ANALISIS SURVEILANS KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)

ANALISIS SURVEILANS KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)

“Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus”


DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hampir semua industri menuntut dukungan penggunaan teknologi maju dan canggih yang akan memberi kemudahan dalam proses produksi, meningkatkan produktivitas, dan efisiensi kerja. Kegiatan produksi akan menghasilkan dampak lingkungan di antaranya : pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, getaran, dan kebisingan.

Suara di tempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya kerja (occupational hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu/ tidak diinginkan secara fisik dan psikis (Tambunan, 2005). Dalam Permenaker Nomor 13 Tahun 2011 disebutkan bahwa nilai ambang batas (NAB) untuk kebisingan adalah 85 dB dengan waktu pemaparan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kebisingan diartikan semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/ atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Permenaker Nomor 13 Tahun 2011). Operator atau pekerja lapangan yang mengoperasikan peralatan produksi merupakan komponen lingkungan yang terkena pengaruh yang disebabkan adanya kebisingan.

Kebisingan merupakan salah satu faktor bahaya fisik yang terjadi di lingkungan. Dalam proses produksi yang terjadi peralatan mesin yang digunakan mengeluarkan bunyi yang menyebabkan kebisingan. Peralatan mesin yang digunakan dalam proses produksi beroperasi selama 24 jam. Meskipun setiap industri sudah menerapkan sistem shift pada pekerja, mereka akan memiliki resiko yang ditimbulkan dari adanya kebisingan mesin tersebut. Kebisingan yang diterima pekerja dapat berkurang ±10 dBA dengan waktu pemaparan 8 jam/shift. Namun, rendahnya kesadaran pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung diri berupa earplug.

Kebisingan dapat mengakibatkan ketulian atau kerusakan indera pendengaran. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), secara global, pada tahun 2000, penderita gangguan pendengaran berjumlah sekitar 250 juta (4,2%) penduduk dunia, sekitar 75 sampai 140 juta bermukim di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada manusia, kebisingan menyebabkan gangguan yang bersifat nonpendengaran (nonauditory) dan pendengaran (auditory). Dampak nonauditory meliputi gangguan keseimbangan, sistem kardiovaskular, gangguan kualitas tidur, dan gangguan kejiwaan (stres). Dampak auditory meliputi tinnitus atau telinga berdengung, kesulitan membedakan kata berfrekuensi tinggi, dan dampak auditory yang paling serius adalah ketulian jenis sensorineural (sensorineural hearing loss). Gangguan pendengaran akibat bising atau noise induced hearing loss (NIHL) adalah gangguan pendengaran tipe sensorineural yang disebabkan oleh pajanan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya akibat bising lingkungan kerja. Pada mulanya, pengaruh kebisingan pada pendengaran bersifat sementara dan pemulihan terjadi secara cepat apabila kerja di tempat bising dihentikan, tetapi paparan kebisingan yang terjadi secara terus-menerus, menyebabkan kehilangan daya dengar yang menetap yang tidak pulih disebut kehilangan daya dengar permanen.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, mengingat pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja, dengan mengetahui nilai kebisingan pada peralatan kerja dan paparan yang diterima oleh pekerja yang berpengaruh terhadap penurunan daya pendengaran. Dengan begitu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang surveilans K3 terutama dalam masalah kebisingan.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Bagaimana pengumpulan data dan diseminasi pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus?
  2. Bagaimana pengolahan penyajian data pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus?
  3. Bagaimana analisis interpretasi pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus?
  4. Bagaimana tindakan pencegahan dan penanggulangan pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus?

1.3  Tujuan

1.   Untuk mengetahui pengumpulan data dan diseminasi pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus

2.   Untuk mengetahui pengolahan penyajian data pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus

  1. Untuk mengetahui analisis interpretasi pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus
  2. Untuk mengetahui tindakan pencegahan dan penanggulangan pada surveilans K3 terhadap Paparan Kebisingan di PT Pura Barutama Unit PM 569 Kudus

1.4  Manfaat

  1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang permasalahan kebisingan.
  2. Dapat digunakan sebagai dasar program kesehatan kerja
  3. Mengetahui tahap surveilans K3 dalam hal kebisingan
  4. Sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan surveilans K3

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Surveilans K3

Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien (Permenkes RI Nomor 45, 2014).

Sedangkan surveilans K3 merupakan proses pengumpulan, analisis, interpretasi dan penyebaran data yang berkelanjutan dan sistematis untuk tujuan pencegahan risiko penyakit akibat kerja. Surveilans K3 sangat penting untuk mengajukan perencanaan, implementasi dan evaluasi program kesehatan kerja, dan untuk pengendalian kesehatan dan cedera yang berhubungan dengan pekerjaan serta perlindungan dan promosi kesehatan pekerja.

 

2.2 Kebisingan dan Daya Pendengaran

2.2.1 Pengertian Kebisingan

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja  dan  Transmigrasi RI Nomor 13 Tahun 2011, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, sehingga perbedaan antara kebisingan dan suara adalah dalam persepsi orang yang mendengarkannya (Michael, 2009).

2.2.2 Sumber Kebisingan

Dirjen PPM dan PL, DEPKES dan KESSOS RI, 2000 dalam Sumardiyono, dkk (2012) menyatakan bahwa sumber kebisingan dibedakan  menjadi  tiga, yaitu:

1.     Bising Industri

Industri besar termasuk di dalamnya pabrik, bengkel dan sejenisnya. Bising industri dapat dirasakan oleh karyawan maupun masyarakat di sekitar industri.

2.     Bising Rumah Tangga

Umumnya disebabkan oleh alat-alat rumah tangga dan tidak terlalu tinggi tingkat kebisingannya.

3.     Bising Spesifik

Bising yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan khusus, misalnya pemasangan tiang pancang tol atau bangunan.

Sedangkan Menteri KLH (1989) dalam Heru & Haryono (2007), sumber bising yang dilihat dari bentuk sumber suara yang dikeluarkannya dibagi menjadi dua, yaitu:

1.     Sumber bising yang terbentuk sebagai suatu titik atau bola atau lingkaran, seperti sumber bising dari mesin-mesin  industri  atau  mesin yang tak bergerak.

2.     Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis, misalnya kebisingan yang timbul karena kendaraan-kendaraan yang bergerak di jalan.

2.2.3 Jenis Kebisingan

Menurut Tambunan (2005), kebisingan di tempat kerja diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan tidak tetap (unsteady noise). Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis yaitu :

1.       Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise)

Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada  frekuensi  yang beragam, contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya.

2.        Broadband noise

Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broadband  noise  sama- sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise).  Perbedaannya adalah broadband noise terjadi pada frekuensi  yang  lebih bervariasi (bukan “nada” murni).

Sementara itu, kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagi lagi menjadi:

1.     Kebisingan fluaktif (fluctuating noise)

Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.

2.     Intermittent noise

Sesuai dengan terjemahannya, intermittent noise  adalah  kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah. Contohnya kebisingan lalu lintas.

3.     Impulsive noise

Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sebagainya.

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kebisingan

Menurut WHO (1995) dalam Tambunan (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebisingan antara lain : 

1.     Intensitas

Intensitas bunyi yang dapat didengar telinga manusia berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik yang dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar. Tingkat tekanan bunyi diukur dengan skala logaritma dalam desibel (dB).

2.     Frekuensi

Frekuensi bunyi yang didengar oleh telinga manusia terletak  antara (16-20000) Hz. Frekuensi bicara terletak pada rentang (250- 4000) Hz.

3.     Durasi

Efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya pajanan, dan terlihat berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai telinga dalam.

4.     Sifat

Sifat mengacu pada distribusi energi bunyi  terhadap  waktu (stabil, berfluktuasi, intermiten). Kebisingan impulsif (satu/lebih lonjakan energi bunyi dengan durasi kurang dari 1 detik) sangat berbahaya.

2.2.5 Pengukuran dan Alat Pengukur Kebisingan

1.     Suma’mur (2009) menyatakan bahwa maksud pengukuran kebisingan adalah:

a.      Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di perusahaan atau dimana saja.

b.     Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan dalam rangka upaya konversi pendengaran tenaga kerja, atau perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam kehidupan masyarakat atau tujuan lainnya.

2.     Alat pengukur kebisingan menurut Suma’mur (2009) yaitu :

Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. Alat ini mengukur kebisingan antara (30-130) dB dan dari frekuensi (20-20.000) Hz. Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri kecuali untuk kalibrasi mikrofon  diperlukan  pengecekan  dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur oleh amplifier. Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi ini yang tergantung dari tekanan udara sehingga perlu koreksi tergantung dari tekanan barometer.

2.2.6 Nilai Ambang Batas Kebisingan (NAB)

Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan  sehari-hari  untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Permenakertrans Nomor 13 tahun 2011).

2.2.7 Pengaruh Kebisingan Pada Manusia

Menurut Sander dan McCornick dalam Tarwaka (2004), pengaruh paparan kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi dua yang didasarkan pada tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu pemaparan yaitu :

1.           Pengaruh kebisingan intensitas tinggi (di atas NAB)

Pengaruh dari kebisingan intensitas tinggi adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat  menyebabkan penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen atau ketulian. Pengaruh kebisingan akan lebih terasa apabila jenis kebisingannya terputus-putus dan sumbernya tidak diketahui. Kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti : meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung, resiko serangan jantung meningkat, gangguan pencernaan.

2.           Pengaruh kebisingan intensitas rendah (di bawah NAB)

Tingkat kebisingan ini banyak ditemukan di lingkungan seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan, dan lain-lain. Kebisingan dengan intensitas rendah secara fisiologis  tidak  menyebabkan kerusakan pendengaran, namun kebisingan ini dapat menyebabkan performansi kerja sebagai salah satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Kebisingan tersebut dapat menyebabkan antara lain:

a.      Stres

b.     Gangguan reaksi psikomotor

c.      Kehilangan konsentrasi

d.     Gangguan komunikasi antara lawan bicara

e.      Penurunan performansi kerja yang kesemuanya itu akan bermuara pada kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja.

Adapun klasifikasi pengaruh kebisingan pada manusia menurut Heru dan Haryono (2007) adalah sebagai berikut:

1.        Pengaruh pada indera pendengaran (auditory effect)

Ada tiga kemungkinan yaitu:

a.      Trauma akustik, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh paparan tunggal terhadap intensitas kebisingan  yang  sangat tinggi dan terjadi secara tiba-tiba.

b.     Ketulian sementara (temporary threshold shift/TTS), gangguan pendengaran yang dialami seseorang  yang  sifatnya  sementara. Daya dengarnya sedikit demi sedikit pulih kembali, waktu untuk pemulihan kembali adalah berkisar dari beberapa menit sampai beberapa hari (3-7) hari, namun yang paling lama tidak lebih dari sepuluh hari.

c.      Ketulian permanen (permanent threshold shift/PTS), bilamana seseorang pekerja mengalami TTS dan kemudian terpajan bising kembali sebelum pemulihan secara lengkap terjadi, maka akan terjadi “akumulasi” sisa ketulian (TTS), dan bila ini berlangsung secara berulang dan menahun, sifat ketuliannya akan berubah menjadi menetap (permanen). PTS pada umumnya terjadi setelah terpajan 10 tahun atau lebih.

2.         Bukan pada indera pendengaran (Non Auditory Effect)

a.      Gangguan komunikasi, kebisingan dapat mengganggu percakapan sehingga

dapat menimbulkan salah pengertian dari penerimaan pembicaraan.

b.     Gangguan tidur (Sleep interference), manusia dapat terganggu tidurnya pada intensitas suara (33-38) dBA dan  keluhan  ini akan semakin banyak ditemukan bila tingkat intensitas suara di ruang tidur mencapai 48 dBA.

c.      Gangguan pelaksanaan tugas  (Task  Interference),  terutama pada tugas-tugas yang membutuhkan ketelitian atau pekerjaan yang rumit dan pekerjaan yang  membutuhkan  konsentrasi tinggi.

d.     Perasaan tidak senang atau mudah marah (Annoyance).

e.      Stress, pengalaman pada pemeriksaan di  perusahaan menunjukan beberapa tahapan akibat stress kebisingan yaitu :

                                                                   i.          menurunnya daya konsentrasi

                                                                 ii.          Cenderung cepat lelah

                                                               iii.          Gangguan komunikasi

                                                               iv.          Gangguan fungsi pendengaran secara bertahap

                                                                 v.          Ketulian atau penurunan daya dengar yang menetap


BAB III
PEMBAHASAN

 

3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data mengenai monitoring lingkungan ini dilakukan dengan pengumpulan data primer dan sekunder.

1.     Pengumpulan data primer terdiri dari:

a.      Dokumentasi, yaitu metode pengamatan dengan cara mendokumentasikan penelitian berupa foto

b.     Studi Pustaka, yaitu dengan mengkaji pustaka berupa buku, laporan terdahulu, penelitian, dan jurnal yang relevan

c.      Kuisioner, yaitu dengan memberikan pertanyaan secara terstruktur untuk mengetahui keluhan subyektif yang dirasakan oleh pekerja

d.     Pengukuran langsung, yaitu untuk memperoleh data primer mengenai tingkat kebisingan dan daya pendengaran

2.     Pengumpulan data sekunder terdiri dari:

a.      Jumlah pekerja dan jadwal jam kerja

b.     Layout PT. Pura Barutama Unit Paper Mill 5.6.9

c.      Data hasil pengukuran kebisingan pabrik

d.     Data hasil pengukuran tes audiometri pekerja

Pengukuran kebisingan pada PT. Barutama menggunakan Teknik yang mengacu kepada SNI dimana penentuan teknik pengukuran di setiap jalur yang sering dilalui pekerja.  Metode yang digunakan untuk mengukur kebisingan adalah dengan SLM atau Sound Level Meter yang nantinya akan dipetakan menggunakan aplikasi. Pengukuran kebisingan dilakukan dengan menentukan titik pengukuran yang mewakili letak mesin dan posisi operator mesin, didapatkan 45 titik pengukuran. Metode yang digunakan dalam pengukuran kebisingan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 yaitu dengan menggunakan cara sederhana. Metode pengukuran kebisingan menggunakan Sound Level Meter (SLM) yang diukur sepuluh menit untuk tiap titik dan pembacaan dilakukan selama lima detik jadi, data yang terkumpul sebanyak 120 data/ titik. Pengolahan titik koordinat dilakukan untuk menentukan posisi sebaran kebisingan yang terjadi. Perhitungan terhadap Real paparan yang diterima oleh pekerja merupakan paparan yang diterima operator saat menggunakan earplug.

 

3.2 Pengolahan dan Penyajian Data

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, proses pengolahan data akan memberikan informasi yang spesifik perihal suatu penyakit dan atau permasalahan kesehatan di dalamnya. Pengolahan berdasarkan perolehan pengumpulan data yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabel maupun grafik. Pengolahan data dilakukan sebelum proses analisis secara deskriptif, kajian pustaka dan statistik. Analisis secara deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan data yang telah diolah. Analisis kajian pustaka berarti mengaitkan perolehan data dengan sumber teori yang valid maupun dari penelitian terdahulu. Sedangkan analisis statistik dengan uji korelasi spearman menggunakan software SPSS 16.0. Pengolahan data tersebut meliputi:

1.       Pengolahan titik koordinat untuk menentukan posisi sebaran kebisingan sesuai dengan kondisi dilapangan dengan tabulasi silang dilanjutkan dengan penggunaan software Surfer 8.0. Perhitungan selanjutnya dilakukan dengan tujuan menunjukkan paparan sesungguhnya yang didapatkan para operator yang telah menggunakan earplug dan dilanjutkan dengan uji kecukupan terhadap data yang telah diambil serta uji keseragaman untuk menentukan data sampel yang digunakan memiliki nilai penyimpangan yang normal.

2.       Pengolahan untuk perolehan data kuesioner dilakukan dengan uji validitas dan reliabilitas dengan bantuan software SPSS 16.0 dengan beberapa persyaratan yang ditetapkan meliputi :

    1. Uji validitas dengan hasil R hitung < 0,3 berarti item pertanyaan tersebut tidak valid.
    2. Uji reliabilitas dengan hasil nilai alpha ≤ 0,5 berarti reliabel rendah.

3.       Pengolahan data hasil pengukuran audiometri dilakukan berdasarkan nilai ambang dengar (Hearing Threshold Level = HTL) sesuai Permenaker Nomor 25 Tahun 2008. Selain itu data juga dilakukan uji kecukupan dan keseragaman data.

 

3.3 Analisis dan Interpretasi Data

      3.3.1 Analisis Bentuk Kontur Sebaran Kebisingan

Setelah menetapkan titik pengukuran, lalu diambil data koordinat dengan    menggunakan GPS. Untuk membentuk kontur sebaran kebisingan memerlukan data koordinat titik pengukuran dan nilai Leq (Real paparan) pada setiap titiknya. Pengolahan data titik koordinat dan Leq dengan menggunakan software Surfer 8.0 untuk dapat menampilkan bagaimana peta kontur kebisingan yang terjadi di Ruang produksi Unit Paper Mill 5.6.9.

       Peta kontur ini diberi warna yaitu kuning, orange, dan merah. Warna-warna tersebut memiliki intensitas tertentu yaitu warna kuning menunjukkan real paparan dengan nilai 69 – 75 dBA, warna orange dengan nilai 76 – 84 dBA, dan untuk warna merah menunjukkan nilai 85 – 90 dBA. Kontur dengan pewarnaan kuning dan orange dapat diasumsikan sebagai zona aman karena memiliki nilai kebisingan yang berada di bawah NAB yaitu 85 dBA, sedangkan untuk pewarnaan merah diasumsikan sebagai zona bahaya dengan nilai kebisingan diatas NAB yang ditujukan untuk industri. Selain melihat perbedaan warna, juga terdapat perbedaan kerapatan garis kontur. Semakin rapat garis kontur maka daerah tersebut memiliki perbedaan nilai paparan yang besar dan sebaliknya jika semakin jarang garis konturnya maka nilai paparan yang diterima kecil.Pada area produksi terdapat 33 zona aman dan 12 zona bahaya.

 

      3.3.2 Analisis Hasil Pengukuran Kebisingan

Setelah dilakukan pengukuran kebisingan ke 45 titik tersebut, maka data kebisingan diolah dengan perhitungan Leq (10 menit) dan Leq Real paparan. Sesuai dengan Permenaker No.13 Tahun 2011, maka Nilai Ambang Batas (NAB) industri pada pekerja selama 8 jam adalah 85 dB.




Gambar 1. Grafik Leq dan Real Paparan

 

       Setelah mengetahui nilai Leq pada 45 mesin yang digunakan sebagai titik pengukuran. Pada penelitian ini ingin menentukan Real paparan yang diterima oleh pekerja selama 8 jam dengan menggunakan APD berupa earplug yang digunakan berjenis with cord dengan NRR (Noise Reduction Rating) 23 dB, dapat mereduksi kebisingan sebesar 8 dBA. Real yang diterima oleh operator mesin. Dapat dilihat dari grafik diatas, dari 45 titik yang beroperasi terdapat 33 titik yang memenuhi NAB dan 12 titik melebihi NAB yaitu 85 dBA.

      3.3.3  Analisis Hasil Pengumpulan Kuesioner

Pengumpulan kuesioner bertujuan untuk mendapatkan responden yang akan melakukan tes audiometri. Analisis statistik penelitian ini dilakukan dengan uji validitas dan uji reliabilitas.


Tabel 1. Uji Validitas

 

Dalam uji validitas diatas, terdapat 1 pertanyaan yaitu pada nomor 7 yang dinyatakan tidak valid, Sedangkan 7 pertanyaan lain valid karena nilai R hitung > 0.3 sehingga, menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut memiliki hubungan yang signifikan.


Tabel 2. Uji Reliabilitas

Ketiga kategori pada kuesioner menunjukkan hasil yang rendah, karena Alpha < 0.5 sehingga, sifat kuesioner reliabel rendah. Reliabel rendah kemungkinan terdapat satu atau beberapa item pertanyaan tidak reliabel.

                   Selanjutnya Analisis deskriptif bertujuan untuk menganalisis secara deskriptif untuk seluruh pertanyaan dalam tiap kategori dalam kuesioner yang telah diisi oleh 45 responden pekerja lapangan PT. Pura Barutama Unit Paper Mill 5.6.9 Kudus. Pengumpulan data kuesioner dengan menggunakan metode wawancara.

 

       

                   Gambar 2. Grafik Identitas Pekerja

 

Terdapat tiga pertanyaan mengenai identitas pekerja antara lain umur pekerja, masa kerja, dan bekerja di bagian. Jumlah responden untuk kategori umur terbanyak pada rentang 40 dengan persentase 62.4%.Pada Kategori masa kerja responden terbanyak dengan > 25 tahun dengan prosentase 40%, dan pertanyaan ketiga mengenai bekerja di bagian terbagi menjadi empat bagian responden terbanyak bekerja di bagian produksi dengan prosentase 66.7%.

 


            Gambar 3. Grafik Tiga Kategori

Terdapat delapan pertanyaan yang mewakili tiga kategori, pertanyaan tersebut antara lain :

1.     Lingkungan kerja

a.      Waktu istirahat kerja

b.     Berada di tempat kerja pada saat jam istirahat

c.      Jarak bekerja terhadap mesin

2.     Perilaku

a.      Menggunakan APD

b.     Saat tidak mengoperasikan mesin apa yang dilakukan

3.     Kesehatan

a.      Saat tidur telinga berdenging

b.     Memiliki gangguan telinga sebelum bekerja di perusahaan

c.      Tempat tinggal di dekat sumber bising.

      3.3.4 Analisis Data Hasil Tes Audiometri

       Setelah pengumpulan kuesioner dilakukan tahap selanjutnya adalah memilih responden yang lolos untuk tes audiometri dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1.     Usia 20 – 55 tahun

2.     Tidak sedang sakit telinga

3.     Lama kerja 8 jam sehari

4.     Selama bekerja menggunakan

5.     Masa kerja lebih dari 5 tahun

6.     Bekerja sebagai operator mesin.

7.     Tidak memiliki riwayat Tinnitus

Sebelum melakukan pengukuran audiometri, perlunya memilih ruang yang kedap suara atau hening supaya hasil tes memuaskan.Dalam pengambilan sampel kebisingan lingkungan didapatkan Leq (1 menit) sebesar 39.9 dBA. Angka tersebut sesuai dengan syarat untuk ruang pengukuran audiometri yaitu tidak melebihi 40 dB. Pengujian tes audiometri dilakukan kepada 12 pekerja dengan mengukur kondisi pendengaran telinga kanan lalu telinga kiri dari berbagai frekuensi. Setelah data sudah terkumpul maka dilakukan perhitungan Average Hearing Threshold Level = HTL rata yang tercantum pada Permenaker No. 25 Tahun 2008.


Tabel 3. HTL Pekerja

       Perubahan ambang dengan menggunakan data hasil pengukuran perusahaan yang diambil pada tahun 2012 dan hasil tes audiometri, terdapat satu pekerja yang tidak mengalami perubahan ambang dengan yang terjadi pada telinga kanan. Perubahan ambang dengar dengan menggunakan perhitungan HTL rata-rata yang tercantum dalam Permenaker Nomor 25 Tahun 2008, terdapat bahwa perubahan ambang dengar terkecil yaitu 1.25 dB dan terbesar 28.75 dB.

      3.3.5 Analisis Hubungan Kebisingan dan Penurunan Daya Dengar Pekerja

Untuk mengetahui hubungan antara kebisingan yang diterima pekerja dan penurunan daya pendengaran melihat dari beberapa faktor diantaranya :

1.     Kebisingan Leq (real paparan)

2.     Hasil tes audiometri

3.     Umur

4.     Masa kerja



       Tabel 4. Faktor Penurunan Daya Pendengaran

 

       Terdapat 5 pekerja dengan nilai paparan yang diterima melebihi NAB yaitu 85 dB dan 7 pekerja dengan nilai paparan yang diterima kurang dari NAB. Namun jika dilihat pada 5 pekerja yang menerima paparan melebihi NAB seluruhnya mengalami ketulian.Sedangkan 7 pekerja yang menerima paparan kurang dari NAB terdapat 5 pekerja tuli dan 2 pekerja normal.

 



       Tabel 5. Korelasi Spearman > 85

 

Berdasarkan hasil analisis kebisingan (real paparan) dengan NAB > 85 dB terhadap penurunan daya pendengaran pekerja secara statistik melalui uji korelasi spearman dengan hasil nilai sig. yaitu 0.045, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara Leq (real paparan) dan HTL.

Apabila dilihat dari hasil tes audiometri yang didapatkan 7 pekerja yang bekerja pada area aman dengan NAB < 85 dB terdapat 5 mengalami tuli dan 2 bertelinga normal. Nampak bahwa faktor intensitas kebisingan bukan satu-satunya faktor penyebab penurunan ambang dengar.



Tabel 6. Korelasi Spearman < 85

 

Berdasarkan hasil analisis kebisingan (real paparan) dengan NAB <85 dB terhadap penurunan daya pendengaran pekerja secara statistik melalui uji korelasi spearman menunjukkan hasil nilai sig. yaitu 0.788, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara Leq (real paparan) dan HTL.

Intensitas kebisingan dibawah nilai ambang batas yang diperkenankan yaitu <85 dB dengan waktu pemaparan 8 jam sehari sebagaimana yang ditetapkan dalam Permenaker No. 13 tahun 2011 adalah aman bagi pekerja dan tidak memberikan dampak terhadap gangguan pendengaran. Jika dilihat pada hasil tes audiometri pekerja yang bekerja pada intensitas kebisingan <85 dB dari 7 pekerja terdapat 5 pekerja tuli dan 2 pekerja berstatus normal. Pada kelima pekerja yang berstatus telinga tuli jika dilihat dari aspek umur memiliki rentang antara 35 – 45 tahun. Menurut Permenaker Nomor 25 Tahun 2008, pekerja yang memiliki usia diatas 40 tahun, maka daya pendengaran akan berkurang 0.5 dB pertahun. Menurut Ologe, (2008) menyatakan usia rata-rata terjadinya gangguan pendengaran berkisar pada usia produktif yaitu antara usia 20 – 50 tahun. Dilihat dari aspek masa kerja kelima pekerja tersebut memiliki rentang antara 15 – 25 tahun. Menurut Nandi, (2008) menyatakan bahwa gangguan akibat bising mulai berlangsung antara 6 – 10 tahun lamanya setelah terpajan bunyi yang kontinu.

Kebijakan pemberian waktu istirahat dan waktu kerja juga menjadi faktor risiko yang mengakibatkan gangguan pendengaran. PT. Pura Barutama Unit Paper Mill 5.6.9 tidak memberikan waktu istirahat kerja selama 8 jam, waktu istirahat kerja diakumulasikan menjadi jatah libur. 


Tabel 7. Pengaturan Waktu Kerja

 

Berdasarkan Permenaker Nomor 13 Tahun 2011 untuk pekerja yang bekerja 8 jam per hari secara terus menerus dengan waktu kerja 75% maka memiliki waktu istirahat sebesar 25% sehingga, akan mendapatkan hasil 100% yaitu 8 jam kerja. Menurut Munilson, (2010) bahwa apabila telinga normal terpajan bising pada intensitas yang merusak selama periode waktu yang lama, akan terjadi penurunan pendengaran yang temporer, yang akan menghilang setelah beberapa menit atau jam.

Pada 12 responden yang melakukan tes audiometri seluruhnya memakai pelindung telinga berupa earplug. Namun berdasarkan hasil wawancara, didapatkan bahwa pekerja sering melepas earplug saat terjadi kertas putus dan saat berkomunikasi dengan pekerja lainnya. Sehingga pekerja tidak menggunakan dengan baik earplug selama 8 jam bekerja. Hal tersebut menjadi risiko paparan yang diterima lebih tinggi. Menurut Mathur, (2009) bahwa pendengaran yang telah terganggu akibat bising tidak dapat disembuhkan. Untuk menghindari paparan terhadap intensitas kebisingan secara terus menerus dalam jangka waktu lama, perlu dilakukannya upaya secara administratif untuk mengatur waktu kerja

 

3.4 Diseminasi Informasi

Setelah diperoleh hasil interpretasi, dilakukan diseminasi untuk diketahui bagaimana kondisi real paparan kebisingan yang masuk kedalam tubuh manusia. Dalam penelitian ini tidak disebutkan terkait langkah diseminasi informasi. Diseminasi informasi dapat disampaikan kepada beberapa pihak seperti pemberi (sumber) data yang disebut dengan umpan balik. Bentuk umpan balik dapat melalui buletin atau newsletter. Informasi juga dapat disampaikan kepada atasan sebagai bentuk laporan dan dapat dimanfaatkan untuk perencanaan, melakukan tindakan, dan evaluasi program penanggulangan, serta pada lintas sektor terkait dengan upaya peningkatan kesehatan masyarakat yang akan meningkatkan wawasan sektor lain sehingga diharapkan adanya dukungan dari institusi tersebut.

 

3.5 Pengambilan Keputusan (Tindakan Pengendalian dan Pencegahan)

Terdapat beberapa masalah di PT. Pura Barutama Unit PM 569 Kudus mengenai peristiwa paparan kebisingan terhadap tenaga kerja. Pengambilan keputusan mengenai tindakan pengendalian dan pencegahan untuk mengurangi masalah kebisingan yang bisa diambil dan dilakukan oleh PT. Pura Barutama Unit PM 569 Kudus, yaitu :

1.       Melakukan perawatan dan perbaikan peralatan mesin secara teratur untuk mengurangi sumber kebisingan akibat peralatan mesin.

2.       Melakukan pemantauan kebisingan lingkungan kerja sebanyak dua kali dalam setahun.

3.       Kebisingan yang melebihi dan memenuhi NAB yaitu 85 dB dengan waktu pemajanan 8 jam dapat menimbulkan penurunan daya pendengaran bagi tenaga kerja. Maka dari itu PT. Pura Barutama Unit PM 569 Kudus bisa memberikan earplug dengan NRR yang lebih besar kepada pekerja supaya paparan yang diterima oleh pekerja masih memenuhi NAB.

4.       Menerapkan sanksi yang tegas terhadap pekerja yang tidak disiplin menggunakan APD.

5.       PT. Pura Barutama Unit PM 569 Kudus dapat menyediakan lampu rotator untuk menandakan terjadinya kertas putus dan mensosialisasikan “Rule of Thumb” atau bahasa yang sederhana jika melakukan percakapan dengan operator lain tanpa melepas APD.

6.       Untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat terkena kebisingan dengan tingkat yang maksimum dan waktu yang cukup lama maka PT. Pura Barutama Unit PM 569 Kudus dapat mengatur lama waktu/masa kerja dan juga menetapkan peraturan tentang keharusan bagi pekerja untuk beristirahat selama 2 jam.

 

 

 

 


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pemerintah telah mengatur bagaimana pelaksanaan pencegahan kebisingan dalam Permenaker dan juga Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Hal tersebut sebagai upaya yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan dengan jenis pekerjaan yang menghasilkan kebisingan melalui alat-alat mesin untuk memelihara kesehatan pendengaran para pekerjanya. Berkurangnya kemampuan pendengaran pekerja tidak selalu dihasilkan oleh lingkungan di tempat kerja yang bising, bisa jadi ada pengaruh dari eksternal lingkungan kerja. Tugas perusahaan adalah secara kontinu memastikan bahwa pekerjanya selalu menerapkan protokol pencegahan ketulian dan menjaga kondisi bising di lingkungan kerja dalam batas-batas yang telah ditentukan dalam pedoman pelaksanaan dari pemerintah.

4.2 Saran

            Sumber penelitian yang kami analisis tidak mencantumkan kelanjutan upaya controlling kesehatan pendengaran dari pekerja. Agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu peningkatan kesehatan pendengaran pekerja, diharapkan kegiatan survei dilakukan berkelanjutan setiap enam bulan sekali. Hal ini juga dapat dijadikan bahan controlling, bagaimana evaluasi survei sebelumnya berpengaruh terhadap survei selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Chusna, N. A., Huboyo, H. S., & Andarani, P. (2017). ANALISIS KEBISINGAN PERALATAN PABRIK TERHADAP DAYA PENDENGARAN PEKERJA DI PT . PURA BARUTAMA UNIT PM 569 KUDUS. Jurnal Teknik Lingkungan, 6(1). http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan

Gubata ME, Packnett ER, Feng X, Suma’mur. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (Hiperkes). Jakarta: CV Sagung Seto; 2009.

Gubata ME, Packnett ER, Feng X, Cowan DN, Niebuhr DW. Pre Enlistment hearing loss and hearing loss disability among US soldiers and marines, noise and health. A Bimonthly Interdisciplinary International Journal. 2013; 15(66): 289-95.

Jumali, J., Sumadi, S., Andriani, S., Subhi, M., Suprijanto, D., Handayani, W.D., Chodir, A., Noviarmi, F.S.I. and Indahwati, L., 2013. Prevalensi dan Faktor Risiko Tuli Akibat Bising pada Operator Mesin Kapal Feri. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public Health Journal), 7(12), pp.545-550.

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 879/Menkes/SK/- XI/2006 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Untuk Mencapai Sound Hearing 2030. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2006

Lintong F. Gangguan pendengaran akibat bising. Jurnal Biomedik. 2009; 1(2).

Luxon, Muhammad, Sri Darlina, dan Tan Malaka. 2012.Kebisingan di Tempat Kerja. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat. Universitas Sriwijaya. https://repository.unsri.ac.id/9448/2/kebisingan_di_tempat_kerja

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH || Amsal dalam Al-Qur’an

MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN LINGKUNGAN “ PELAKSANAAN SURVEILANS PENGAWASAN AIR BERSIH DAN LIMBAH CAIR DI RUMAH SAKIT UMUM HIDAYAH PURWOKERTO”

MAKALAH || Manusia, Moralitas, dan Hukum