SURVEILANS PENYAKIT MENULAR "Sistem Pelaksanaan Surveilans Penyakit Diare di Puskesmas Tambakrejo Kota Surabaya"
SURVEILANS PENYAKIT MENULAR
Sistem Pelaksanaan Surveilans
Penyakit Diare di Puskesmas Tambakrejo
Kota Surabaya
DAFTAR ISI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.3.2
Penyelenggaraan Kegiatan Surveilans Kesehatan
2.3.3 Surveilans
Penyakit Menular
3.1 Kejadian Penyakit Diare di Kota Surabaya
3.1.2 Diare Semua Umur (Diare SU)
3.2 Sistem Surveilans Diare di Kota Surabaya
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit
menular merupakan suatu penyakit infeksi yang dapat disebabkan oleh mikroorganisme,
yang dapat menularkan kepada orang lain yang sehat. Biasanya, sebagian besar
dari penyakit menular yang ada di Indonesia dapat dicegah melalui pemberian
vaksin dan juga tidak lupa untuk selalu menerapkan pola hidup yang sehat.
Walaupun penyakit menular kadangkala bukan termasuk penyakit yang kronis, namun
hal tersebut bukan berarti membuat kita untuk mengabaikannya. Justru karena
bukan termasuk penyakit kronis, maka sudah seharusnya kita semua mencegahnya
agar tidak terjangkit sehingga tubuh dapat selalu sehat.
Penyakit-penyakit
menular yang ada di Indonesia sangat beragam. Bahkan dapat dikatakan macamnya
tidak sedikit. Adapun penyakit menular yang sering kita temui di Indonesia,
antara lain : Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), diare, Tuberkulosis (TB),
Demam Berdarah Dengue (DBD), difteri, dan lain sebagainya. Dalam penulisan
makalah “Sistem Pelaksanaan Surveilans Penyakit Diare di Puskesmas Tambakrejo
Kota Surabaya”, sengaja mengangkat topik salah satu penyakit menular, yakni
diare.
Berbicara
mengenai diare, tentunya bukan hal asing lagi bagi kita semua. Diare itu
sendiri adalah sebuah penyakit yang menyebabkan penderitanya sering buang air
besar (BAB) lebih dari tiga kali dalam sehari. Dari seringnya intensitas BAB
penderita, apabila tidak segera mendapatkan penanganan khusus maka dapat
dipastikan penderita akan mengalami komplikasi-komplikasi, diantaranya yaitu
dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh, renjatan hipovolemik, kerusakan
organ bahkan sampai koma.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO),
disebutkan bahwa diare merupakan salah satu penyebab utama meningkatnya angka
kesakitan dan kematian anak nomor dua di dunia. Di Indonesia sendiri, diare
dikenal sebagai penyakit endemis. Tidak jarang ditemukan diare di Indonesia,
salah satunya yaitu di Surabaya. Dari tahun 2014 hingga 2018 prevalensi diare
di Surabaya yang naik turun tidak menentu, sehingga perlu dilakukan tindakan
pencegahan agar angka kasus diare dapat ditekan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, adapun masalah dalam penulisan karya tulis ini dapat
dirumuskan, sebagai berikut :
1. Apa definisi penyakit menular dan
diare?
2. Apa saja faktor-faktor penyebab dan
risiko diare?
3. Bagaimana cara pencegahan diare?
2. Bagaimana kejadian diare di Kota Surabaya?
3. Bagaimana sistem surveilans diare di
Puskesmas Tambakrejo Kota Surabaya?
4. Apa sajakah masalah-masalah yang
terkait dengan sistem surveilans diare di Puskesmas Tambakrejo Kota
Surabaya?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini, sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi dari
penyakit menular dan diare.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang
menjadi penyebab dan risiko dari diare.
3. Untuk mengetahui cara-cara dalam
pencegahan diare.
4. Untuk mengetahui angka prevalensi
diare di Kota Surabaya.
5. Untuk mengetahui sistem surveilans
yang dijalankan di Puskesmas Tambakrejo Kota Surabaya.
6. Untuk mengetahui masalah-masalah
yang berkaitan dengan sistem surveilans diare di Puskesmas Tambakrejo di Kota Surabaya.
1.4
Manfaat
Penulisan ini ditulis dengan harapan agar dapat :
1. Menambah pemahaman mengenai penyakit menular, khususnya diare.
2. Menambah pemahaman mengenai angka
prevalensi surveilans tentang diare yang ada di Kota Surabaya.
3. Menambah pemahaman mengenai sistem
surveilans tentang diare yang dilaksanakan di Puskesmas Tambakrejo Kota
Surabaya.
4. Menambah pemahaman mengenai
upaya-upaya pencegahan terjadinya penyakit menular, khususnya diare.
5. Membangun kesadaran pembaca akan
pentingnya melakukan pencegahan terhadap penyakit menular, khususnya diare.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Menular
Penyakit
Menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui berbagai media. Penyakit
jenis ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua negara bekembang karena angka
kesakitan dan kematiannya yang relatif tinggi dalam kurun waktu yang relatif
singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut (mendadak) dan menyerang semua
lapisan masyarakat. Penyakit jenis ini diprioritaskan mengingat sifat
menularnya yang bisa menyebabkan wabah dan menimbulkan kerugian yang besar.
Penyakit menular merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling
mempengaruhi. (Widoyo, 2011:3).
Salah
satu penyakit menular adalah diare. Penyakit diare dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain keadaan lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan
masyarakat, gizi kependudukan, pendidikan yang meliputi pengetahuan, dan
keadaan sosial ekonomi. Sementara itu penyebab dari penyakit diare itu sendiri
antara lain virus yaitu Rotavirus
(40-60%), bakteri Escherichia coli
(20-30%), shigella sp. (1-2%) dan
parasite Entamoeba hystolitica (<1%).
Diare dapat terjadi karena hygiene dan sanitasi yang buruk, malnutrisi,
lingkungan padat dan sumber daya medis yang buruk (Widyono, 2008).
2.2 Diare
2.2.1 Definisi Diare
Diare
merupakan salah satu penyakit menular yang angka kesakitan dan kematiannya
relative tinggi. Diare adalah berak-berak lembek sampai cair (mencret), bahkan
dapat berupa cair saja, yang lebih sering dari biasanya (3 kali atau lebih
dalam sehari) yang ditandai dengan gejala dehidrasi, demam, mual dan muntah,
anorexia, lemah, pucat, keratin abdominal, mata cekung, mebran mukosa kering,
pengeluaran urin menurun, dan lain sebagainya (nazek, 2007; chang, 2008).
Diare dibagi menjadi tiga yaitu :
1.
Diare akut yaitu diare yang terjadi secara mendadak
pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat.
2.
Diare kronik yaitu diare yang berlanjut sampai 2 minggu
atau lebih dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah
(failure to thrive) selama masa diare tersebut. Diare kronik sering juga dibagi
menjadi : (1) Diare persisten (diare yang disebabkan oleh infeksi) (2) Protracted diare (diare yang berlangsung
lebih dari 2 minggu dengan tinja cair dan frekuensi 4x atau lebih per hari) (3)
Diare intraktabel (diare yang timbul berulang kali dalam waktu singkat misalnya
1-3 bulan) (4) Prolonged diare (diare
yang berlangsung lebih dari 7 hari) dan (5) Chronic
non specific diarrhea (diare yang berlangsung lebih dari 3 minggu tetapi
tidak disertai dengan gangguan pertumbuhan dan tidak ada tanda-tanda infeksi
maupun malabsorpsi).
3.
Disentri yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya.
Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan
kemungkinan terjadi komplikasi pada mukosa.
2.2.2 Faktor Penyebab Diare
1. Faktor anak
Bayi dan anak balita merupakan
kelompok usia yang paling banyak menderita diare, kerentanan kelompok usia ini
juga banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia anak, pemberian ASI,
status gizi dan status imunisasi campak
2. Faktor ibu
Peranan orang tua dalam pencegahan
dan perawatan anak dengan diare sangatlah penting. Faktor yang mempengaruhinya
yaitu usia ibu, tingkat pendidikan, pengetahuan ibu mengenai hidup sehat dan
pencegahan terhadap penyakit. Rendahnya tingkat pendidikan ibu dan kurangnya
pengetahuan ibu tentang pencegahan diare dan perawatan diare.
3. Faktor lingkungan
Sebagian besar penularan penyakit
diare adalah melalui dubur, kotoran dan mulut, untuk mengatur kemampuan
penularan penyakit selain tergantung jumlah dan kekuatan penyebab penyakit,
juga tergantung dari kemampuan lingkungan untuk menghidupinya serta
mengembangkan kuman penyakit diare, sehingga dapat dikatakan bahwa penularan
penyakit diare merupakan hasil dari hubungan antara faktor jumlah kuman yang
disekresi (penderita atau carrier), faktor lingkungan antara lain ketersediaan
air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan Mandi Cuci Kakus (MCK)
dan kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk.
4. Faktor sosial ekonomi masyarakat
Sosial ekonomi mempunyai pengaruh
langsung terhadap faktor-faktor penyebab diare. Kebanyakan anak yang rentan
menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli rendah, kondisi
rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air bersih yang memenuhi
persyaratan kesehatan, oleh karena itu faktor edukasi dan perbaikan ekonomi
sangat berperan dalam pencegahan dan penanggulangan diare.
a. Pendidikan
Faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap
kemampuan untuk melanjutkan pendidikan yang akhirnya dapat berpengaruh terhadap
pengetahuan individu.
b. Pekerjaan
Jenis
pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan. Menurut
Priyono tahun 2014 pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari
nafkah, pencarian.
5. Faktor perilaku
Faktor perilaku antara lain : (1)
Tidak memberikan ASI eksklusif, memberikan makanan pendamping/MPASI terlalu
dini akan mempercepat bayi kontak terhadap kuman (2) Menggunakan botol susu
terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit diare (3) Tidak menerapkan
kebiasaan cuci tangan pakai sabun sebelum memberi ASI/makan, setelah buang air
besar (BAB), dan setelah membersihkan BAB anak serta penyimpanan makanan yang
tidak higienis. Beberapa kondisi dapat menyebabkan seseorang mengalami
diare, umumnya adalah infeksi virus pada
usus besar.
2.2.3
Pencegahan Diare
Untuk mencegah penyebaran diare
dapat dilakukan dengan cara:
a. Mencuci tangan dengan menggunakan
sabun sampai bersih pada lima waktu penting: 1) Sebelum makan. 2) Sesudah buang
air besar (BAB). 3) Sebelum menyentuh balita anda. 4) Setelah membersihkan
balita anda setelah buang air besar. 5) Sebelum proses menyajikan makan untuk
siapapun.
b. Mengkonsumsi air yang bersih dan
sehat atau air yang sudah melalui proses pengolahan. Seperti air yang sudah
dimasak terlebih dahulu, proses klorinasi.
c. Pengolahan sampah yang baik dengan
cara pengalokasiannya ditempatkan ditempat yang sudah sesuai, supaya makanan
anda tidak dicemari oleh serangan (lalat, kecoa, kutu, dll).
d. Membuang proses MCK (Mandi Cuci
Kakus) pada tempatnya, sebaiknya anda menggunakan WC/jamban yang bertangki
septik atau memiliki sepiteng (Ihramsulthan.com, 2010).
2.3 Surveilans
2.3.1 Surveilans Kesehatan
Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.14 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan, Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang
sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian
penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan
memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan
secara efektif dan efisien.
Menurut
WHO (2006), surveilans merupakan kegiatan pengamatan penyakit yang dilakukan
secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian dan distribusi penyakit
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat
dilakukan penanggulangan untuk dapat mengambil tindakan efektif. Sementara itu,
(German, 2001)
mendefinisikan surveilans kesehatan masyarakat sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan secara terus-menerus berupa pengumpulan data secara sistematik,
analisis dan interpretasi data mengenai suatu peristiwa yang terkait dengan
kesehatan untuk digunakan dalam tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya
mengurangi angka kesakitan dan kematian, dan meningkatkan status kesehatan.
Surveilans
adalah pengumpulan dan pengamatan secara sistematis dan berkesinambungan,
analisis dan interpretasi data kesehatan dalam proses menjelaskan dan memantau
(memonitor) peristiwa kesehatan. Informasi hasil surveilans digunakan untuk
perencanaan. penerapan (implementasi), evaluasi tindakan (intervensi), dan
program kesehatan masyarakat. Dengan kata lain, surveilans merupakan kegiatan
pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek kejadian penyakit
dan kematian akibat penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam
suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya
(Noor, 2008).
Berdasarkan
beberapa definisi yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa surveilans
merupakan suatu kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi
data mengenai informasi terjadinya penyakit atau masalah kesehatan yang
dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan untuk diambil tindakan
pengendalian dan penanggulangan yang tepat.
2.3.2 Penyelenggaraan Kegiatan Surveilans
Kesehatan
Surveilans
Kesehatan diselenggarakan agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara
efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan data, analisis
data, dan diseminasi kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan. Surveilans
Kesehatan mengedepankan kegiatan analisis atau kajian epidemiologi serta
pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan
pengumpulan data dan pengolahan data. Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan
harus mampu memberikan gambaran epidemiologi antara lain komponen pejamu, agen
penyakit, dan lingkungan yang tepat berdasarkan dimensi waktu, tempat dan
orang. Karakteristik pejamu, agen penyakit, dan lingkungan mempunyai peranan
dalam menentukan cara pencegahan dan penanggulangan jika terjadi gangguan
keseimbangan yang menyebabkan sakit.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.14 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan, Kegiatan Surveilans Kesehatan meliputi:
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan
cara aktif dan pasif serta jenis datanya dapat berupa data kesakitan, kematian,
dan faktor risiko. Pengumpulan data dapat diperoleh dari berbagai sumber antara
lain individu, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, unit statistik dan demografi, dan
sebagainya. Untuk metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui wawancara,
pengamatan, pengukuran, dan pemeriksaan terhadap sasaran. Dalam melaksanakan
kegiatan pengumpulan data, diperlukan instrumen sebagai alat bantu yang dibuat
sesuai dengan tujuan surveilans yang akan dilakukan dan memuat semua variabel
data yang diperlukan.
2. Pengolahan data
Sebelum pengolahan data, dilakukan
pembersihan koreksi dan cek ulang. Setelah itu, selanjutnya data diolah dengan
cara perekaman data, validasi, pengkodean, alih bentuk (transform) dan
pengelompokan berdasarkan variabel tempat, waktu, dan orang. Hasil pengolahan
dapat berbentuk tabel, grafik, dan peta menurut variabel golongan umur, jenis
kelamin, tempat dan waktu, atau berdasarkan faktor risiko tertentu. Setiap
variabel tersebut disajikan dalam bentuk ukuran epidemiologi yang tepat (rate,
rasio dan proporsi). Pengolahan data yang baik akan memberikan informasi
spesifik suatu penyakit dan atau masalah kesehatan. Setelah diolah, data harus
disajikan. Penyajian hasil olahan data ini harus dalam bentuk yang informatif,
dan menarik. Hal ini akan membantu pengguna data untuk memahami keadaan yang
disajikan.
3. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan
menggunakan metode epidemiologi deskriptif dan/atau analitik untuk menghasilkan
informasi yang sesuai dengan tujuan surveilans yang ditetapkan. Analisis dengan
metode epidemiologi deskriptif dilakukan untuk mendapat gambaran tentang
distribusi penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya menurut waktu, tempat dan orang. Sedangkan analisis dengan
metode epidemiologi analitik dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel
yang dapat mempengaruhi peningkatan kejadian kesakitan atau masalah kesehatan.
Untuk mempermudah melakukan analisis dengan metode epidemiologi analitik dapat
menggunakan alat bantu statistik. Hasil analisis akan memberikan arah dalam
menentukan besaran masalah, kecenderungan suatu keadaan, sebab akibat suatu
kejadian, dan penarikan kesimpulan yang harus didukung dengan teori dan kajian
ilmiah yang sudah ada.
4. Diseminasi informasi
Diseminasi informasi dapat
disampaikan dalam bentuk buletin, surat edaran, laporan berkala, forum
pertemuan, termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi informasi dilakukan dengan
memanfaatkan sarana teknologi informasi yang mudah diakses. Diseminasi
informasi dapat juga dilakukan apabila petugas surveilans secara aktif terlibat
dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi program kesehatan,
dengan menyampaikan hasil analisis.
2.3.3 Surveilans Penyakit Menular
Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 1479 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu, surveilans
epidemiologi penyakit menular merupakan analisis terus menerus dan sistematika
terhadap penyakit menular dan faktor risiko untuk upaya pemberantasan penyakit
menular.
2.3.4 Surveilans Diare
Surveilans
epidemiologi penyakit diare adalah kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit diare dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit diare agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan (Kemenkes RI, 2011). Surveilans ini dilakukan untuk mengetahui
situasi epidemiologi dan besarnya masalah penyakit diare di masyarakat,
sehingga dapat dibuat perencanaan dalam pencegahan, penanggulangan maupun
pemberantasannya di semua jenjang pelayanan.
Penyelenggaraan
surveilans diare dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.14
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. Penyelenggaraan surveilans diare ini
meliputi:
1.
Pengumpulan data
Data dikumpulkan dari dari laporan
rutin oleh Puskesmas dan Rumah Sakit melalui SP2TP (LB), SPRS (RL), STP dan
rekapitulasi diare. Karena diare termasuk penyakit yang dapat menimbulkan wabah
maka perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk dapat membuat laporan rutin
perlu pencatatan setiap hari (register) penderita diare yang datang ke sarana
kesehatan, posyandu atau kader agar dapat dideteksi tanda-tanda akan terjadinya
KLB/wabah sehingga dapat segera dilakukan tindakan penanggulangan secepatnya.
Laporan rutin ini dikompilasi oleh petugas RR/Diare di Puskesmas kemudian
dilaporkan ke tingkat kabupaten / kota melalui laporan bulanan (LB) dan STP
setiap bulan. Petugas/pengelola diare kabupaten/kota membuat rekapitulasi dari
masing-masing Puskesmas dan secara rutin (bulanan) dikirim ke tingkat provinsi
dengan menggunakan formulir rekapitulasi diare. Dari tingkat provinsi direkap
berdasarkan kabupaten/kota secara rutin (bulanan) dan dikirim ke pusat (Subdit
Diare, Kecacingan & ISPL) dengan menggunakan formulir rekapitulasi diare.
a. Laporan KLB/wabah
Setiap terjadi KLB/wabah harus dilaporkan dalam periode 24
jam (W1) dan dilanjutkan dengan laporan khusus yang meliputi:
1) Kronologi terjadinya KLB
2) Cara penyebaran serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya
3) Keadaan epidemiologis penderita
4) Hasil penyelidikan yang telah
dilakukan
5) Hasil penanggulangan KLB dan rencana
tindak lanjut
b. Pengumpulan data melalui studi kasus
Pengumpulan data ini dapat dilakukan satu tahun sekali,
misalnya pada pertengahan atau akhir tahun. Tujuannya untuk mengetahui “baseline data” sebelum atau setelah
program dilaksanakan dan hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk
perencanaan di tahun yang akan datang.
2.
Pengolahan, analisis dan interpretasi
Data-data yang telah dikumpulkan
diolah dan ditampilkan dalam bentuk tabel-tabel atau grafik, kemudian
dianalisis dan diinterpretasi. Analisis ini sebaiknya dilakukan berjenjang dari
puskesmas hingga pusat, sehingga kalau terdapat permasalahan segera dapat
diketahui dan diambil tindakan pemecahannya.
3.
Penyebarluasan hasil interpretasi
Hasil analisis dan interpretasi
terhadap data yang telah dikumpulkan, diumpan balikkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan yaitu kepada pimpinan di daerah (Kecamatan hingga Dinkes
Provinsi) untuk mendapatkan tanggapan dan dukungan penanganannya
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Kejadian Penyakit Diare di Kota Surabaya
Penyakit
diare merupakan penyakit endemis di Indonesia yang berpotensi untuk menjadi
Kejadian Luar Biasa (KLB) diikuti kematian. Pengendalian penyakit diare
bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare bersama
lintas program dan lintas sektor terkait (Dinkes Kota Surabaya, 2018).
Menurut
data yang dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya sampai tahun 2018,
kejadian diare tertinggi ada pada tahun 2010, 2011, dan 2013 yaitu sebanyak
120.008 penderita, 101.318 penderita, dan 95.105 penderita. Pada tahun 2012
angka penderita diare mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2011 yang
menjadi 92.072 penderita. Sejak
penurunan kasus pada tahun 2012, angka penderita diare berangsur menurun pada
tahun-tahun selanjutnya. Terdapat 86.893 penderita di tahun 2014, 65.447
penderita di tahun 2015, 60.627 penderita di tahun 2016.
Namun,
pada tahun 2017 dan 2018, angka penderita meningkat lagi menjadi 76.602 jiwa
dan 78.463 jiwa. Hal ini dapat disebabkan oleh data entry yang lebih akurat atau lebih banyak yang diperoleh dari
fasilitas kesehatan (puskesmas, klinik, dan rumah sakit) di dusun/kecamatan dan
kelurahan di seluruh Kota Surabaya sedangkan kasus diare yang berkurang pada
tahun 2012-2016 dapat disebabkan oleh data
entry atau informasi yang tidak akurat dan tidak tercatat.
3.1.1 Diare Balita
Target nasional cakupan pelayanan penderita diare balita yang datang ke sarana kesehatan adalah 20% dari perkiraan jumlah penderita diare balita yang dihitung dengan rumus Insiden Diare Balita dikalikan jumlah balita di satu wilayah kerja dalam waktu satu tahun (Profil Kesehatan Indonesia, 2018). Di bawah ini tertera grafik cakupan pelayanan diare balita yang digunakan sebagai ukuran pencapaian dari pelaksanaan program pengendalian penyakit diare di Kota Surabaya.
Persentase tertinggi dari capaian program pengendalian diare pada balita ada pada tahun 2014 yaitu sebesar 143,39% dan persentase terendah ada pada tahun 2016 sebesar 78,45%. Sedangkan, persentase penyakit diare pada balita dengan kenaikan dan penurunan yang tidak signifikan terjadi pada tahun 2015 (107,36%); tahun 2017 (98,69%); dan tahun 2018 (100,71%). Selanjutnya, pada tahun 2019, jumlah penyakit diare pada balita yang dilayani di sarana kesehatan sebanyak 19.941 jiwa atau 56,40% dari perkiraan diare pada balita di sarana kesehatan.
3.1.2 Diare Semua Umur (Diare SU)
Target
nasional cakupan pelayanan penderita diare semua umur yang datang ke sarana
kesehatan adalah 10% dari perkiraan jumlah diare semua umur yang dihitung dari
Insidens Diare SU dikali jumlah penduduk di satu wilayah kerja dalam waktu satu
tahun (Profil Kesehatan Indonesia, 2018).
Pada
tahun 2018, jumlah penderita diare semua umur yang dilayani di sarana kesehatan
sebanyak 78.463 jiwa atau 100,71% dan terjadi peningkatan pada tahun 2019 yaitu
menjadi sebanyak 94.278 jiwa atau 120,56% dari perkiraan jumlah penderita diare
di sarana kesehatan. Insidens diare semua umur secara nasional adalah 270/1.000
penduduk (Rapid Survey Diare, 2015).
3.2
Sistem Surveilans Diare di Kota Surabaya
3.2.1 Input
a. Sumber Daya Manusia (Man)
Terdapat
satu orang petugas surveilans diare di puskesmas, dengan pendidikan D3
Keperawatan yang telah bertugas sejak tahun 1999. Petugas surveilans diare
merangkap beberapa tugas, yaitu sebagai perawat di Puskesmas dan Pustu, juga
pada program campak dan difteri yang dilaksanakan oleh bagian pengamatan
penyakit (surveilans). Kemampuan mengolah dan menganalisis data dengan komputer
sangat terbatas.
Pelatihan
yang pernah diikuti petugas surveilans adalah pelatihan Disaster Victim
Identification (DVI), imunisasi, surveilans PD3I (Penyakit yang dapat Dicegah
dengan Imunisasi) dan penanganan kegawatdaruratan. Petugas belum pernah
mengikuti pelatihan khusus tentang surveilans diare dan MTBS (Manajemen Terpadu
Balita Sakit).
Agar
program diare dapat berjalan secara optimal, peran dari tenaga kesehatan sangat
dibutuhkan. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan program diare
bukan hanya tanggung jawab petugas diare saja tetapi tenaga kesehatan lain juga
ikut terlibat. Petugas diare tidak akan mampu mengatasi permasalahan diare
tanpa adanya kerjasama/koordinasi dengan tenaga kesehatan lainnya.
Dalam
mencegah terjadinya peningkatan kasus diare, petugas diare berperan dalam
melakukan penyuluhan dan membuat laporan rutin diare. Penyuluhan dilakukan di
puskesmas maupun di luar puskesmas yaitu di posyandu melalui kader posyandu dan
di sekolah. Petugas diare juga rutin membuat laporan diare dalam bentuk
mingguan (W2) dan bulanan (LB) yang selanjutnya akan dilaporkan ke Dinas
Kesehatan Surabaya.
b. Dana (Money)
Sumber
dana surveilans diare berasal dari APBD dan APBN. Dana dari APBN, dalam bentuk
dana Jamkesmas digunakan untuk program diare dalam bentuk penyuluhan diare,
kunjungan rumah dan pelatihan kader. Sedangkan untuk logistik diare dalam
bentuk obat-obatan, berasal dari dana APBD. Namun, dana untuk kegiatan
surveilans diare dalam bentuk pengumpulan data, pengolahan, analisis, dan
diseminasi masih belum tersedia.
c. Sarana dan Bahan (Material)
1) Bahan
Bahan atau dokumen yang digunakan dalam surveilans diare terdiri dari beberapa dokumen pelaporan. Akan tetapi, dokumen pelaporan masih belum lengkap ditandai dengan tidak adanya dokumen laporan wabah (W1), formulir investigasi penderita diare/kolera, formulir permintaan pemeriksaan spesimen, serta belum dimasukkannya laporan cakupan kesehatan lingkungan sebagai bahan analisis.
1) Sarana
Sarana
yang digunakan dalam kegiatan surveilans diare yaitu satu set komputer yang
juga digunakan untuk sistem informasi puskesmas, yang diperoleh dari pengadaan
barang dengan dana APBD. Sarana ini telah dianggap cukup untuk melaksanakan
kegiatan surveilans. Program yang digunakan untuk mengolah data adalah program
aplikasi komputer Microsoft Excel.
Selain
itu, terdapat satu jaringan internet yang masih belum dimanfaatkan untuk
kegiatan surveilans diare. Alat komunikasi yang digunakan berupa telepon
puskesmas dan handphone petugas. Daftar nama dan nomor telepon petugas
surveilans Dinas Kesehatan Kota Surabaya ada dan lengkap. Format contact person
(CP) kota terdiri dari:
- Alamat dinas kesehatan
- Nomor telepon kantor
- Nama, NIP, dan nomor telepon dari
Kepala Seksi P2 dan Pengendalian Wabah,
- Nama, NIP, dan nomor telepon dari
petugas surveilans,
Alat
transportasi juga tersedia yaitu berupa mobil Puskesmas Keliling, yang juga
digunakan untuk seluruh program kegiatan puskesmas yang membutuhkan.
a. Metode (Method)
Metode
yang digunakan pada program diare di Puskesmas Tambakrejo berdasarkan buku
pedoman Standar Pelayanan Kesehatan Bidang Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan pada Kejadian Bencana dan Pengungsian dari Depkes RI
tahun 2001 serta buku Pedoman Penyusunan Rencana Kontijensi (Contingency Plan) Sektor Kesehatan dari
Depkes RI tahun 2001 yang diperbanyak oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
tahun 2003.
Metode
yang digunakan dalam surveilans diare Puskesmas Tambakrejo belum berdasarkan
buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare yang dikeluarkan oleh Depkes RI Ditjen
PP & PL 2009. Hal tersebut dikarenakan adanya keterbatasan dana di
Puskesmas Tambakrejo untuk pelaksanaan surveilans. Kondisi ini sangat
disayangkan karena jika program pengendalian diare dijalankan sesuai dengan apa
yang dilaksanakan oleh Depkes, harapannya dapat menghasilkan informasi yang
efektif dan efisien untuk tindakan penanggulangan.
b. Data (Data)
Data program diare dikumpulkan berdasarkan sistem pencatatan dan pelaporan rutin di puskesmas. Sayangnya, variabel data masih mengutamakan variabel kasus dan belum mempertimbangkan variabel faktor risiko dan determinan dari pemberantasan diare, seperti variabel kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat. Data-data yang dikumpulkan hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sebagai bahan laporan.
3.2.2 Proses
1. Pengumpulan Data
Proses
pengumpulan data untuk surveilans diare di Surabaya, dimana kita ambil contoh
dari surveilans diare yang diawali pada salah satu puskesmas di Surabaya yaitu
Puskesmas Tambakrejo tentunya menggunakan data pasif yaitu data yang didapat
dari kunjungan penderita di puskesmas yang dilaporkan secara rutin. Pengumpulan
tersebut nantinya akan dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan
menurut jurnal analisis sistem surveilans di salah satu puskesmas di Surabaya
yaitu Puskesmas Tambakrejo menyatakan bahwa pengumpulan dilakukan melalui
petugas diare, SP2TP (Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas),
petugas STP (Surveilans Terpadu Penyakit) dan petugas P2KPusk (Pelaporan dan
Penilaian Kinerja Puskesmas). Karena diare termasuk penyakit yang dapat
menimbulkan wabah maka perlu dibuat laporan mingguan (W2). Namun, juga
diperlukan laporan bulanan (LB3) tentunya dengan data yang lebih lengkap. Maka
dari itu, pelaporan data lengkap atau jenis data dengan variabel menyeluruh
yang dibutuhkan untuk kebutuhan pelaporan, langsung direkap di buku register
diare puskesmas dan Pustu menjadi satu. Sehingga untuk mengisi laporan bulanan
nantinya, tidak perlu lagi melihat buku register pengobatan di Poliklinik umum
dan MTBS, tetapi cukup dengan buku register diare.
2. Kompilasi
Data
Berdasarkan
informasi dan laporan di Puskesmas Tambakrejo Surabaya menyatakan bahwa setelah
melakukan pengumpulan data, dilanjutkan dengan pengelompokan data secara
manual. Pengelompokan dalam hal ini terbagi menurut tujuan dari sistem
surveilans itu sendiri dan karakteristik (ciri khusus) dari masalah kesehatan
yang diamati. Tentunya dengan variabel jumlah kasus diare menurut umur,
pemakaian oralit dan zink, derajat dehidrasi. Kompilasi data tersebut nantinya
dikelompokan juga sesuai dengan waktu jenis pelaporan baik mingguan, bulanan
maupun tahunan.
Kompilasi
data di puskesmas sendiri memang terkadang banyak sekali permasalahan
ketidaklengkapan dalam segala macam kategori baik umur, waktu(per bulan
terutama perihal tahunan), cakupan pelayanan yang diberikan (oralit, zink).
Jadi, memang sudah seharusnya pengkategorian atau kompilasi data bisa dilakukan
dengan baik dan lengkap di puskesmas sebelum diolah atau laporan tersebut
diberikan ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
3. Analisis dan Interpretasi Data
Kemudian
setelah melakukan kompilasi data diatas secara manual, dilakukan analisis oleh
petugas IT puskesmas melalui komputer. Interpretasi data hasil analisis
dilakukan dengan cara melihat kecenderungan atau trend penemuan kasus diare
berdasarkan waktu (jumlah kasus tiap bulan) dan tempat (jumlah kasus menurut
Kelurahan), cakupan pelayanan (oralit,zink) dengan lebih signifikan sehingga
menghasilkan sebuah grafik dari tiap puskesmas dengan pengkategorian lengkap
dan mudah dibaca, kemudian dianalisis dan menjadi sebuah informasi dari setiap
puskesmas. Analisis dapat dilakukan dengan cara menganalisis hanya satu
variabel saja (univariat) atau menghubungkan dua variabel (bivariat). Analisis
dan interpretasi sebaiknya tidak dilakukan sendiri oleh seorang petugas
surveilans, tetapi secara tim.
1. Pelaporan
Dalam
hal pelaporan rutin surveilans diare di tingkat puskesmas, laporan sudah harus
ditutup pada tanggal 25. Laporan yang sudah dibuat oleh semua petugas,
dikumpulkan ke petugas sistem informasi puskesmas, kemudian petugas tersebut
yang akan mengumpulkan ke Dinkes Kota Surabaya. Laporan mingguan dikirim setiap
minggu, sedangkan laporan bulanan dikirim maksimal tanggal 10 bulan berikutnya.
Khusus laporan P2KPusk dikumpulkan setiap tiga bulan. Kemudian, petugas/pengelola
di Dinas Kesehatan Surabaya membuat rekapitulasi dari masing-masing Puskesmas
dan secara rutin (bulanan) dikirim ke tingkat Provinsi dengan menggunakan
formulir rekapitulasi Diare. Dari tingkat Provinsi direkap berdasarkan
kabupaten/kota secara rutin (bulanan) dan dikirim ke Pusat (Subdit Diare,
Kecacingan & ISPL) dengan menggunakan formulir rekapitulasi Diare. Dan
berikut sistematika dari surveilans diare di Puskesmas Tambak Rejo hingga ke
Provinsi.
3.2.3 Output
1. Informasi
Informasi
yang dihasilkan oleh surveilans diare di Puskesmas Tambakrejo masih sangat
terbatas yaitu distribusi kasus diare menurut kelurahan dan trend kasus diare
tiap bulan. Dari data yang dimiliki oleh Puskesmas Tambakrejo, masih banyak
informasi yang dapat dihasilkan, tetapi data tersebut belum diolah dan
dianalisis sehingga informasi yang dihasilkan sangat terbatas.
Informasi
yang dapat dihasilkan dari data puskesmas Tambakrejo menurut buku pengendalian
diare (Depkes RI, 2009), tetapi belum diolah adalah angka penemuan penderita (Case Detection Rate/CDR), cakupan
pelayanan penderita, kualitas pelayanan (angka penggunaan oralit, angka
penggunaan RL, angka penggunaan antibiotik), proporsi cakupan pelayanan oleh
puskesmas dan kader, proporsi penderita diare balita, proporsi penderita diare
menurut derajat dehidrasi, dan rata-rata penggunaan oralit.
2. Indikator
Kinerja
Indikator
kinerja surveilans diare yang dihasilkan oleh P2KPusk Puskesmas Tambakrejo
adalah cakupan kasus diare yang ditangani 100%, cakupan kepatuhan provider
dalam penanganan diare 100%, cakupan kelengkapan sarana penanganan diare 100%,
kelengkapan laporan diare 100%, dan ketepatan laporan diare 100%.
Indikator
kinerja surveilans diare yang belum dihasilkan oleh Puskesmas Tambakrejo
menurut buku pengendalian diare (Depkes RI, 2009) adalah cakupan pelayanan
penderita dan kualitas pelayanan penderita (angka penggunaan oralit, angka
penggunaan infus/RL, angka penggunaan Zinck).
3. Diseminasi
Informasi
Diseminasi
informasi disampaikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Surabaya dalam
bentuk laporan ke Bidang Pengendalian Penyakit dan pertemuan lintas sektor
tingkat Kecamatan Simokerto, terdiri dari pihak kantor Kecamatan dan Kelurahan,
Dinas Pasar, Dinas Pendidikan, bidan wilayah dan Pustu yang dilakukan bersama
dengan program lain di puskesmas sebanyak tiga kali setahun.
Informasi
epidemiologi yang dihasilkan dari hasil analisis dan interpretasi dapat
dimanfaatkan baik oleh institusi yang melaksanakan surveilans maupun instansi
lain di masyarakat (Hidajah dan Hargono, 2008). Diseminasi informasi dapat
disampaikan kepada:
1. Pengelola program penanggulangan
untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan.
2. Pemberi (sumber) data. Ini disebut
umpan balik. Bentuk umpan balik dapat melalui bulletin, newsletter, kunjungan atau surat untuk corrective action.
3. Atasan. Informasi ini disebut
laporan dan dapat dimanfaatkan untuk perencanaan, melakukan tindakan dan
evaluasi program penanggulangan
4. Lintas program. Informasi ini dapat
dimanfaatkan oleh program lain agar dalam melakukan perencanaan, tindakan dan
evaluasi program yang dilakukan selalu memperhatikan dan mengacu hasil
surveilans.
5.
Lintas sektor. Informasi kepada lintas sektor terkait dengan
upaya peningkatan kesehatan masyarakat akan meningkatkan wawasan sektor lain,
sehingga diharapkan adanya dukungan politis dan dana dari institusi terkait.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit
Menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui berbagai media, salah
satu penyakit menular adalah diare. Diare adalah berak-berak lembek sampai cair
(mencret), bahkan dapat berupa cair saja, yang lebih sering dari biasanya (3
kali atau lebih dalam sehari). Faktor penyebab diare diantaranya yaitu faktor
usia anak, faktor ibu, faktor lingkungan, dan faktor sosial ekonomi seperti
Pendidikan, pekerjaan, dan perilaku. Untuk mencegah terjadinya diare, kita bisa
melakukan cuci tangan dengan benar, mengkonsumsi air bersih, pengolahan sampah
dengan baik , dan membuang MCK pada tempatnya.
Di
kota Surabaya, kejadian diare selalu melebihi 60.000 kasus. Target nasional
cakupan pelayanan penderita diare balita yang datang ke sarana kesehatan adalah
20% dan cakupan pelayanan penderita diare semua umur yang datang ke sarana
kesehatan adalah 10% dari perkiraan kasus, dan kota Surabaya dari tahun ke
tahun sudah jauh melebihi target tersebut.
Sumber
daya manusia yang melakukan sistem surveilans diare di Kota Surabaya yakni satu
orang petugas surveilans diare di puskesmas, namun petugas tersebut belum
pernah mengikuti pelatihan khusus tentang surveilans diare dan MTBS (Manajemen
Terpadu Balita Sakit). Sumber dana surveilans diare berasal dari APBD dan APBN.
Bahan atau dokumen yang digunakan dalam surveilans diare terdiri dari beberapa
dokumen pelaporan, namun dokumen pelaporan tersebut masih belum lengkap. Sarana
yang digunakan dalam kegiatan surveilans diare yaitu Alat transportasi juga
tersedia yaitu berupa mobil Puskesmas Keliling dan satu set komputer dari dana
APBD. Buku pedoman surveilans pada puskesmas Tambakrejo yakni Standar Pelayanan
Kesehatan Bidang Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan pada
Kejadian Bencana dan Pengungsian dari Depkes RI tahun 2001 serta buku Pedoman
Penyusunan Rencana Kontijensi (Contingency
Plan) Sektor Kesehatan dari Depkes RI tahun 2001, namun metode yang
digunakan belum berdasarkan buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare yang
dikeluarkan oleh Depkes RI Ditjen PP & PL 2009. Data program diare
dikumpulkan berdasarkan sistem pencatatan dan pelaporan rutin di puskesmas,
namun masih mengutamakan variable kasus dan belum mempertimbangkan variabel
yang lain.
Dalam
proses pengumpulan data, Puskesmas Tambakrejo menggunakan data pasif yaitu data
yang didapat dari kunjungan penderita di puskesmas yang dilaporkan secara
rutin. Setelah melakukan pengumpulan data, dilanjutkan dengan pengelompokan
data secara manual. Kemudian dilakukan analisis oleh petugas IT puskesmas
melalui komputer. Laporan yang sudah dibuat oleh semua petugas, dikumpulkan ke
petugas sistem informasi puskesmas, kemudian petugas tersebut yang akan
mengumpulkan ke Dinkes Kota Surabaya. Informasi yang dihasilkan oleh surveilans
diare di Puskesmas Tambakrejo masih sangat terbatas yaitu distribusi kasus diare
menurut kelurahan dan trend kasus diare tiap bulan. Indikator kinerja
surveilans diare yang dihasilkan P2KPusk Puskesmas Tambakrejo ditetapkan 100%,
namun ada beberapa indikator kinerja yang belum dihasilkan oleh Puskesmas
Tambakrejo menurut buku pengendalian diare. Diseminasi informasi disampaikan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Surabaya dalam bentuk laporan ke Bidang
Pengendalian Penyakit dan pertemuan lintas sektor tingkat Kecamatan Simokerto,
terdiri dari pihak kantor Kecamatan dan Kelurahan, Dinas Pasar, Dinas
Pendidikan, bidan wilayah dan Pustu yang dilakukan bersama dengan program lain
di puskesmas sebanyak tiga kali setahun.
1.2
Saran
Rekomendasi
Untuk Memperbaiki Masalah Sistem Surveilans Diare di Surabaya:
1. Sumber daya manusia dalam proses
input sistem surveilans dan diberikan pelatihan khusus tentang surveilans diare
dan MTBS guna sistem surveilans di Kota Surabaya dapat tercapai hasil yang
lebih baik dan maksimal.
2. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam
pelaksanaan program diare bukan hanya tanggung jawab petugas diare, tetapi
tenaga kesehatan lain juga ikut terlibat. Petugas diare tidak akan mampu
mengatasi permasalahan diare tanpa adanya kerjasama/koordinasi dengan tenaga
kesehatan lainnya.
3. Petugas diare sebaiknya melakukan
penyuluhan dan membuat laporan rutin diare.
4. Penambahan dana untuk kebutuhan
surveilans dilaksanakan agar pelaksanaan surveilans dapat menggunakan metode
berdasarkan buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare yang dikeluarkan oleh
Depkes RI Ditjen PP & PL 2009, karena jika program pengendalian diare dijalankan
sesuai dengan apa yang dilaksanakan oleh Depkes, harapannya dapat menghasilkan
informasi yang efektif dan efisien untuk tindakan penanggulangan.
5. Pengumpulan data sebaiknya
mempertimbangkan variabel faktor risiko dan determinan dari pemberantasan diare,
bukan hanya mengutamakan variable kasus karena hanya semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan sebagai bahan laporan.
DAFTAR
PUSTAKA
Rohman, H. F., Widyo, S., Heris
Siswanto, & Bintoro. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Diare di Desa Solor Kecamatan Cermee Bondowoso. NurseLine Journal Vol. 1 No.
1, 2540-7937.
German, R.
(2001). Recommendations and Reports, Update Guidelines for Evaluating Public
Health Surveillance System.
Irwan.
(2017). Epidemiologi Penyakit Menular. Bantul: CV. Absolute Media.
Mafazah, L.
(2013). Ketersediaan sarana sanitasi dasar, personal hygiene ibu dan kejadian
diare. KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(2), 167-173.
Mars
Wijayanti, S. P., Octaviana, D., & Anandari, D. (2018). Aplikasi Teknologi
Sistem Informasi Geografis untuk Meningkatkan Sistem Surveilans Penyakit
Menular di Kabupaten Banyumas. ABDIMAS Vol. 22 No. 2, 221-226.
Noor, N. N.
(2008). Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Pemerintah
Indonesia. (2003). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1479
Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Pemerintah
Indonesia. (2014 ). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.14
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Rasmaniar,
& dkk. (2020). Surveilans Kesehatan Masyarakat. Medan: Yayasan Kita
Menulis.
Rukmini,
& Syahrul, F. (2011). Analisis Sistem Surveilans Diare Puskesmas Tambakrejo
Kota Surabaya. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 14 No. 2,
136–145.
Komentar
Posting Komentar