Pandangan Islam Tentang Zakat dan Pajak

 

Pandangan Islam Tentang Zakat dan Pajak

Oleh : SUNAN FANANI S.Ag., M.Pd.I.

 


A. Menulusuri konsep dan Fungsi Zakat dalam Pandangan Islam

1. Pengertian dan Fungsi Zakat

2. Zakat dalam Tinjauan Al-Qur’an dan Hadits

3. Sejarah Kelembagaan Zakat

4. Landasan hukum zakat dan Undang-Undang Zakat di Indonesia

5. Zakat dan Kesejahteraan

 

B. Pajak dalam Tinjauan Pandangan Islam

1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak

2. Definisi Pajak menurut Pandangan Islam

3. Pendapatan dan Pembangunan ekonomi negara

4. Sebab-Sebab Munculnya Pajak dalam Islam

5. Perbedaan dan Persamaan zakat dan Pajak

 

Mahasiswa mampu memahami konsep Zakat dan Pajak dalam Islam, konsep zakat dan pajak dalam agama Islam, landasan Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang zakat dan pajak, sejarah kelembagaan zakat dan pajak, Pendapatan dan pembangunan ekonomi negara, undang-undang zakat dan perbedaan zakat dan pajak.

 

A. Menulusuri konsep dan Fungsi Zakat dalam Pandangan Islam

1. Pengertian dan Fungsi Zakat

Dalam tinjauan secara bahasa Qardawi menyebutkan makna zakat secara bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Kata dasar dari Zakat memiliki arti berkembang (ziyadah) dan tumbuh, menumbuhkan (numuwwun). Adapun zakat menurut syara’ berarti hak yang wajib dikeluarkan dari harta.

Menurut madzhab maliki mendefinisikan dengan “mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq) dengan kepemilikan penuh telah mencapai setahun (haul) bukan barang tambang dan pertanian”.

Madzhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan “menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syaiat karena Alah SWT”

Sedangkan menurut madzhab Syafi’i menyebutkan “zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus”. Menurut madzhab Hambali ialah “harta yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula”.

Dari sinilah dapat dijelaskan bahwa secara terminologi zakat merupakan “penunaian” yakni hak yang wajib terdapat dalam harta untuk di berikan kepada orang-orang tertentu.   

 

2. Zakat dalam Tinjauan Al-Qur’an dan Hadits

Kata Zakat didalam Al-Qur’an terdapat sebanyak 34 kali diulang dengan rincian 27 kali berkaitan dengan kata shalat, 3 kali dikaitkan dengan iman dan taqwa (Q.S [7]:156), Riba (Q.S [30]:39), Musrik dan Kafir (Q.S [41]:7). Kemudian 4 kali kata shodaqah bermakna zakat (Q.S [9]:58, 60, 103, dan 104).

Imam Al Mawardi dalam kitab Al-Ahkam As-Sultaniyah (113) mengatakan : “Shadaqah adalah zakat dan zakat adalah shadaqah, keduanya berbeda nama, namun substansinya sama”. Salah satu contoh dalam (Q.S [9]:58) kata shadaqah pada ayat tersebut bermakna zakat.

Namun dalam Al-Qur’an, tidak selalukata shadaqah berararti zakat. Shadaqah bisa berarti pemberian dalam bentuk nonmateri seperti senyum, membantu orang lain dalam bentuk tenaga, pemikiran, melangkah sholat ke masjid, membuang sesuatu yang berbahaya di jalan, mengajari orang lain dan lain sebagainya.

Dalam surat (Q.S [9]:103) disebutkan bahwa :

”Ambillah shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah SWT Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Dalam Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar RA juga dijelaskan :

”Islam di bangun atas lima perkaraya yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, membayar Zakat, puasa di bulan Ramadhan dan Haji ke Baitullah bagi yang memiliki kemampuan perjalanan”.

Dengan demikian sangatlah jelas bahwa zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, khususnya bagi mereka yang memiliki harta yang telah mencapai nishab. Bahkan Rasulullah SAW memerintahkan agar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, Rasullah bersabda :

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah SWT” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

 

3. Sejarah Kelembagaan Zakat

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan Islam tentang waktu persyariatan zakat. Ada yang menyatakan pada tahun kedua hijrah yang berarti satu tahun sebelum persyariatan puasa tetapi ada juga yang berpedapat bahwa zakat disyariatkan pada tahun ketiga hijrah yakni satu tahun setelah persyariatan puasa yang disyariatkan satu tahun setelah hijrah. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Rasulullah SAW menerima perintah zakat setelah beliau hijrah ke Madinah.

Rasulullah SAW saat mendapatkan hijrah ke Madinah dan menerima wahyu Surat (Q.S [2]:110) ''Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan''.

Al-Quran juga menegaskan bahwa zakat harus diambil oleh para petugas yang dikhususkan untuk melakukan hal tersebut. Ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.

Rasullah SAW Mulai Mengutus para sahabat untuk dijadikan utusan sebagai duta guna mendakwakan agama Islam dan mengambil zakat. Rasullulah SAW telah menelegasikan Muad bin Yaman seraya bersabda :

“engkau akan aku utus untuk datang ke ahli kitab. Persoalan utama yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengajak untuk beribadah kepada Allah SWT. Jika ia telah mengetahui Allah SWT lalu beritahunkanlah kepada mereka tentang kewajiban berzakat. Zakat ditarik dari orang-orang yang kaya dan selanjutnya di bagikan kepada kaum fakir.”

Menjelang tahun ke-dua Hijriah, Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati. Selain itu zakat pada masa rasulullah SAW juga di gunakan sebagai sumber pendapatan negara. Walaupun sudah di undangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun kedua hijriah, namun baru bisa di pungut sebatas zakat fitrah, kewajiban atas zakat mal masih bersifat sukarela.

          Hal inilah yang diterapkan pada periode awal Islam, di mana pengumpulan dan pengelolaan zakat dilakukan secara terpusat dan ditangani sepenuhnya oleh negara melalui Bait al-Maal. Rasulullah  SAW sebagai pemimpin negara menunjuk beberapa sahabatnya untuk mengumpulkan zakat dari masyarakat muslim yang telah teridentifikasi layak memberikan zakat serta menentukan bagian dari zakat yang terkumpul sebagai pendapatan dari amiI.

Efektif pelaksanaan zakat mal baru terwujud pada tahun kesembilan hijriah. Ketika Islam telah kokoh, wilayah negara meluas dengan cepat orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, batas-batas zakat, dan tingkat presentasi  sistem penggajian hak-hak amil zakat.

Hal ini menunjukkan bahwa manajemen zakat pada masa Rasulullah SAW di gunakan untuk mensejahterakan rakyatnya dengan mengunakan azas berimbang artinya semua pemasukan habis di gunakan untuk dibelanjakan sesuai kebutuhan negara. Karena zakat merupakan ibadah wajib untuk umat Islam, maka menghitung berapa besar zakat yang harus di keluarkan dapat di lakukan sendiri dengan penuh kesadaran iman dan takwa. Begitulah   rasulullah SAW meletakan zakat yang berlandaskan keadilan sejak masa  awal pemerintahan islam.

          Karena zakat ini sangat penting dalam menyusun kehidupan yang humanis dan harmonis. Peranan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat maal dalam pemerataan pendapatan akan lebih ketara kalau dihubungkan dan dilaksanakan dengan nilai-nilai lainya.

Pada masa kepemerintahan Khulafa’al Rasyidun melanjutkan tugas Nabi, terutama tugas tugas pemerintahan khususnya dalam mengembangkan sejarah agama Islam termasuk menegakkan syariat zakat. Karena dalam masa  ini fungsi  zakat sebagai pajak dan sumber utama pendapatan Negara. Abu Bakar di hadapkan pada permasalahan pembangkangan-pembangkangan seperti kaum yang murtad dan kelompok yang tidak mau membayar zakat kepada negara. Abu bakar mengambil langkah-langkah tegas untuk mengumpulkan zakat dari umat Islam termasuk kaum badui yang kembali meperlihatkan pembangkanganya setelah Rasullulah wafat. Menurut Imam  Sayuti ketika berita wafatnya Rasullulah tersebar keseluruh penjuru madinah, banyak suku-suku arab yang menolak membayar zakat.

Abu Bakar memerintakan pasukanya untuk menyerang suku-suku pembangkang tersebut. Langkah ini tidak disetujui Umar bin Khattab ra. dengan alasan, perintah memerangi seseorang itu hanya bisa dibenarkan hingga batas seseorang belum mengucapkan dua kalimah syahadah. Sementara Abu bakar beralasan bahwa apabila tindakan pembangkangan mereka untuk membayar zakat dibiarkan, akan menjadi preseden buruk terhadap pemahaman Islam. Dalam pelaksanaan dan pengelolaan zakat Abu Bakar terkenal dengan keakuratan dan ketelitianya. Terbukti dengan ketelitian dan keakuratanya  khalifah Abu Bakar langsung turun tangan dan mengangkat beberapa tugas (amil zakat), sehingga pemungutan dan penyaluran harta zakat berjalan dengan baik.

Selanjutnya pemungutan dan pengelolaan zakat dalam masa Khalifah Umar Ibn al-Khattab ini makin diintensifkan kaena zakat di jadikan sebagai pendapatan negara, pendapatan ini didistribusikan dalam tingkat lokal. Jika ada kelebihan maka kelebihan tersebut di kirim ke bait al-maal pusat dan di bagikan kepada 8 asnaf (golongan). Sehingga penerimaan harta zakat makin meningkat, karena semakin banyak jumlah para wajib zakat dengan pertambahan dan perkembangan umat Islam dengan tujuan untuk kemaslahatan umat.

Kemudian pada masa Kholifah Utsman Ibn Affan. Dalam periode ini, penerimaan zakat makin meningkat lagi, sehingga gudang Bait al-Maal penuh dengan harta zakat selain itu karena khalifah Usman adalah seorang saudagar yang kaya sekalipun menjadi kepala pemerintahan namun bukan berarti kalu beliau kaya tidak akan terjadi masalah justru menimbulkan kesalah pahaman. Dilaporkan untuk mengamankan zakat dalam gangguan dan masalah pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa pengumpul, maka khalifah usman mendelegasikan kewenangan kepada para pemilik untuk menaksirkan kepemiliknya sendiri.

Usman ibn Affan berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan pada harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. Manajemen zakat pada masa khalifah Usman Ibn Affan, mengangkat pejabat khusus menanganinya yaitu Zaid Ibn Tsabit, sekaligus mengangkatnya mengurus lembaga keuangan Negara (Bait Al-Maal).

Zakat Pada Masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib meneruskan kebijakan khalifah Usman ibn Affan, dalam menjalankan kebijakan perekonomian, pemungutan zakat dan pajak-pajak mendapat perhatian utama. Ali Ibn Abi Thalib melakukannya dengan cara yang adil dan berada dalam batas-batas tertentu, “sepadan” dengan kemampuan rakyat. Cara ini dilakukan agar rakyat tidak mengorbankan kebutuhan hidupnya yang pokok untuk membayar pajak tersebut.

Dalam penerapan dan pelaksanaan zakat, Ali Ibn Abi Thalib selalu mengikuti kebijaksanaan khalifah-khalifah pendahulunya. Harta zakat yang sudah terkumpul ia perintahkan kepada petugas supaya segera mambagi-bagikan kepada mereka yang berhak yang sangat membutuhkannya, dan jangan sampai terjadi penumpukan harta zakat dalam Bait al-Maal. Dalam pendistribusian harta Bait al-Maal, khalifah Ali bin Abi Thalib menerapkan prinsip pemerataan. Ia memberikan santunan yang sama kepada setiap orang tanpa memandang status sosial atau kedudukannya dalam Islam. Ali tetap berpendapat bahwa seluruh pandapatan Negara yang disimpan di dalam Bait al-Maal harus didistribusikan.

Setelah masa Khulafaur Rasyidin zakat pada masa dinasti kerajaan Islam, yang ditandai dengan berdirinya Dinasti Umawiyah. Di era ini, walau system pengelolaan zakat semakin baik seiring kemajuan Negara dan peradaban, namun kinerjanya justru mengalami kemunduran, kecuali pada masa Umar bin Abdul Aziz. Pada Dinasti Abbasiah, masyarakat mulai tidak membayar zakat akibat beban pajak (kharaj) dan ushr yang terlalu tinggi. Pada masa Dinasti Andalusia, pengeloloan zakat menjadi rebutan antara kepala-kepala suku, sehingga zakat yang didistribusikan tidak mencukupi kebutuhan fakir miskin. Keadaan tersebut tidak berubah pada masa Dinasti Fatimiyah, di mana Khalifah meminta dari setiap kepala wilayah untuk mengumpulkan zakat yang kemudian disetor kepadanya tanpa adanya pencatatan pengeluaran atau penerimaan.

Pelajaran terpenting di era ini adalah bahwa determinan utama dari kinerja zakat adalah kepercayaan publik dan kepatuhan membayar zakat. Rendahnya kinerja zakat terlihat jelas berkorelasi dengan kepercayaan publik dan kepatuhan membayar zakat. Administrasi pemerintahan Abbasiyah memiliki birokrasi yang modern dan rasional, menggantikan administrasi pemerintahan Umayyah yang berkarakter keluarga.Urusan pemerintahan menjadi urusan rutin dan terdapat tiga jenis pelayanan atau biro. Pertama, Diwan Al-Rasa'il, kantor korespondensi dan arsip umum. Kedua, biro untuk pengumpulan pajak seperti Diwan Al-Kharaj. Ketiga, biro untuk pembayaran gaji pegawai negeri, dan yang terpenting adalah Diwan Al-Jaysy, biro tentara.

Untuk mempertahankan rentang kendali terhadap birokrasi, dibentuk mekanisme pengawasan internal. Urusan keuangan diawasi oleh Diwan Al-Azimma, yang awalnya bagian dari setiap Diwan namun kemudian menjadi biro anggaran yang independen. Korespondensi harus melalui badan pembuat naskah, Diwan Al-Tawqi' untuk pertimbangan pengesahan, dan khatam, penjaga stempel. Khalifah mendapat nasihat dan pertimbangan dari Mazalim, pengadilan administrasi khusus. Barid, kurir resmi dan pelayanan informasi, mengawasi bagian pemerintahan lainnya. Kantor Wazir dibangun untuk koordinasi, pengawasan dan evaluasi dari operasional birokrasi.

Namun terlepas dari system administrasi pemerintahan yang sangat baik ini, kinerja zakat justru menurun. Pemasukan Negara bersumber dari zakat dan Fai' yang terdiri dari kharaj, pajak dari bangsa lain, uang tebusan, jizyah, dan bea masuk barang impor dari Negara non-muslim (Ushr). Pemasukan Negara saat itu yang sangat besar memperlihatkan tingkat kemakmuran perekonomian, dan memungkinkan kelompok elit untuk hidup mewah. Namun seiring korupsi dan gaya hidup mewah pegawai pemerintah, pendapatan Negara Abbasiyah ini memperlihatkan trend penurunan dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini secara jelas mencerminkan penurunan tingkat kepatuhan membayar pajak seiring jatuhnya kepercayaan publik dan kondisi perekonomian dari masa kejayaan hingga keruntuhan Dinasti Abbasiyah.

 

4. Landasan hukum zakat dan Undang-Undang Zakat di Indonesia

Secara umum zakat dimaknai dengan memberikan hak milik harta tertentu kepada orang-orang yang berhak dengan syarat tertentu. Di Indonesia Undang-Undang tentang pengelolaan zakat disahkan melalui UU nomor 3 tahun 2011, dimana zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk di berikan kepada yang berhak menerimanya sesuai syariat Islam.

Zakat secara umum di bedakan menjadi zakat nafs (jiwa) atau disebut dengan zakat fitrah dan zakat harta (al-maal). Adapun zakat maal meliputi pertama, emas, perak dan logam mulia lainnya, kedua, uang dan surat berharga lainnya, ketiga, perniagaan atau perdagangan lainnya, keempat, pertanian, perkebunan dan kehutanan, kelima, peternakan dan perikanan keenam, pertambangan dan ke tujuh, pendapatan dan jasa, kedelapan, rikaz.

Pelaksanan pengelolaan zakat di Indonesia berdasar pada UU nomor 3 tahun 2011 adalah dilaksanakan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di tingkat pemerintahan dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang di laksanakan oleh non pemerintah.

BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan BAZNAS berfungsi :

a. Melakukan perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;

b. Melaksanakan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;

c. Mengendalikan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan

d. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelolaan zakat

Tugas Baznas melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui alah Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Sedangkan LAZ melakukan pelaporan kepada Baznas setiap tahun. Hal ini lakukan agar setiap tahun perkembangan dan pengawasan zakat dapat di pantau secara maksimal oleh pemerintah.

 

5. Zakat dan Kesejahteraan

          Zakat merupakan salah satu instrumen ekonomi yang berdimensi dunia dan akhirat, namun dua dimensi tersebut tidak akan memiliki dampak yang berarti bila pelaksanaannya tidak disatukan dalam aktivitas ekonomi. Misalnya implementasi zakat atas laba perusahaan, jika pengeluaran zakat tidak di satukan dengan perencanaan kapasitas produksi atau omset perusahaan maka zakat terhadap laba perusahaan tidak akan berdampak pada masalah produksi. Hal ini karena zakat perusahaan akan dikeluarkan jika laba yang diperoleh mencapai nishab.

Zakat akan berdampak pada akan meningkatnya permintaan barang dan jasa karena si miskin (mustahiq) yang dulu tidak mampu membeli maka setelah menerima zakat akan meningkatkan konsumsi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan demikian produksi juga akan bertambah.

          Zakat juga dapat digunakan sebagai isntrumen penunjang kesejahteraan, maka pendayagunaan zakat selain kebutuhan konsumtif jangka pendek bisa juga dialuhkan untuk zakat produktif yang bermanfaat untuk jangka panjang. Hal ini juga sesuai dengan UU nomor 23/2011 tentang pengelolaan zakat sebagai pendayagunaan sebagai zakat produktif. Sehingga pada akhirnya memunculkan stimulasi dana yang peruntukannya untuk kemandirian usaha secara produktif yang akhirnya menciptakan para Muzakki baru.

 

B. Pajak dalam Tinjauan Pandangan Islam

1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak

Menurut Soemitro pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Menurut Adriani pajak adalah iuran masyarakat kepada negara yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Menurut UU nomor 28 tahun 2007 pasal 1 :

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Dengan demikian dapat kita tarik benang merah bahwa pajak meliputi dua perpektif yakni pajak dilihat dari sisi ekonomi dan perpektif hukum. Dari perpektif ekonomi pajak dapat dipahami sebagai beralihnya sumberdaya dari sektor privat kepada sektor publik, sedangkan perspektif hukum merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara.

Pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur (regulered). Sebagai fungsi anggaran, pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara termasuk pengelolaan pelayan fasilitas negara. Sedangkan dalam fungsi regulasi, pajak mengatur keadaan masyarakat di bidang sosial, ekonomi dan politik sesuai dengan kebijakan pemerintah (UU).

 

2. Definisi Pajak menurut Pandangan Islam

Secara etimologi pajak dalam bahasa Arab disebut dengan Dharibah yang berasal dari asal kata dharaba, yudharibu dharban yang artinya mewajibkan, menetapkan, memukul, menerangkan atau membebankan dan lain-lain.

Dalam Al-Qur’an kata dharibah dapat diartikan dengan beban. Dharibah diartikan memiliki beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai beban, sedangkan kelembagaan pajak dalam bahasa Arab bernama maslahah ad-dharaib.

Dalam sistem ekonomi Islam pajak disebut dengan Dharibah bukan jizyah karena jizyah lebih tepat diterjemahkan dengan upeti (pajak kepala) yang dikenakan kepada ahli kitab (nasrani dan Yahudi) dan Majusi (penyembah api) hal ini di benarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha’, Sayyid Sabiq dalam Fiqhu As-Sunnah, Sa’id Hawwa dalam kitab Al-Islam, Ibnu Taimiyah dalam Majmu’atu Al-Fatawa dan Imam Mawardi dalam kitab Al-Ahkam As-Shulthaniyah.

Ada juga ulama ekonomi Islam dalam berbagai literatur menyebutkan pajak dengan padanan kata Kharaj (pajak tanah), atau ‘Ushr (bea masuk) selain Jizyah (upeti) padahal berbeda makna dengan dharibah. Dari sisi objek pajak (dharibah) terdiri dari Jizyah (An-Nafs), objek Kharaj adalah tanahnya (status tanah) dan objek ‘Ushr adalah biaya masuk barang-barang (impor). Sehingga sangat tidak sesuai dengan objek pajak (dharibah) itu sendiri, sedangkan obek pajak yang sasaran objeknyanya pada harta penghasilan/harta disebut Dharibah.

          Dalam bahasa yang lain di istilahkan dengan sebutan pajak (Tax) yang maknanya sebagai pungutan wajib atau harta yang dipungut dari rakyat untuk keperluan pengaturan negara. Istilah yang lebih tepat atas padanan kata dharibah dapat diartikan pajak tambahan yang sifat dan karakteristiknya berbeda dengan pajak (tax).

Nama/Sebutan

Objek

Subjek

Pajak (dharibah)

Harta selain zakat

Kaum Muslim

Jizyah

Jiwa (An-Nafs)

Non muslim

Kharaj

Tanah taklukan

Non Muslim

 

3. Pendapatan dan Pembangunan ekonomi pendapatan negara

Persyaratan yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi suatu negara adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi suatu negara itu tidak cukup hanya dengan menyediakan modal pembangunan baik investasi fisik maupun investasi sunber daya manusia saja, tetapi perlu juga menata kelembagaan ekonomi dan sosial dalam hal ini sektor publik memegang peranan penting terhadap semua unsur pembanguanan.

Penciptaan sumber-sumber domestik agar terciptanya tabungan dan investasi produktif merupakan keharusan dalam pembangunan. Akan tetapi jika tingkat tabungan yang sangat rendah maka pembanungan ekonomi akan terancam, menjadi sebaliknya jika tabungan domestik sangat tinggi maka pembangunan ekonomi juga akan berjalan.

Maka dalam meningkatkan pembangunan ekonomi sumber dana domestik diperlukan lingkungan yang kondusif bagi terciptanya tabungan yang diantaranya bersumber dari sektor pajak.

 

4. Sebab-Sebab Munculnya Pajak dalam Islam

Pendapatan negara (mawarid Ad-Daulah) pada zaman pemerintahan Rasulullah SAW (610-632 M) dan khulafaurrasyidin (632-650 M) di klasifikasikan menjadi : Ghanimah, Fai’ dan Shodaqah serta Zakat. Sedangkan harta Fai’ terbagai atas Kharaj, Usyr dan Jizyah.

1. Ghanimah adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari non muslim melalui peperangan. Hal ini berdasar Q.S [8]:41.

2. Fai’ adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari kaum muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran, oleh karenanya tidak ada hak tentara didalamnya Q.S [59]:6.

3. Kharaj adalah sewa tanah yang dipungut kepada non muslim di wilayah Islam.

4. ‘Ushr adalah biaya impor (biaya masuk) yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara. Wajib di bayar satu kali dalam setahun, dengan ketentuan barang yang bernilai lebih 200 dirham. Untuk non muslim 5% dan muslim 2,5%, sehingga umat Islam yang membayar tergolong sebagai zakat.

5. Jizyah atau upeti atau pajak kepala yang di bayarkan oleh non muslim khususnya perlindungan jiwa, properti, ibadah, dan tidak wajib militer. Q.S [9]:29

6. zakat (shodaqah) adalah kewajiban umat Islam atas harta tertentu yang telah mencapai satu nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu.

 

5. Perbedaan dan Persamaan zakat dan pajak

Zakat dan Pajak memiliki beberapa persamaan sebagai berikut :

1. Memiliki hukum yang sama, yakni wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri apabilai melalaikannya akan mendapat sanksi

2. keduanya harus disetorkan kepada lemabaga resmi yang ditunjuk petugasnya oleh negara agar tercapai efisiensi dan distribusinya

3. dikelola oleh negara secara langsung

4. untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan

Meski demikian zakat dan pajak memiliki perbedaan sebagai berikut :

1. zakat merupakan manifestasi ketaatan kepada Allah SWT sedangkan pajak adalah kewajiban rakyat kepada ulil Amri

2. dasar dari hukum zakat adalah AL-Qur’an dan Al-hadits sedangkan Pajak bersumber dari oleh hukum negara (UU)

3. zakat dilakukan hanya oleh kaum muslimin sedangkan pajak dilakukan oleh semua warga negara tanpa memandang agama dan keyakinan

4. batasan zakat menggunakan ukuran nisab atau Haul sedangkan pajak di batasi oleh wilayah teritorial suatu negara

5. zakat di tunaikan dengan menyertai niat sedangkan pajak tidak memakai niat.

Pada implementasi dan pelaksanaan UU nomor 36/2008 direktur pajak menetapkan surat keputusan nomor KEP-163/PJ/2003 tentang perlakuan zakat atas penghasilan dalam penghitungan penghasilan kena pajak dengan memberikan syarat bahwa zakat yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan penghasilan kena pajak adalah zakat penghasilan yang merupakan objek pajak yang dikenakan PPh tidak bersifat final berdasarkan ketentuan UU.

Besarnya zakat dapat dikurangi dari penghasilan kena pajak adalah 2.5% dari jumlah penghasilan yang merupakan objek pajak yang dikenakan PPh yang tidak bersifat final. Zakat tersebut harus dikurangkan terhadap penghasilan kena pajak pada tahun yang sama dengan penghasilan yang berhubungan dengan zakat dan dilaporkan dalam SPT, sebagai bukti pembayaran pajak. Hal ini sesuai dengan undang-undang nomor 23/2011.

 

--wassalam--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH || Amsal dalam Al-Qur’an

MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN LINGKUNGAN “ PELAKSANAAN SURVEILANS PENGAWASAN AIR BERSIH DAN LIMBAH CAIR DI RUMAH SAKIT UMUM HIDAYAH PURWOKERTO”

MAKALAH || Manusia, Moralitas, dan Hukum