang perlu dicatat dari upaya pembukuan hadits tahap awal adalah masih tercampurnya antara hadits Nabi saw dengan berbagai fatwa sahabat dan tabi’in . hanya catatan ibn Hazm yang secara lkhusus menghimpun hadits Nabi saw. Karena khalifah Umar ibn ‘Abdul Aziz mennginstruksikan kepadanya untuk hanya menulis hadits. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa manuskrip Ibn Hazm tersebut tidak sampai kepada generasi sekarang. Namun demikian, pada masa ini pula lahir ulama’ hadits kenamaan seperti imam malik, sufyan al-tsauri, al- Auza’iy, al- safi’i dan lainnya. Kitab-kitab hadits yang terkenal pada abad ini diantaranya adalah: muwatta’ karya imam malik, musnad dan mukhatalif hadits karya al syafi’i. Kitab-kitab ini terus menjadi bahan kajian sampai sekarang.[20]

Pada permulaan abad ke 3H, para ulama’ berusaha untuk memilah atau menyisihkan antara hadist dengan fatwa sahabat atau tabi’in. Oleh akrna itu para ulama’ banyak yang menyusun kitab-kitab musnad yang ebas dari fatwa para sahabat dan tabi’in. Meskipun demikian, upaya untuk membukukan sebuah hadist dalam kibab musnad ini bukan tanpa kelemahan. Salah satu kelemahan yang di dapat di ungkap adalh belum di sisihkannya hadis-hadist, termasuk hadist palsu yang sengaja di sisipkan untuk kepentingan-kepentingan golongan tertentu.[21]

Melihat kelemahan di atas ulama’ hadist tergerak untuk menyelamatkan hadist dengan membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat menilai kesahihan suatu hadist.Dengan pembuatan kaidah-kaidah tersebut maka muncullah yang di sebut ilmu dirayah dan ilmu riwayah hadist. Dan sebagai konsekwensinya dari upaya pemilahan hadist sahih, hasan, dhaif dan palsu tersebut, maka di susunlah kitab-kitab himpunan khusus hadist sahih dan kitab-kitab al-Sunan.[22]

Abad ke 3H ini lazim disebut dengan abad atau periodesasi seleksi dan penyusunan kaidah serta syarat periwayatan hadist yang melahirkan sejumlah karya monumental dalam bidang hadist, seperti shahih Al-Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzi, Sunan An-Nasa’i dan lainnya. Hal ini yang patut di cermati dari perkembangan study hadist pada abad ini adalah mulai berkembangnya ilmu kritik terhadap para perawi hadist yang di sebut ilmu jahr wa ta’dil. Dengan ilmu ini maka dapat di ketahui siapa perawi yang dapat di terima riwayatnya dan siapa yang di tolak.[23]

Adapun tokoh-tokoh yang lahir pada abad ini di antaranya :

1.      Ali Ibn Al-Madani

2.      Abu Hatim Al-Razi

3.      Muhammad Ibn Jarir At-Tabari

4.      Muhammad Ibn Sa’ad

5.      Ishaq Ibn Rawakhih

6.      Ahmad

7.      Al-Bukhori

8.      Abu Dawud

9.      Al-Turmudzi

10.  Ibn Majah dan

11.  Ibn Qutaibah Al-Dainuri

Sedangkan kitab-kitab yang muncul pada abad ini diantaranya adalah Al-Kutub Sittah (kiatb enam yang pokok) yaitu: Sahih Al-Bukhori, Sahih Muslim, Sunan Al-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzi, dan Sunan Ibn Majah.

Kalau pada abad pertama, kedua dan ketiga hadits berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, maka hadits yang telah dibukukuan oleh para ulama’mutaqaddimin tersebut mengalami sasaran baru yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama’ muta’akhkhirin. Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits sehingga tidak mengherankan apabila sebagian diantara mereka mampu menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits seperti al-hakim, al-hafidz dan sebagainya.[24]

Pada abad selanjutnya merupakan abad pemisah antara periode ulama’ mutaqaddimin dengan ulama’muta’akhkhirin ini melahirkan sejumlah kitab-kitab hadits populer. Diantaranya adalah : mu’jam al- kabir, mu’jam al-Ausat, mu’jam al-shaghir (karya thabrani), sunan al- Daraqutniy, shahih anu ‘uwanah, dan shahih ibn khuzaymah. Secara kongkret, Hasbi ash-shiddiqiey menyebutkan abad ini sebagai abad tahdzib, istidrak, istikhraj, menyusun jawami’, zawaid dan athraf.

Usaha ulama’ pada abad selanjutnya sampai sekarang adalah pengklasifikasian hadist-hadist yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab. Kemudian di lanjutkan dengan menyusun ma’ajimhadist untuk mengetahui dari kitab apa sebuah hadist itu di temukan. Misalnya kitab Al-Jami’ As-Saghirfi Ahadist Al-Basyir Al-Nadzir karya Al-Suyuti. Kitab itu di susun memuat hadist-hadist yang terdapat dalam kitab Al-Kutub As-Sittah dan kitab hadist lainnya. Kedua kitab Dakhoir Al-Mawaris fi Al-Dalalah ‘ala Mawad Al-Ahadist karya Al-Maqdisi. Didalamnaya terkumpul kitab atraf tujuh ulama’ yaitu Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Sunan empat danMuwatto’ Imam Malik. Dan masih banyak lagi kitab-kitab index kecil yang lain.

Adapun kegiatan ulama’ selanjutnya ialah memberi pensyarahan dan peringkasan juga melahirkan kamus-kamus khusus kajian hadist yang tertuang dalam salah satu di siplin keilmuan yang biasa di sebut ilmu Gharibil hadist.


 

BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Pentingnya untuk mengetahui lebih dalam mengenai sejarah perkembangan hadist adalah suatu yang menjadifardhu kifayah hukumnya, di karnakan hadist adalah sumber poko’ ajaran agama islam yang ke dua setelah Al-Qur’an. Pada mulanya Nabi memang melarang untuk menulis hadist di karnakan rasa khawatir akan bercampurnya hadist dengan Al-Qur’an. Tapi setelah itu Nabi pun mengizinkannya. Adapun periode-periode sejarah perkembangan hadist itu dapat di bagi menjadi beberapa bagian yakni:

1.     Perkembangan hadist pada masa Rosulallah

2.     Perkembangan hadist pada masa Sahabat dan Khulafa urrasyidin (11 H-40 H)

3.     Perkembangan pada masa Sahabat kecil dan Tabi’in

4.     Perkembangan hadist pada Abad II dan III Hijriah

5.     Masa men-tashih-kan hadist dan penyusunan Kaidah-Kaidahnya

 

Dan dari periode-periode tersebut hadist mulai mengalami fase-fase perkembangan. Abad pertama kedua dan ketiga hadist berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para Sahabat dan Tabi’in, maka pada periode selanjutnya perkembangan hadist mulai mengalami sasaran baru, yakni di hafal dan di selidiki sanadnya oleh para Ulama’Muta’akhirin (Ulama’ abad ke 4 dan seterusnya). Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadist. Sehingga  pada periode inilah muncul berbagai macam gelar keahlian dalam ilmu hadist seperti Al-Hakim, Al-Hafidz, dan sebagainya.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Rahman, Fatchur. Ikhtishar Musthalahul Haadist. Bandung: Al-Ma’arif, 1987.

Tim Penyusun MKD. Studi Hadis. Surabaya: UINSA Press,  2018

Tim penyusun MKDP. Studi Hadits. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.

Zuhri, Muh. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003.

 



[1] Tim MKD, Studi Hadis (Surabaya: UINSA Press, 2018), 87-88

[2] Tim MKDP, Studi Hadits (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press 2011), 81

[3] Tim MKD, Studi Hadis (Surabaya: UINSA Press, 2018), 90

[4] Ibid,.

[5] Muh Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), 28

[6] Ibid,.

[7] Ibid,.29

[8] Tim MKD, Studi Hadis (Surabaya: UINSA Press, 2018), 91-92

[9] Ibid, 92

[10] Tim MKD, Studi Hadis (Surabaya: UINSA Press, 2018), 92

[11] Ibid, 93

[12] Ibid,.

[13] Ibid,.

[14] Fatchurrahman. 1987. Ikhtishar Musthalahul Haadist. Bandung: Al-Ma’arif hal 34

[15] Tim MKD, Studi Hadis (Surabaya: UINSA Press, 2018), 94

[16] Ibid,.

[17] Ibid, 94-95

[18] Ibid, 95

[19] Fatchurrahman. 1987. Ikhtishar Musthalahul Haadist. Bandung: Al-Ma’arif,34.

[20] Tim MKD, Studi Hadis (Surabaya: UINSA Press, 2018), 98

[21] Tim MKD, Studi Hadis (Surabaya: UINSA Press, 2018), 98-99

[22] Tim MKD, Studi Hadis (Surabaya: UINSA Press, 2018), 99

[23] Tim MKD, Studi Hadis (Surabaya: UINSA Press, 2018), 99

[24] Fatchurrahman. 1987. Ikhtishar Musthalahul Haadist. Bandung: Al-Ma’arif hal 40

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH || Amsal dalam Al-Qur’an

MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN LINGKUNGAN “ PELAKSANAAN SURVEILANS PENGAWASAN AIR BERSIH DAN LIMBAH CAIR DI RUMAH SAKIT UMUM HIDAYAH PURWOKERTO”

MAKALAH || Manusia, Moralitas, dan Hukum