ANALISIS SURVEILANS KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)
ANALISIS SURVEILANS KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)
“Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus”
2.2 Kebisingan dan Daya
Pendengaran
2.2.4 Faktor yang
Mempengaruhi Kebisingan
2.2.5 Pengukuran dan
Alat Pengukur Kebisingan
2.2.6 Nilai Ambang Batas
Kebisingan (NAB)
2.2.7 Pengaruh
Kebisingan Pada Manusia
3.2 Pengolahan dan
Penyajian Data
3.3 Analisis dan
Interpretasi Data
3.3.1 Analisis Bentuk
Kontur Sebaran Kebisingan
3.3.2 Analisis Hasil
Pengukuran Kebisingan
3.3.3 Analisis Hasil Pengumpulan Kuesioner
3.3.4 Analisis Data
Hasil Tes Audiometri
3.3.5 Analisis Hubungan
Kebisingan dan Penurunan Daya Dengar Pekerja
3.5 Pengambilan
Keputusan (Tindakan Pengendalian dan Pencegahan)
Hampir semua industri menuntut
dukungan penggunaan teknologi maju dan canggih yang akan memberi kemudahan dalam
proses produksi, meningkatkan produktivitas, dan efisiensi kerja. Kegiatan
produksi akan menghasilkan dampak lingkungan di antaranya : pencemaran air,
pencemaran udara, pencemaran tanah, getaran, dan kebisingan.
Suara di tempat kerja berubah
menjadi salah satu bahaya kerja (occupational
hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu/ tidak diinginkan secara
fisik dan psikis (Tambunan, 2005). Dalam Permenaker Nomor 13 Tahun 2011
disebutkan bahwa nilai ambang batas (NAB) untuk kebisingan adalah 85 dB dengan
waktu pemaparan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kebisingan diartikan semua
suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/
atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan
pendengaran (Permenaker Nomor 13 Tahun 2011). Operator atau pekerja lapangan
yang mengoperasikan peralatan produksi merupakan komponen lingkungan yang
terkena pengaruh yang disebabkan adanya kebisingan.
Kebisingan merupakan salah satu
faktor bahaya fisik yang terjadi di lingkungan. Dalam proses produksi yang
terjadi peralatan mesin yang digunakan mengeluarkan bunyi yang menyebabkan
kebisingan. Peralatan mesin yang digunakan dalam proses produksi beroperasi
selama 24 jam. Meskipun setiap industri sudah menerapkan sistem shift pada pekerja, mereka akan memiliki
resiko yang ditimbulkan dari adanya kebisingan mesin tersebut. Kebisingan yang
diterima pekerja dapat berkurang ±10 dBA dengan waktu pemaparan 8 jam/shift.
Namun, rendahnya kesadaran pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung diri
berupa earplug.
Kebisingan dapat mengakibatkan
ketulian atau kerusakan indera pendengaran. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), secara
global, pada tahun 2000, penderita gangguan pendengaran berjumlah sekitar 250
juta (4,2%) penduduk dunia, sekitar 75 sampai 140 juta bermukim di Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Pada manusia, kebisingan menyebabkan gangguan yang
bersifat nonpendengaran (nonauditory)
dan pendengaran (auditory). Dampak nonauditory meliputi gangguan
keseimbangan, sistem kardiovaskular, gangguan kualitas tidur, dan gangguan
kejiwaan (stres). Dampak auditory meliputi
tinnitus atau telinga berdengung, kesulitan membedakan kata berfrekuensi
tinggi, dan dampak auditory yang
paling serius adalah ketulian jenis sensorineural (sensorineural hearing loss). Gangguan pendengaran akibat bising
atau noise induced hearing loss
(NIHL) adalah gangguan pendengaran tipe sensorineural yang disebabkan oleh
pajanan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya
akibat bising lingkungan kerja. Pada mulanya, pengaruh kebisingan pada
pendengaran bersifat sementara dan pemulihan terjadi secara cepat apabila kerja
di tempat bising dihentikan, tetapi paparan kebisingan yang terjadi secara
terus-menerus, menyebabkan kehilangan daya dengar yang menetap yang tidak pulih
disebut kehilangan daya dengar permanen.
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan di atas, mengingat pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja,
dengan mengetahui nilai kebisingan pada peralatan kerja dan paparan yang
diterima oleh pekerja yang berpengaruh terhadap penurunan daya pendengaran.
Dengan begitu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang surveilans
K3 terutama dalam masalah kebisingan.
- Bagaimana pengumpulan data dan
diseminasi pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura
Barutama Unit PM 569 Kudus?
- Bagaimana pengolahan penyajian
data pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama
Unit PM 569 Kudus?
- Bagaimana analisis interpretasi
pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM
569 Kudus?
- Bagaimana tindakan pencegahan dan penanggulangan pada
surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569
Kudus?
1. Untuk mengetahui pengumpulan data
dan diseminasi pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura
Barutama Unit PM 569 Kudus
2. Untuk mengetahui pengolahan
penyajian data pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura
Barutama Unit PM 569 Kudus
- Untuk mengetahui analisis
interpretasi pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura
Barutama Unit PM 569 Kudus
- Untuk mengetahui tindakan pencegahan dan penanggulangan
pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM
569 Kudus
- Menambah wawasan dan pengetahuan tentang permasalahan
kebisingan.
- Dapat digunakan sebagai dasar
program kesehatan kerja
- Mengetahui tahap surveilans K3
dalam hal kebisingan
- Sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan surveilans
K3
Surveilans
Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap
data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi
yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah
kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien (Permenkes RI Nomor
45, 2014).
Sedangkan
surveilans K3 merupakan proses pengumpulan, analisis, interpretasi dan
penyebaran data yang berkelanjutan dan sistematis untuk tujuan pencegahan
risiko penyakit akibat kerja. Surveilans K3 sangat penting untuk mengajukan
perencanaan, implementasi dan evaluasi program kesehatan kerja, dan untuk
pengendalian kesehatan dan cedera yang berhubungan dengan pekerjaan serta
perlindungan dan promosi kesehatan pekerja.
2.2 Kebisingan dan Daya
Pendengaran
Berdasarkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 13 Tahun 2011,
kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari
alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu
dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Kebisingan
diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, sehingga perbedaan antara
kebisingan dan suara adalah dalam persepsi orang yang mendengarkannya (Michael,
2009).
Dirjen
PPM dan PL, DEPKES dan KESSOS RI, 2000 dalam Sumardiyono, dkk (2012) menyatakan
bahwa sumber kebisingan dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
1. Bising Industri
Industri
besar termasuk di dalamnya pabrik, bengkel dan sejenisnya. Bising industri
dapat dirasakan oleh karyawan maupun masyarakat di sekitar industri.
2. Bising Rumah Tangga
Umumnya disebabkan oleh alat-alat
rumah tangga dan tidak terlalu tinggi tingkat kebisingannya.
3. Bising Spesifik
Bising
yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan khusus, misalnya pemasangan tiang
pancang tol atau bangunan.
Sedangkan
Menteri KLH (1989) dalam Heru & Haryono (2007), sumber bising yang dilihat
dari bentuk sumber suara yang dikeluarkannya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Sumber bising yang terbentuk sebagai
suatu titik atau bola atau lingkaran, seperti sumber bising dari
mesin-mesin industri atau
mesin yang tak bergerak.
2. Sumber bising yang berbentuk sebagai
suatu garis, misalnya kebisingan yang timbul karena kendaraan-kendaraan yang
bergerak di jalan.
Menurut
Tambunan (2005), kebisingan di tempat kerja diklasifikasikan ke dalam dua jenis
golongan besar, yaitu kebisingan tetap (steady
noise) dan kebisingan tidak tetap (unsteady
noise). Kebisingan tetap (steady
noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis yaitu :
1. Kebisingan dengan frekuensi terputus
(discrete frequency noise)
Kebisingan ini berupa “nada-nada”
murni pada frekuensi yang beragam, contohnya suara mesin, suara
kipas, dan sebagainya.
2. Broadband
noise
Kebisingan dengan frekuensi terputus
dan broadband noise sama-
sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady
noise). Perbedaannya adalah broadband noise terjadi pada
frekuensi yang lebih bervariasi (bukan “nada” murni).
Sementara itu, kebisingan tidak
tetap (unsteady noise) dibagi lagi
menjadi:
1. Kebisingan fluaktif (fluctuating noise)
Kebisingan yang selalu berubah-ubah
selama rentang waktu tertentu.
2.
Intermittent noise
Sesuai dengan terjemahannya,
intermittent noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya
dapat berubah-ubah. Contohnya kebisingan lalu lintas.
3.
Impulsive noise
Kebisingan impulsif dihasilkan oleh
suara-suara berintensitas tinggi (memekakan telinga) dalam waktu relatif
singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sebagainya.
2.2.4 Faktor yang
Mempengaruhi Kebisingan
Menurut WHO (1995) dalam Tambunan
(2005), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebisingan antara lain
:
1.
Intensitas
Intensitas bunyi yang dapat didengar
telinga manusia berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik
yang dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar. Tingkat tekanan
bunyi diukur dengan skala logaritma dalam desibel (dB).
2.
Frekuensi
Frekuensi bunyi yang didengar oleh
telinga manusia terletak antara
(16-20000) Hz. Frekuensi bicara terletak pada rentang (250- 4000) Hz.
3.
Durasi
Efek bising yang merugikan sebanding
dengan lamanya pajanan, dan terlihat berhubungan dengan jumlah total energi
yang mencapai telinga dalam.
4.
Sifat
Sifat mengacu pada distribusi energi
bunyi terhadap waktu (stabil, berfluktuasi, intermiten).
Kebisingan impulsif (satu/lebih lonjakan energi bunyi dengan durasi kurang dari
1 detik) sangat berbahaya.
2.2.5 Pengukuran dan
Alat Pengukur Kebisingan
1. Suma’mur (2009) menyatakan bahwa
maksud pengukuran kebisingan adalah:
a. Memperoleh data tentang frekuensi
dan intensitas kebisingan di perusahaan atau dimana saja.
b. Menggunakan data hasil pengukuran
kebisingan untuk mengurangi intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak
menimbulkan gangguan dalam rangka upaya konversi pendengaran tenaga kerja, atau
perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam kehidupan
masyarakat atau tujuan lainnya.
2. Alat pengukur kebisingan menurut
Suma’mur (2009) yaitu :
Alat
utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound
Level Meter. Alat ini mengukur kebisingan antara (30-130) dB dan dari
frekuensi (20-20.000) Hz. Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu
sendiri kecuali untuk kalibrasi mikrofon
diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai
kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur oleh
amplifier. Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi ini yang
tergantung dari tekanan udara sehingga perlu koreksi tergantung dari tekanan
barometer.
2.2.6 Nilai Ambang
Batas Kebisingan (NAB)
Nilai
Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor tempat kerja
yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan
kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau
40 jam seminggu (Permenakertrans Nomor 13 tahun 2011).
2.2.7 Pengaruh
Kebisingan Pada Manusia
Menurut
Sander dan McCornick dalam Tarwaka (2004), pengaruh paparan kebisingan secara
umum dapat dikategorikan menjadi dua yang didasarkan pada tinggi rendahnya intensitas
kebisingan dan lamanya waktu pemaparan yaitu :
1.
Pengaruh kebisingan intensitas tinggi (di atas NAB)
Pengaruh
dari kebisingan intensitas tinggi adalah terjadinya kerusakan pada indera
pendengaran yang dapat menyebabkan
penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen
atau ketulian. Pengaruh kebisingan akan lebih terasa apabila jenis
kebisingannya terputus-putus dan sumbernya tidak diketahui. Kebisingan dengan
intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti : meningkatnya
tekanan darah dan denyut jantung, resiko serangan jantung meningkat, gangguan
pencernaan.
2.
Pengaruh kebisingan intensitas rendah (di bawah NAB)
Tingkat
kebisingan ini banyak ditemukan di lingkungan seperti perkantoran, ruang
administrasi perusahaan, dan lain-lain. Kebisingan dengan intensitas rendah
secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran, namun
kebisingan ini dapat menyebabkan performansi kerja sebagai salah satu penyebab
stres dan gangguan kesehatan lainnya. Kebisingan tersebut dapat menyebabkan
antara lain:
a. Stres
b. Gangguan reaksi psikomotor
c. Kehilangan konsentrasi
d. Gangguan komunikasi antara lawan
bicara
e. Penurunan performansi kerja yang
kesemuanya itu akan bermuara pada kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja.
Adapun
klasifikasi pengaruh kebisingan pada manusia menurut Heru dan Haryono (2007)
adalah sebagai berikut:
1.
Pengaruh pada indera pendengaran (auditory effect)
Ada
tiga kemungkinan yaitu:
a. Trauma akustik, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh paparan tunggal
terhadap intensitas kebisingan yang sangat tinggi dan terjadi secara tiba-tiba.
b. Ketulian sementara (temporary
threshold shift/TTS), gangguan pendengaran yang dialami seseorang yang
sifatnya sementara. Daya
dengarnya sedikit demi sedikit pulih kembali, waktu untuk pemulihan kembali
adalah berkisar dari beberapa menit sampai beberapa hari (3-7) hari, namun yang
paling lama tidak lebih dari sepuluh hari.
c. Ketulian permanen (permanent
threshold shift/PTS), bilamana seseorang pekerja mengalami TTS dan kemudian
terpajan bising kembali sebelum pemulihan secara lengkap terjadi, maka akan
terjadi “akumulasi” sisa ketulian (TTS), dan bila ini berlangsung secara
berulang dan menahun, sifat ketuliannya akan berubah menjadi menetap
(permanen). PTS pada umumnya terjadi setelah terpajan 10 tahun atau lebih.
2.
Bukan pada indera
pendengaran (Non Auditory Effect)
a. Gangguan komunikasi, kebisingan
dapat mengganggu percakapan sehingga
dapat
menimbulkan salah pengertian dari penerimaan pembicaraan.
b. Gangguan tidur (Sleep interference), manusia dapat terganggu tidurnya pada
intensitas suara (33-38) dBA dan
keluhan ini akan semakin banyak
ditemukan bila tingkat intensitas suara di ruang tidur mencapai 48 dBA.
c. Gangguan pelaksanaan tugas (Task Interference), terutama pada tugas-tugas yang membutuhkan
ketelitian atau pekerjaan yang rumit dan pekerjaan yang membutuhkan
konsentrasi tinggi.
d. Perasaan tidak senang atau mudah
marah (Annoyance).
e. Stress, pengalaman pada pemeriksaan
di perusahaan menunjukan beberapa
tahapan akibat stress kebisingan yaitu :
i.
menurunnya daya konsentrasi
ii.
Cenderung cepat lelah
iii.
Gangguan komunikasi
iv.
Gangguan fungsi pendengaran secara bertahap
v.
Ketulian atau penurunan daya dengar yang menetap
Pengumpulan
data mengenai monitoring lingkungan ini dilakukan dengan pengumpulan data
primer dan sekunder.
1. Pengumpulan data primer terdiri
dari:
a. Dokumentasi, yaitu metode pengamatan
dengan cara mendokumentasikan penelitian berupa foto
b. Studi Pustaka, yaitu dengan mengkaji
pustaka berupa buku, laporan terdahulu, penelitian, dan jurnal yang relevan
c. Kuisioner, yaitu dengan memberikan
pertanyaan secara terstruktur untuk mengetahui keluhan subyektif yang dirasakan
oleh pekerja
d. Pengukuran langsung, yaitu untuk
memperoleh data primer mengenai tingkat kebisingan dan daya pendengaran
2. Pengumpulan data sekunder terdiri
dari:
a. Jumlah pekerja dan jadwal jam kerja
b. Layout PT. Pura Barutama Unit Paper
Mill 5.6.9
c. Data hasil pengukuran kebisingan
pabrik
d. Data hasil pengukuran tes audiometri
pekerja
Pengukuran
kebisingan pada PT. Barutama menggunakan Teknik yang mengacu kepada SNI dimana
penentuan teknik pengukuran di setiap jalur yang sering dilalui pekerja. Metode yang digunakan untuk mengukur
kebisingan adalah dengan SLM atau Sound
Level Meter yang nantinya akan dipetakan menggunakan aplikasi. Pengukuran
kebisingan dilakukan dengan menentukan titik pengukuran yang mewakili letak
mesin dan posisi operator mesin, didapatkan 45 titik pengukuran. Metode yang
digunakan dalam pengukuran kebisingan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 48 Tahun 1996 yaitu dengan menggunakan cara sederhana. Metode
pengukuran kebisingan menggunakan Sound
Level Meter (SLM) yang diukur sepuluh menit untuk tiap titik dan pembacaan
dilakukan selama lima detik jadi, data yang terkumpul sebanyak 120 data/ titik.
Pengolahan titik koordinat dilakukan untuk menentukan posisi sebaran kebisingan
yang terjadi. Perhitungan terhadap Real paparan
yang diterima oleh pekerja merupakan paparan yang diterima operator saat
menggunakan earplug.
3.2 Pengolahan dan
Penyajian Data
Dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, proses pengolahan data akan memberikan
informasi yang spesifik perihal suatu penyakit dan atau permasalahan kesehatan
di dalamnya. Pengolahan berdasarkan perolehan pengumpulan data yang hasilnya
disajikan dalam bentuk tabel maupun grafik. Pengolahan data dilakukan sebelum
proses analisis secara deskriptif, kajian pustaka dan statistik. Analisis
secara deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan data yang telah diolah.
Analisis kajian pustaka berarti mengaitkan perolehan data dengan sumber teori
yang valid maupun dari penelitian terdahulu. Sedangkan analisis statistik
dengan uji korelasi spearman menggunakan software SPSS 16.0. Pengolahan data
tersebut meliputi:
1. Pengolahan titik koordinat untuk
menentukan posisi sebaran kebisingan sesuai dengan kondisi dilapangan dengan
tabulasi silang dilanjutkan dengan penggunaan software Surfer 8.0. Perhitungan
selanjutnya dilakukan dengan tujuan menunjukkan paparan sesungguhnya yang
didapatkan para operator yang telah menggunakan earplug dan dilanjutkan dengan uji kecukupan terhadap data yang
telah diambil serta uji keseragaman untuk menentukan data sampel yang digunakan
memiliki nilai penyimpangan yang normal.
2. Pengolahan untuk perolehan data
kuesioner dilakukan dengan uji validitas dan reliabilitas dengan bantuan
software SPSS 16.0 dengan beberapa persyaratan yang ditetapkan meliputi :
- Uji validitas dengan hasil R
hitung < 0,3 berarti item pertanyaan tersebut tidak valid.
- Uji reliabilitas dengan hasil nilai
alpha ≤ 0,5 berarti reliabel rendah.
3. Pengolahan data hasil pengukuran
audiometri dilakukan berdasarkan nilai ambang dengar (Hearing Threshold Level = HTL) sesuai Permenaker Nomor 25 Tahun
2008. Selain itu data juga dilakukan uji kecukupan dan keseragaman data.
3.3 Analisis dan
Interpretasi Data
3.3.1 Analisis Bentuk Kontur Sebaran Kebisingan
Setelah
menetapkan titik pengukuran, lalu diambil data koordinat dengan menggunakan GPS. Untuk membentuk kontur
sebaran kebisingan memerlukan data koordinat titik pengukuran dan nilai Leq
(Real paparan) pada setiap titiknya. Pengolahan data titik koordinat dan Leq
dengan menggunakan software Surfer 8.0 untuk dapat menampilkan bagaimana peta
kontur kebisingan yang terjadi di Ruang produksi Unit Paper Mill 5.6.9.
Peta
kontur ini diberi warna yaitu kuning, orange, dan merah. Warna-warna tersebut
memiliki intensitas tertentu yaitu warna kuning menunjukkan real paparan dengan
nilai 69 – 75 dBA, warna orange dengan nilai 76 – 84 dBA, dan untuk warna merah
menunjukkan nilai 85 – 90 dBA. Kontur dengan pewarnaan kuning dan orange dapat
diasumsikan sebagai zona aman karena memiliki nilai kebisingan yang berada di
bawah NAB yaitu 85 dBA, sedangkan untuk pewarnaan merah diasumsikan sebagai
zona bahaya dengan nilai kebisingan diatas NAB yang ditujukan untuk industri.
Selain melihat perbedaan warna, juga terdapat perbedaan kerapatan garis kontur.
Semakin rapat garis kontur maka daerah tersebut memiliki perbedaan nilai paparan
yang besar dan sebaliknya jika semakin jarang garis konturnya maka nilai
paparan yang diterima kecil.Pada area produksi terdapat 33 zona aman dan 12
zona bahaya.
3.3.2 Analisis Hasil Pengukuran Kebisingan
Setelah
dilakukan pengukuran kebisingan ke 45 titik tersebut, maka data kebisingan
diolah dengan perhitungan Leq (10 menit) dan Leq Real paparan. Sesuai dengan
Permenaker No.13 Tahun 2011, maka Nilai Ambang Batas (NAB) industri pada
pekerja selama 8 jam adalah 85 dB.
Setelah
mengetahui nilai Leq pada 45 mesin yang digunakan sebagai titik pengukuran.
Pada penelitian ini ingin menentukan Real paparan yang diterima oleh pekerja
selama 8 jam dengan menggunakan APD berupa earplug
yang digunakan berjenis with cord dengan NRR (Noise Reduction Rating) 23 dB, dapat mereduksi kebisingan sebesar 8
dBA. Real yang diterima oleh operator mesin. Dapat dilihat dari grafik diatas,
dari 45 titik yang beroperasi terdapat 33 titik yang memenuhi NAB dan 12 titik
melebihi NAB yaitu 85 dBA.
3.3.3 Analisis Hasil
Pengumpulan Kuesioner
Pengumpulan
kuesioner bertujuan untuk mendapatkan responden yang akan melakukan tes
audiometri. Analisis statistik penelitian ini dilakukan dengan uji validitas
dan uji reliabilitas.
Dalam
uji validitas diatas, terdapat 1 pertanyaan yaitu pada nomor 7 yang dinyatakan
tidak valid, Sedangkan 7 pertanyaan lain valid karena nilai R hitung > 0.3
sehingga, menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut memiliki hubungan yang signifikan.
Tabel 2. Uji Reliabilitas
Ketiga
kategori pada kuesioner menunjukkan hasil yang rendah, karena Alpha < 0.5
sehingga, sifat kuesioner reliabel rendah. Reliabel rendah kemungkinan terdapat
satu atau beberapa item pertanyaan tidak reliabel.
Selanjutnya
Analisis deskriptif bertujuan untuk menganalisis secara deskriptif untuk
seluruh pertanyaan dalam tiap kategori dalam kuesioner yang telah diisi oleh 45
responden pekerja lapangan PT. Pura Barutama Unit Paper Mill 5.6.9 Kudus. Pengumpulan
data kuesioner dengan menggunakan metode wawancara.
Gambar 2. Grafik Identitas
Pekerja
Terdapat
tiga pertanyaan mengenai identitas pekerja antara lain umur pekerja, masa
kerja, dan bekerja di bagian. Jumlah responden untuk kategori umur terbanyak
pada rentang 40 dengan persentase 62.4%.Pada Kategori masa kerja responden
terbanyak dengan > 25 tahun dengan prosentase 40%, dan pertanyaan ketiga
mengenai bekerja di bagian terbagi menjadi empat bagian responden terbanyak
bekerja di bagian produksi dengan prosentase 66.7%.
Gambar 3. Grafik Tiga Kategori
Terdapat
delapan pertanyaan yang mewakili tiga kategori, pertanyaan tersebut antara lain
:
1. Lingkungan kerja
a. Waktu istirahat kerja
b. Berada di tempat kerja pada saat jam
istirahat
c. Jarak bekerja terhadap mesin
2. Perilaku
a. Menggunakan APD
b. Saat tidak mengoperasikan mesin apa
yang dilakukan
3. Kesehatan
a. Saat tidur telinga berdenging
b. Memiliki gangguan telinga sebelum
bekerja di perusahaan
c. Tempat tinggal di dekat sumber
bising.
3.3.4 Analisis Data Hasil Tes Audiometri
Setelah pengumpulan kuesioner
dilakukan tahap selanjutnya adalah memilih responden yang lolos untuk tes
audiometri dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Usia 20 – 55 tahun
2. Tidak sedang sakit telinga
3. Lama kerja 8 jam sehari
4. Selama bekerja menggunakan
5. Masa kerja lebih dari 5 tahun
6. Bekerja sebagai operator mesin.
7. Tidak memiliki riwayat Tinnitus
Sebelum
melakukan pengukuran audiometri, perlunya memilih ruang yang kedap suara atau
hening supaya hasil tes memuaskan.Dalam pengambilan sampel kebisingan
lingkungan didapatkan Leq (1 menit) sebesar 39.9 dBA. Angka tersebut sesuai
dengan syarat untuk ruang pengukuran audiometri yaitu tidak melebihi 40 dB.
Pengujian tes audiometri dilakukan kepada 12 pekerja dengan mengukur kondisi
pendengaran telinga kanan lalu telinga kiri dari berbagai frekuensi. Setelah
data sudah terkumpul maka dilakukan perhitungan Average Hearing Threshold Level = HTL rata yang tercantum pada
Permenaker No. 25 Tahun 2008.
Tabel 3. HTL Pekerja
Perubahan
ambang dengan menggunakan data hasil pengukuran perusahaan yang diambil pada
tahun 2012 dan hasil tes audiometri, terdapat satu pekerja yang tidak mengalami
perubahan ambang dengan yang terjadi pada telinga kanan. Perubahan ambang
dengar dengan menggunakan perhitungan HTL rata-rata yang tercantum dalam
Permenaker Nomor 25 Tahun 2008, terdapat bahwa perubahan ambang dengar terkecil
yaitu 1.25 dB dan terbesar 28.75 dB.
3.3.5 Analisis Hubungan Kebisingan dan Penurunan Daya
Dengar Pekerja
Untuk
mengetahui hubungan antara kebisingan yang diterima pekerja dan penurunan daya
pendengaran melihat dari beberapa faktor diantaranya :
1. Kebisingan Leq (real paparan)
2. Hasil tes audiometri
3. Umur
4. Masa kerja
Tabel 4. Faktor Penurunan Daya
Pendengaran
Terdapat
5 pekerja dengan nilai paparan yang diterima melebihi NAB yaitu 85 dB dan 7
pekerja dengan nilai paparan yang diterima kurang dari NAB. Namun jika dilihat
pada 5 pekerja yang menerima paparan melebihi NAB seluruhnya mengalami
ketulian.Sedangkan 7 pekerja yang menerima paparan kurang dari NAB terdapat 5
pekerja tuli dan 2 pekerja normal.
Tabel 5. Korelasi Spearman > 85
Berdasarkan
hasil analisis kebisingan (real paparan) dengan NAB > 85 dB terhadap
penurunan daya pendengaran pekerja secara statistik melalui uji korelasi
spearman dengan hasil nilai sig. yaitu 0.045, dapat disimpulkan bahwa terdapat
korelasi yang signifikan antara Leq (real paparan) dan HTL.
Apabila
dilihat dari hasil tes audiometri yang didapatkan 7 pekerja yang bekerja pada
area aman dengan NAB < 85 dB terdapat 5 mengalami tuli dan 2 bertelinga
normal. Nampak bahwa faktor intensitas kebisingan bukan satu-satunya faktor
penyebab penurunan ambang dengar.
Tabel 6. Korelasi
Spearman < 85
Berdasarkan
hasil analisis kebisingan (real paparan) dengan NAB <85 dB terhadap
penurunan daya pendengaran pekerja secara statistik melalui uji korelasi
spearman menunjukkan hasil nilai sig. yaitu 0.788, dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat korelasi yang signifikan antara Leq (real paparan) dan HTL.
Intensitas
kebisingan dibawah nilai ambang batas yang diperkenankan yaitu <85 dB dengan
waktu pemaparan 8 jam sehari sebagaimana yang ditetapkan dalam Permenaker No.
13 tahun 2011 adalah aman bagi pekerja dan tidak memberikan dampak terhadap
gangguan pendengaran. Jika dilihat pada hasil tes audiometri pekerja yang
bekerja pada intensitas kebisingan <85 dB dari 7 pekerja terdapat 5 pekerja
tuli dan 2 pekerja berstatus normal. Pada kelima pekerja yang berstatus telinga
tuli jika dilihat dari aspek umur memiliki rentang antara 35 – 45 tahun.
Menurut Permenaker Nomor 25 Tahun 2008, pekerja yang memiliki usia diatas 40
tahun, maka daya pendengaran akan berkurang 0.5 dB pertahun. Menurut Ologe,
(2008) menyatakan usia rata-rata terjadinya gangguan pendengaran berkisar pada
usia produktif yaitu antara usia 20 – 50 tahun. Dilihat dari aspek masa kerja
kelima pekerja tersebut memiliki rentang antara 15 – 25 tahun. Menurut Nandi,
(2008) menyatakan bahwa gangguan akibat bising mulai berlangsung antara 6 – 10
tahun lamanya setelah terpajan bunyi yang kontinu.
Kebijakan
pemberian waktu istirahat dan waktu kerja juga menjadi faktor risiko yang
mengakibatkan gangguan pendengaran. PT. Pura Barutama Unit Paper Mill 5.6.9
tidak memberikan waktu istirahat kerja selama 8 jam, waktu istirahat kerja
diakumulasikan menjadi jatah libur.
Tabel 7. Pengaturan Waktu Kerja
Berdasarkan
Permenaker Nomor 13 Tahun 2011 untuk pekerja yang bekerja 8 jam per hari secara
terus menerus dengan waktu kerja 75% maka memiliki waktu istirahat sebesar 25%
sehingga, akan mendapatkan hasil 100% yaitu 8 jam kerja. Menurut Munilson,
(2010) bahwa apabila telinga normal terpajan bising pada intensitas yang
merusak selama periode waktu yang lama, akan terjadi penurunan pendengaran yang
temporer, yang akan menghilang setelah beberapa menit atau jam.
Pada
12 responden yang melakukan tes audiometri seluruhnya memakai pelindung telinga
berupa earplug. Namun berdasarkan
hasil wawancara, didapatkan bahwa pekerja sering melepas earplug saat terjadi kertas putus dan saat berkomunikasi dengan
pekerja lainnya. Sehingga pekerja tidak menggunakan dengan baik earplug selama
8 jam bekerja. Hal tersebut menjadi risiko paparan yang diterima lebih tinggi.
Menurut Mathur, (2009) bahwa pendengaran yang telah terganggu akibat bising
tidak dapat disembuhkan. Untuk menghindari paparan terhadap intensitas kebisingan
secara terus menerus dalam jangka waktu lama, perlu dilakukannya upaya secara
administratif untuk mengatur waktu kerja
Setelah
diperoleh hasil interpretasi, dilakukan diseminasi untuk diketahui bagaimana
kondisi real paparan kebisingan yang masuk kedalam tubuh manusia. Dalam
penelitian ini tidak disebutkan terkait langkah diseminasi informasi.
Diseminasi informasi dapat disampaikan kepada beberapa pihak seperti pemberi
(sumber) data yang disebut dengan umpan balik. Bentuk umpan balik dapat melalui
buletin atau newsletter. Informasi
juga dapat disampaikan kepada atasan sebagai bentuk laporan dan dapat
dimanfaatkan untuk perencanaan, melakukan tindakan, dan evaluasi program
penanggulangan, serta pada lintas sektor terkait dengan upaya peningkatan
kesehatan masyarakat yang akan meningkatkan wawasan sektor lain sehingga
diharapkan adanya dukungan dari institusi tersebut.
3.5 Pengambilan Keputusan
(Tindakan Pengendalian dan Pencegahan)
Terdapat
beberapa masalah di PT. Pura
Barutama Unit PM 569 Kudus mengenai peristiwa paparan kebisingan terhadap
tenaga kerja. Pengambilan keputusan mengenai tindakan pengendalian dan
pencegahan untuk mengurangi masalah kebisingan yang bisa diambil dan dilakukan
oleh PT. Pura Barutama Unit PM 569 Kudus, yaitu :
1. Melakukan perawatan dan perbaikan
peralatan mesin secara teratur untuk mengurangi sumber kebisingan akibat
peralatan mesin.
2. Melakukan pemantauan kebisingan
lingkungan kerja sebanyak dua kali dalam setahun.
3. Kebisingan yang melebihi dan
memenuhi NAB yaitu 85 dB dengan waktu pemajanan 8 jam dapat menimbulkan
penurunan daya pendengaran bagi tenaga kerja. Maka dari itu PT. Pura Barutama
Unit PM 569 Kudus bisa memberikan earplug
dengan NRR yang lebih besar kepada pekerja supaya paparan yang diterima oleh pekerja
masih memenuhi NAB.
4. Menerapkan sanksi yang tegas
terhadap pekerja yang tidak disiplin menggunakan APD.
5. PT. Pura Barutama Unit PM 569 Kudus
dapat menyediakan lampu rotator untuk menandakan terjadinya kertas putus dan
mensosialisasikan “Rule of Thumb”
atau bahasa yang sederhana jika melakukan percakapan dengan operator lain tanpa
melepas APD.
6. Untuk mencegah terjadinya gangguan
pendengaran akibat terkena kebisingan dengan tingkat yang maksimum dan waktu
yang cukup lama maka PT. Pura Barutama Unit PM 569 Kudus dapat mengatur lama
waktu/masa kerja dan juga menetapkan peraturan tentang keharusan bagi pekerja
untuk beristirahat selama 2 jam.
Pemerintah telah mengatur bagaimana
pelaksanaan pencegahan kebisingan dalam Permenaker dan juga Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup. Hal tersebut sebagai upaya yang wajib dilaksanakan oleh
perusahaan dengan jenis pekerjaan yang menghasilkan kebisingan melalui
alat-alat mesin untuk memelihara kesehatan pendengaran para pekerjanya.
Berkurangnya kemampuan pendengaran pekerja tidak selalu dihasilkan oleh
lingkungan di tempat kerja yang bising, bisa jadi ada pengaruh dari eksternal
lingkungan kerja. Tugas perusahaan adalah secara kontinu memastikan bahwa
pekerjanya selalu menerapkan protokol pencegahan ketulian dan menjaga kondisi
bising di lingkungan kerja dalam batas-batas yang telah ditentukan dalam
pedoman pelaksanaan dari pemerintah.
Sumber penelitian yang kami analisis
tidak mencantumkan kelanjutan upaya controlling
kesehatan pendengaran dari pekerja. Agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan,
yaitu peningkatan kesehatan pendengaran pekerja, diharapkan kegiatan survei
dilakukan berkelanjutan setiap enam bulan sekali. Hal ini juga dapat dijadikan
bahan controlling, bagaimana evaluasi
survei sebelumnya berpengaruh terhadap survei selanjutnya.
Chusna, N. A., Huboyo, H. S., &
Andarani, P. (2017). ANALISIS KEBISINGAN PERALATAN PABRIK TERHADAP DAYA
PENDENGARAN PEKERJA DI PT . PURA BARUTAMA UNIT PM 569 KUDUS. Jurnal Teknik Lingkungan, 6(1).
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Gubata ME, Packnett ER, Feng X,
Suma’mur. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (Hiperkes). Jakarta: CV Sagung
Seto; 2009.
Gubata ME, Packnett ER, Feng X,
Cowan DN, Niebuhr DW. Pre Enlistment hearing loss and hearing loss disability
among US soldiers and marines, noise and health. A Bimonthly Interdisciplinary
International Journal. 2013; 15(66): 289-95.
Jumali, J., Sumadi, S., Andriani,
S., Subhi, M., Suprijanto, D., Handayani, W.D., Chodir, A., Noviarmi, F.S.I.
and Indahwati, L., 2013. Prevalensi dan Faktor Risiko Tuli Akibat Bising pada
Operator Mesin Kapal Feri. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
(National Public Health Journal), 7(12), pp.545-550.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan.
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Nomor 879/Menkes/SK/- XI/2006 tentang Rencana Strategi Nasional
Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Untuk Mencapai Sound Hearing
2030. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2006
Lintong F. Gangguan pendengaran
akibat bising. Jurnal Biomedik. 2009; 1(2).
Luxon, Muhammad, Sri Darlina, dan
Tan Malaka. 2012.Kebisingan di Tempat Kerja. Kesmas: Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Universitas Sriwijaya. https://repository.unsri.ac.id/9448/2/kebisingan_di_tempat_kerja
Komentar
Posting Komentar