MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT SURVEILANS GIZI "PEMANTAUAN STATUS GIZI BALITA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2017"

 

MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT

SURVEILANS GIZI

PEMANTAUAN STATUS GIZI BALITA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2017

Gambar dari : http://fikes.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2021/03/gambar-surveilans.jpg

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI  2

BAB I  1

PENDAHULUAN   1

1.1  Latar Belakang  1

1.2  Rumusan Masalah  2

1.4  Manfaat Penelitian  3

1.5 Metode Penelitian  3

BAB II  4

LANDASAN TEORI  4

2.1  Faktor Penyebab Masalah Gizi 4

2.2  Indikator Masalah Gizi dan Program Gizi 6

2.2.1 Indikator masalah gizi 6

2.2.2 Indikator program gizi 8

2.3  Demografi Provinsi Jawa Timur tahun 2017  11

2.3.1 Kondisi Geografis dan Administrasi 11

2.3.2 Kependudukan  12

2.4  Masalah Gizi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2017  14

BAB III  17

HASIL DAN PEMBAHASAN   17

3.1 Tahap Pengumpulan Data

3.2 Tahap Penyajian Data  17

3.2.1 Gambaran Umum Status Gizi Balita dan Cakupan Program Gizi di Jawa Timur 17

3.2.2 Cakupan Kegiatan Inisiasi Menyusui Dini Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur 24

3.2.3 Cakupan Kegiatan ASI Eksklusif Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur 25

3.2.4 Cakupan Pemberian Vitamin A Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur 25

3.2.5 Cakupan Pemberian Makanan Tambahan untuk Balita Kurus Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur 26

3.2.6 Cakupan Pemberian Tablet Tambah Darah untuk Ibu Hamil Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur 26

3.3 Tahap Analisis Data  27

3.3.1 Perbandingan Cakupan Program Gizi Jawa Timur dengan Target Nasional 27

3.3.2  Perbandingan Cakupan Program Gizi Antar Kabupaten/Kota di Jawa Timur 28

3.3.3  Hubungan Antara Kinerja Program Gizi dengan Permasalahan Gizi 30

3.5  Rekomendasi 32

3.6  Peran Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam Surveilans  34

BAB IV   36

PENUTUP  36

4.1 Kesimpulan  36

4.2 Saran  37

DAFTAR PUSTAKA   38

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh (Almatsier, 2010). Cara menentukan status gizi seseorang atau kelompok yaitu dengan melakukan penilaian status gizi baik secara langsung yaitu dengan antropometri, klinis, biokimia dan biofisik dan yang tidak langsung yaitu dengan survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2012). Status gizi balita merupakan salah satu indikator kesehatan dalam pencapaian keberhasilan pencapaian MDGs nomor 4 terkait mengurangi angka kematian anak. Lembar Fakta 2013 terkait pengurangan angka kematian anak menyebutkan bahwa pneumonia, komplikasi kelahiran prematur, diare, komplikasi terkait intrapartum dan malaria merupakan pembunuh pertama. Sementara kekurangan gizi memberikan kontribusi sampai 45 persen dari seluruh kematian balita (United Nations, 2013). Menurut hasil Riskesdas 2018, sebesar 30.8% balita Indonesia termasuk kategori pendek dan sangat pendek, dengan persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Prevalensi balita pendek dan sangat pendek di Yogyakarta sebanyak 13.86%. Kulon Progo merupakan kabupaten dengan prevalensi stunting terbanyak kedua setelah kabupaten Sleman, yaitu sebanyak 16.38%.

Menurut World Health Organization (2000), prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Karenanya persentase balita pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%)(UNSD, 2014). Global Nutrition Report tahun 2014. menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita.

Pos pelayanan terpadu (posyandu) merupakan forum komunikasi alih teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini (Effendi,1998). Posyandu saat ini tetap merupakan sarana penting di lingkungan masyarakat untuk mencapai keluarga sadar gizi. Posyandu adalah salah satu kegiatan UPGK (Upaya Perbaikan Gizi dan keluarga). Juga salah satu program desa yang paling melibatkan banyak kader. Pelaksanaan posyandu dilakukan oleh kader posyandu. Kader posyandu sebagai mitra dalam mewujudkan program-program pemerintah berasal dan dipilih masyarakat (Mantra, 1997). Pemantauan panjang/tinggi badan balita oleh kader posyandu sudah selayaknya juga dilakukan secara rutin seperti halnya pengukuran berat badan, sehingga kejadian stunting ataupun terjadinya penyakit tertentu dapat diketahui secara dini dapat diberikan saran dan tindak lanjut. Kegiatan antropometri pada balita sangat memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang khusus. Keterampilan dan pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar/pelatihan. Selama ini pengukuran tinggi/ panjang badan belum dilakukan secara rutin di Posyandu/ Puskesmas, sedangkan variabel tinggi termasuk menentukan betapa pentingnya penilaian terhadap balita pendek dan terjadinya kejadian penyakit tertentu. Pertimbangan petugas belum mampu melakukan pengukuran tinggi/Panjang tampaknya tidak dapat dijadikan alasan. Sebab kesalahan dalam pengukuran dan perencanaan pengukuran pertumbuhan balita adalah umum (WHO, 2008).

     Makalah kelompok kami membahas tentang Pemantauan Status Gizi Balita Provinsi Jawa Timur Tahun 2017, hasil perkembangan surveilans gizi balita di lingkup kerja Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 yang berdasarkan beberapa indikator program gizi, serta sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Surveilans Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

1.2  Rumusan Masalah

1.     Bagaimana bentuk tahap pengumpulan data Hasil Pemantauan Status Gizi?

2.     Bagaimana model penyajian dan pengolahan data Hasil Pemantauan Status Gizi untuk Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017?

3.     Apa saja hasil analisis data yang dapat dihasilkan?

4.     Bagaimana bentuk tahap diseminasi yang dilakukan?

5.     Bagaimana bentuk rekomendasi yang dapat diberikan untuk mengatasi kesenjangan cakupan program gizi tersebut?

6.     Bagaimana peranan tenaga Kesehatan Masyarakat dalam penanganan pemantauan status gizi balita di Jawa Timur ?

 

1.3  Tujuan Makalah

  1. Untuk menjelaskan bentuk pengumpulan data Hasil Pemantauan Status Gizi
  2. Untuk menyajikan model penyajian dan pengolahan data Hasil Pemantauan Status Gizi untuk Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017
  3. Untuk menjelaskan hasil analisis data yang dapat dihasilkan
  4. Untuk menjelaskan bentuk tahap diseminasi yang dilakukan
  5. Untuk memberikan bentuk rekomendasi yang dapat diberikan untuk mengatasi kesenjangan cakupan program gizi tersebut
  6. Untuk menjelaskan mengenai fungsi peranan tenaga ahli kesehatan masyarakat dalam fokus penanganan permasalahan gizi di Jawa Timur

1.4  Manfaat Penelitian

1.     Menambah wawasan dan pengetahuan tentang permasalahan gizi di Jawa Timur berdasarkan akurasi data yang kami sampaikan

2.     Untuk mengetahui secara presisi penyebab utama dari permasalahan gizi tersebut

3.     Diketahuinya terobosan program yang akan berimplementasi pada kebijakan yang mengacu pada penanganan masalah gizi di Jawa Timur

4.     Menambah pengetahuan seputar peranan dan fungsi secara langsung tenaga ahli kesehatan masyarakat dalam fokus permasalahan gizi di Jawa Timur.

1.5 Metode Penelitian

Pada makalah yang membahas pemantauan status gizi balita di Provinsi Jawa Timur Tahun 2017 ini kami menggunakan data sekunder dari Hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2017 dan 2016 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta Studi literatur dari berbagai sumber lain telah kami cantumkan pada bagian daftar pustaka.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1  Faktor Penyebab Masalah Gizi


Penyebab masalah gizi balita yang terjadi disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung meliputi pola asupan pangan yang tidak seimbang dan adanya infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung meliputi persedian pangan, pola asuh, sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan.

  1. Faktor Langsung

a.      Pola asupan pangan

Seiring dengan pertumbuhan balita dan umur balita, maka kebutuhan konsumsi dari balita pun juga bertambah. Konsumsi ini dipengaruhi oleh jenis pangan, cara pengolahan, distribusi dan kebiasaan pangan dari keluarga. Asupan energi dan protein sangatlah penting dalam pertumbuhan dan metabolisme terutama pada saat 1000 HPK. Apabila balita kekurangan asupan sumber energi utama seperti karbohidrat dan lemak, maka tubuh akan menggunakan protein sebagai sumber energinya. Hal ini sangat berbahaya, karena protein berfungsi untuk zat pembangun, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan. Jika dibiarkan dalam jangka waktu lama akan berpotensi terjadi stunting.

b.     Penyakit Infeksi

Selain pola makan dari seorang balita, penyebab langsung masalah gizi pada balita adalah adanya penyakit infeksi. Terdapat interaksi antara pola makan balita dengan penyakit infeksi. Apabila balita tidak mendapat asupan yang baik, balita akan mengalami penurunan berat badan, pertumbuhan lambat, dan memiliki daya tahan tubuh yang kurang baik, sehingga resiko untuk terserang penyakit infeksi akan meningkat. Jika dibiarkan terus menerus penyakit infeksi akan semakin parah dan dapat menyebab malabsorpsi serta nafsu makan makan terus menurun.

  1. Faktor Tidak Langsung

a.      Aksesibilitas/persediaan pangan

Persediaan/ketahanan pangan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dari orang tua balita. Banyaknya anggota keluarga serta jarak paritas juga dapat mempengaruhi ketahan pangan. Semakin banyak anggota keluarga harus dibarengi oleh kondisi ekonomi yang baik. Apabila kondisi ekonomi tidak sesuai akan beresiko pada kurangnya asupan pangan untuk keluarga termasuk balita. Jarak kehamilan yang terlalu padat dapat mempengaruhi pemberian ASI oleh ibu kepada anak. Yang mana pemberian ASI eksklusif ini sangat penting untuk menurunkan resiko penyakit infeksi dan kekurangan gizi.

b.     Pola asuh

Pola asuh balita sangat penting karena dapat mempengaruhi tumbuh kembang dari balita. Pola asuh ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan pendidikan orang tua terutama ibu balita mengenai gizi balita.  Semakin tinggi pengetahuan seorang ibu tentang gizi balita, maka semakin kecil resiko balita mengalami masalah gizi.

c.      Sanitasi Lingkungan

Ketersediaan air bersih sangatlah penting. Sanitasi yang bersih, cukup dan memadai dapat menurunkan resiko untuk terjangkit penyakit infeksi.

d.     Pelayanan Kesehatan

Ketersediaan pelayanan kesehatan dasar yang memadai sangatlah penting.  Kesulitan akses pelayanan kesehatan baik karena jarak antara rumah dengan pelayanan kesehatan yang jauh maupun karena ketidakmampuan membayar layanan dapat berdampak pada status gizi balita.

Dari 2 faktor di atas didapat bahwa faktor mendasar dari masalah gizi ini bukan hanya mencakup aspek kesehatan, melainkan kondisi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kependudukan, dan politik. Oleh karena itu, penangannya tidak cukup diarahkan kepada gangguan gizi dan kesehatan saja. (Handayani, 2017)

2.2  Indikator Masalah Gizi dan Program Gizi

2.2.1 Indikator masalah gizi

Indikator masalah gizi adalah indikator yang digunakan untuk menilai seberapa besar masalah gizi yang terjadi di masyarakat dalam suatu wilayah tertentu. Indikator masalah gizi terdiri atas:

  1. Persentase Balita Berat Badan Kurang (Underweight)

Berat Badan Kurang (Underweight) merupakan masalah gizi yang bersifat umum dapat disebabkan karena masalah gizi kronis maupun akut. Underweight adalah kegagalan bayi untuk mencapai berat badan ideal, yang kemudian juga bisa mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan, sesuai usianya, dalam jangka waktu tertentu. Gangguan ini bisa disebabkan karena balita kekurangan energi dan zat-zat gizi yang dibutuhkan sesuai usianya.

Berat badan kurang adalah kategori status gizi berdasarkan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) dengan Z-score kurang dari -2 SD. Sedangkan persentase balita Berat Badan Kurang adalah jumlah balita dengan kategori status gizi Berat Badan Kurang terhadap jumlah seluruh balita yang ditimbang dikali 100%. Berat badan kurang dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensi dibawah 10%, dengan rumus untuk menghitung persentase balita underweight yaitu jumlah balita underweight / jumlah balita ditimbang kemudian dikali 100%.

Frekuensi pelaporan untuk balita dengan underweight dilakukan setiap tahun di fasilitas kesehatan setempat. Penimbangan berat badan balita dilakukan pada seluruh sasaran balita di wilayah kerja puskesmas baik di posyandu maupun di fasilitas pendidikan anak usia dini. Kemudian laporan hasil penimbangan dicatat dan dientry oleh puskesmas untuk selanjutnya ditentukan kategori status gizi dan persentase jumlah balita underweight.

  1. Persentase Balita Pendek (Stunting)

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Balita Pendek merupakan masalah gizi yang bersifat kronis yang disebabkan oleh banyak faktor baik dari masalah kesehatan maupun di luar kesehatan dan berlangsung lama. Kondisi ini dapat berdampak pada gangguan kognitif dan risiko menderita penyakit degeneratif pada usia dewasa. Definisi pendek disini adalah kategori status gizi berdasarkan indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dengan z-score kurang dari -2 SD.

Prevalensi balita pendek dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensinya ada dibawah 20%. Persentase balita pendek adalah jumlah balita dengan kategori status gizi pendek terhadap jumlah seluruh balita diukur dikali 100%. Kemudian untuk frekuensi pelaporan dilakukan setiap tahun di fasilitas kesehatan setempat. Pengukuran dilakukan pada seluruh sasaran balita di wilayah kerja puskesmas baik di Posyandu maupun di PAUD daerah setempat. Laporan hasil pengukuran dicatat dan di entry oleh puskesmas untuk selanjutnya ditentukan kategori status gizi dan  persentase jumlah balita pendek dalam suatu wilayah.

  1. Persentase Balita Gizi Kurang (Wasting)

Gizi kurang merupakan masalah gizi yang bersifat akut terutama disebabkan oleh asupan yang kurang atau penyakit infeksi. Gizi kurang berdampak pada gangguan pertumbuhan pada anak sehingga anak yang mengalami kondisi ini umumnya memiliki proporsi tubuh yang kurang ideal. Pasalnya, kondisi ini membuat berat badan tidak sepadan (kurus) dengan tinggi badan untuk anak di usia tertentu. Gizi kurang adalah kategori status gizi berdasarkan indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) dengan z-score kurang dari -2 SD

Prevalensi gizi kurang pada anak dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensi dibawah 5%. Persentase balita gizi kurang adalah jumlah balita dengan kategori status gizi kurang terhadap jumlah seluruh balita diukur dikali 100%. Frekuensi pelaporan dilakukan setiap tahun dengan melakukan penimbangan dan pengukuran pada seluruh sasaran balita di wilayah kerja Puskesmas baik di Posyandu maupun di fasilitas pendidikan anak usia dini. Kemudian laporan hasil penimbangan dan pengukuran dicatat dan di entry oleh Puskesmas untuk selanjutnya ditentukan kategori status gizinya dan persentase jumlah balita gizi kurang dalam suatu wilayah.

 

2.2.2 Indikator program gizi

Indikator kinerja gizi adalah indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja program gizi, yang meliputi:

  1. Cakupan bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif mengamanatkan bahwa setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya selama enam bulan pertama agar mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal, selanjutnya, mereka harus memberi makanan pendamping yang bergizi dan terus menyusui hingga bayi berusia dua tahun atau lebih. Definisi dari bayi usia 6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif  adalah seluruh bayi yang telah mencapai umur 5 bulan 29 hari diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain kecuali obat, vitamin dan mineral sejak lahir.

Frekuensi pelaporan data dilakukan setiap bulan dengan angka cakupan tahunan diperoleh melalui penjumlahan bulan Januari sampai Desember (kumulatif). Berikut adalah beberapa mekanisme pelaporan data:

a.      Mencatat hasil recall ASI Eksklusif ke dalam KMS setiap bulan.

b.     Mencatat KMS masing-masing balita ke dalam register posyandu.

c.      Merekap jumlah bayi yang mencapai usia 6 bulan 0 hari atau lebih dengan kategori pemberian ASI (ASI Eksklusif/Tidak ASI Eksklusif).

d.     Menghitung persentase bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif. Dengan ketentuan persentase bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif adalah jumlah bayi mencapai usia 5 bulan 29 hari mendapat ASI Eksklusif 6 bulan terhadap jumlah seluruh bayi mencapai usia 5 bulan 29 hari dikali 100%. Kinerja akan dinilai baik apabila persentase bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif sesuai dengan target yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.

  1. Cakupan bayi baru lahir yang mendapat IMD

Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses menyusu dimulai segera setelah bayi lahir. IMD dilakukan dengan cara kontak kulit ke kulit antara bayi dengan ibunya segera setelah lahir dan berlangsung minimal 1 (satu) jam dengan tujuan untuk melindungi bayi yang baru lahir dari tertular infeksi dan mengurangi angka kematian bayi baru lahir. Indikator IMD merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan keberhasilan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil. Kinerja suatu pelayanan kesehatan dalam suatu daerah dinilai baik apabila persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD sesuai dengan target yang sudah ditentukan sebelumnya. Cara menghitung persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD adalah jumlah bayi baru lahir hidup yang mendapat IMD terhadap jumlah bayi baru lahir hidup dikali 100%.

Data yang diambil dapat bersumber dari buku KIA, kohort bayi, laporan IMD RS, Puskesmas rawat inap atau bidan praktik mandiri. Pelaporan data bayi yang mendapat IMD dilaporkan setiap bulan dengan mekanisme pelaporan seperti berikut:

a.      Mencatat seluruh bayi baru lahir dan menentukan kategori IMD atau tidak IMD ke dalam kohort bayi.

b.     Merekap jumlah bayi baru lahir dan kategori IMD.

c.      Menghitung persentase bayi baru lahir hidup melakukan IMD terhadap jumlah bayi baru lahir hidup yang ada.

  1. Cakupan ibu hamil yang mendapatkan TTD selama masa kehamilan

Salah satu intervensi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil adalah pemberian TTD selama masa kehamilan. Ibu hamil disarankan untuk mengonsumsi TTD sejak awal konsepsi sampai akhir trimester III. TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat. Dengan adanya indikator ini diharapkan pemerintah dapat melakukan evaluasi kinerja apakah TTD sudah diberikan kepada seluruh sasaran dengan melihat persentase pemberian TTD kepada ibu hamil. Persentase ibu hamil mendapat 90 TTD adalah jumlah ibu hamil yang selama kehamilan mendapat minimal 90 TTD terhadap jumlah sasaran ibu hamil dikali 100%.

Data yang sudah diperoleh kemudian akan dilaporkan setiap bulan, angka cakupan tahunan diperoleh melalui penjumlahan bulan Januari sampai Desember (kumulatif) dengan mekanisme seperti berikut:

a.      Mencatat jumlah TTD yang diberikan kepada ibu setiap kali melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan ke dalam kohort.

b.     Merekap jumlah ibu hamil dengan usia kehamilan akhir trimester III.

c.      Merekap jumlah ibu hamil dengan usia kehamilan akhir trimester III yang sudah mendapatkan TTD minimal 90 tablet.

d.     Menghitung persentase ibu hamil yang mendapat TTD minimal 90 tablet.

  1. Cakupan balita kurus yang mendapat PMT

Balita kurus adalah anak usia 6 bulan 0 hari sampai dengan 59 bulan 29 hari dengan status gizi kurus (BB/PB atau BB/TB -3 SD sampai dengan kurang dari -2 SD). Berdasarkan data Survei Diet Total (SDT) tahun 2014 diketahui bahwa lebih dari separuh balita (55,7%) mempunyai asupan energi yang kurang dari Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) adalah kegiatan pemberian makanan kepada balita dalam bentuk kudapan yang aman dan bermutu serta kegiatan pendukung lainnya dengan memperhatikan aspek mutu dan keamanan pangan serta mengandung nilai gizi yang sesuai dengan kebutuhan balita. Dengan adanya pemberian makanan tambahan khususnya bagi kelompok rawan merupakan salah satu strategi suplementasi dalam mengatasi masalah gizi yang ada di Indonesia.

Persentase balita kurus mendapat makanan tambahan adalah jumlah balita kurus yang mendapat makanan tambahan terhadap jumlah balita kurus dikali 100%. Kinerja dianggap baik apabila persentase balita kurus yang mendapat PMT sesuai dengan target yang sudah ditentukan oleh pemerintah setempat. Pelaporan data dilakukan setiap bulan dengan mekanisme pelaporan seperti berikut:

a.      Melakukan pemantauan pertumbuhan dan mencatat hasil pengukuran ke dalam register.

b.     Menentukan kategori status gizi berdasarkan indeks BB/TB (Sangat Kurus/Kurus/Normal/Gemuk).

c.      Menghitung jumlah balita kurus.

d.     Merekap pemberian makanan tambahan pada balita kurus.

e.      Menghitung persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan.

  1. Cakupan balita yang mendapat kapsul vitamin A

Umumnya, asupan vitamin A yang didapat dari makanan sehari-hari masih kurang padahal vitamin A adalah zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Apabila tubuh kekurangan vitamin A (KVA) dalam waktu yang lama, maka dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang berdampak pada meningkatnya risiko kesakitan dan kematian. Vitamin A juga berperan penting kepada bayi dan anak balita karena dengan mempertahankan asupan vitamin A dalam bayi dan balita, maka dapat mengurangi masalah kesehatan masyarakat seperti cacingan dan campak. Oleh karena itu pemerintah melakukan upaya dalam mencegah KVA bagi bayi dan balita dengan pendistribusian kapsul vitamin A setiap 6 bulan sekali yaitu bulan Februari dan Agustus. Kapsul vitamin A adalah kapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi, yaitu 100.000 Satuan Internasional (SI) untuk bayi umur 6-11 bulan dan 200.000 SI untuk anak balita 12- 59 bulan.

Persentase balita mendapat kapsul vitamin A  adalah jumlah bayi 6-11 bulan ditambah jumlah balita 12-59 bulan yang mendapat 1 (satu) kapsul vitamin A pada periode 6 (enam) bulan terhadap jumlah seluruh balita 6-59 bulan dikali 100%. Kinerja dinilai baik apabila persentase balita 6-59 bulan yang mendapat vitamin A sesuai dengan target yang sudah ditentukan sebelumnya. Kemudian sumber data dalam pelaporan ini adalah laporan pemberian kapsul vitamin A untuk balita pada bulan Februari dan Agustus, serta laporan LB3 SP2TP. Sedangkan pelaporan data dilakukan setiap 6 bulan (bulan Februari dan Agustus). Data tahunan menggabungkan data cakupan bayi umur 6 – 11 bulan yang mendapat vitamin A di bulan Februari dan Agustus, sedangkan data cakupan balita umur 12 – 59 bulan yang mendapat vitamin A menggunakan data bulan Agustus. Berikut merupakan mekanisme pelaporan data:

a.      Mencatat balita yang mendapat Vitamin A.

b.     Merekap balita yang menerima Vitamin A berdasarkan kelompok umur.

c.      Menghitung persentase balita yang mendapat vitamin.

2.3  Demografi Provinsi Jawa Timur tahun 2017

2.3.1 Kondisi Geografis dan Administrasi

Provinsi Jawa Timur terletak di bagian timur Pulau Jawa yang memiliki luas wilayah daratan 47.959 km2 (sumber Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur).  Jawa Timur berada pada 111º0’ hingga 114º4’ Bujur Timur (BT) dan 7º12’ hingga 8º48’ Lintang Selatan (LS) dengan batas wilayah sebagai berikut :

       Sebelah Utara : Laut Jawa

       Sebelah Selatan : Samudera Hindia

       Sebelah Timur: Selat Bali

       Sebelah Barat : Provinsi Jawa Tengah

Provinsi Jawa Timur memiliki 229 pulau, yang terdiri dari 162 pulau bernama dan 67 pulau tidak bernama, dengan panjang pantai sekitar 2.833,85 km. Pulau Madura merupakan pulau terbesar yang saat ini sudah terhubung dengan wilayah daratan Jawa Timur melalui jembatan ‘Suramadu’. Di sebelah timur Pulau Madura terdapat gugusan pulau-pulau, yang paling timur adalah Kepulauan Kangean dan yang paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian selatan Provinsi Jawa Timur, terdapat 2 (dua) pulau kecil, yakni Nusa Barung dan Pulau Sempu. Sedangkan di bagian utara terdapat Pulau Bawean yang berada 150 km sebelah utara Pulau Jawa. Kabupaten Banyuwangi memiliki wilayah paling luas di antara kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Timur. Secara administratif, Provinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten, 9 kota, 664 kecamatan dan 8.501 desa/kelurahan.




2.3.2 Kependudukan

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur tahun 2017 sebesar 39.292.972 jiwa dengan rincian jumlah penduduk laki-laki 19.397.878 jiwa dan penduduk perempuan 19.895.094 jiwa. Daerah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Surabaya (2.874.699 jiwa), sedangkan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Mojokerto (127.279 jiwa). Kepadatan penduduk di kota relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten. Kota Surabaya memiliki kepadatan penduduk tertinggi dengan 8.808,10 km2 /jiwa yang artinya 1km2 dihuni oleh 8.809 jiwa.


Dari grafik piramida di atas, komposisi penduduk terbesar adalah kelompok umur 15-19 tahun dengan jumlah penduduk laki-laki 1.571.368 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 1.506.603 jiwa. Sedangkan komposisi penduduk paling sedikit adalah kelompok umur 70-64 tahun dengan jumlah penduduk laki-laki 381.349 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 474.537 jiwa. Indikator penting terkait distribusi penduduk menurut umur yang sering digunakan untuk mengetahui produktivitas penduduk yaitu Angka Beban Tanggungan atau Dependency Ratio. Angka Beban Tanggungan adalah angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya orang berumur tidak produktif (belum produktif/umur di bawah 15 tahun dan tidak produktif lagi/umur 65 tahun ke atas) dengan yang berumur produktif (umur 15–64 tahun). Angka ini dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi persentase dependency ratio menunjukkan semakin tinggi beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.

Angka Beban Tanggungan penduduk Provinsi Jawa Timur pada tahun 2016 sebesar 44. Hal ini berarti bahwa 100 penduduk Provinsi Jawa Timur yang produktif, di samping menanggung dirinya sendiri, juga menanggung 44 orang yang tidak produktif.

2.4  Masalah Gizi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2017

Kekurangan gizi pada anak balita merupakan suatu kondisi yang mencerminkan keadaan pertumbuhan anak balita, yang diukur berdasarkan berat badan anak dan tinggi badan anak yang dikaitkan dengan umur, seperti indeks BB/U (berat badan berdasarkan umur), TB/U (tinggi badan berdasarkan umur) dan BB/TB (berat badan berdasarkan tinggi badan). Berikut adalah data-data terkait gambaran umum mengenai masalah gizi Jawa Timur pada tahun 2017.

Stunting merupakan klasifikasi dari indikator status gizi TB/U (Tinggi Badan/Umur). Anak yang dikatakan stunting adalah ia yang memiliki tinggi badan tidak sesuai dengan umurnya, biasanya ia akan lebih pendek daripada anak seusianya. Stunting pada anak balita adalah suatu keadaan dimana anak balita mengalami pendek atau sangat pendek (pendek bila TB/U antara -3 SD sampai dengan -2 SD dan sangat pendek bila TB/U ≤ -3 SD).


Berdasarkan grafik diatas, prevalensi stunting di Provinsi Jawa Timur adalah 7.9% balita sangat pendek, 18.8% balita pendek, dan 73.2% balita normal. Persentase stunting (sangat pendek+pendek) pada kelompok balita di Provinsi Jawa Timur menunjukkan angka 26.7%. Angka ini tentu tidak bisa dikatakan rendah, walaupun prevalensinya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase stunting di Indonesia/nasional dengan angka 29,6%. Underweight merupakan klasifikasi dari status gizi BB/U (Berat Badan/Umur). BB/U menunjukkan pertumbuhan berat badan anak terhadap umurnya, apakah sesuai atau tidak. Jika berat badan anak di bawah rata-rata anak seusianya, maka dikatakan anak tersebut underweight. Underweight pada anak balita adalah suatu keadaan dimana anak balita mengalami gizi kurang atau gizi buruk (gizi kurang bila BB/U antara -3 SD sampai dengan -2 SD dan gizi buruk BB/U ≤ 3SD).


Berdasarkan grafik diatas, di Provinsi Jawa Timur terdapat 2,9% balita gizi buruk, 12,6% balita gizi kurang, 82,3% balita gizi baik, dan 2,2% balita gizi lebih. Persentase underweight (gizi buruk + gizi kurang) pada kelompok balita di Provinsi Jawa Timur adalah sebesar 15,5%. Angka ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase underweight pada kelompok balita di Indonesia/nasional, yaitu sebesar 17,8%, yang mana berarti Provinsi Jawa Timur masih berada pada persentase dibawah rata-rata.


Wasting merupakan salah satu klasifikasi dari indikator status gizi BB/TB (Berat Badan/Tinggi Badan). Anak yang dikatakan kurus adalah mereka yang memiliki berat badan rendah yang tidak sesuai terhadap tinggi badan yang dimilikinya. Wasting adalah suatu keadaan dimana anak balita mengalami kurus dan sangat kurus (kurus bila BB/TB antara -3 SD sampai dengan -2 SD dan sangat kurus bila BB/TB ≤ -3 SD).

Berdasarkan grafik wasting diatas, di Provinsi Jawa Timur terdapat 1.6% balita sangat kurus, 5.3% balita kurus, 88.1% balita normal, dan 5% balita gemuk. Persentase wasting (sangat kurus+kurus) pada kelompok balita di Provinsi Jawa Timur adalah 6.9%. Angka ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase angka wasting Indonesia/nasional di angka 9,5%.

Berdasarkan grafik stunting, underweight, dan wasting, Provinsi Jawa Timur memiliki persentase indikator status gizi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase indikator status gizi Indonesia/nasional. Namun, hal ini bukan berarti Provinsi Jawa Timur lepas tanggung jawab dalam penanganan stunting, underweight, dan wasting. Berdasarkan data dari Bappenas, Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang menjadi wilayah prioritas penanganan permasalahan stunting selama tahun 2018-2019.


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1  Tahap Pengumpulan Data

Data yang digunakan merupakan data sekunder dari Hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2017 sebagai data utama dan juga menggunakan data Pemantauan Status Gizi tahun 2016 sebagai bentuk perbandingan. Hasil Pemantauan Status Gizi dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Selain itu, digunakan juga beberapa data yang berkaitan dengan gizi pada beberapa laporan kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah pusat.

Teknik pengumpulan data PSG 2017 dan 2016 menggunakan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner, pengukuran antropometri, serta pemeriksaan garam.

 

3.2 Tahap Penyajian Data

3.2.1 Gambaran Umum Status Gizi Balita dan Cakupan Program Gizi di Jawa Timur

Laporan Hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan angka kejadian masalah kekurangan gizi pada balitaTimur serta cakupan program gizi yang berkaitan dengan masalah gizi tersebut. Tabel 3.1 menunjukkan rata-rata status gizi balita di seluruh kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur berada di tingkat akut-kronis, yang berarti masalah gizi balita di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 adalah masalah gizi yang bersifat akut dan kronis. Sifat indikator akut dan kronis tersebut merujuk pada rata-rata prevalensi balita pendek (stunting) Jawa Timur yang memiliki persentase 26,7% (di atas ≥ 20%) serta rata-rata prevalensi balita kurus (wasting) dengan persentase 6,9% (di atas ≥ 5%) (Modifikasi WHO (1997) dalam (PSG, 2017).

Ditinjau dari masing-masing kondisi status gizi, Jawa Timur memiliki rata-rata prevalensi balita umderweight (gizi buruk/gizi kurang) sebesar 15,5%, balita stunting (pendek dan sangat pendek) sebesar 26,7%, balita wasting (kurus dan sangat kurus) sebesar 6,9%, serta balita gemuk sebesar 5%. Seluruh prevalensi balita kurang gizi tersebut termasuk klasifikasi “kurang” menurut klasifikasi WHO tentang masalah kesehatan masyarakat untuk prevalensi kurang gizi (World Health Organization, 2000).

Sebanyak 18 kabupaten/kota di Jawa Timur memiliki angka prevalensi balita underweight di atas rata-rata prevalensi wilayah (15,5%). Sebanyak 5 kabupaten/kota memiliki angka prevalensi tertinggi di atas 20% (kategori “buruk” dalam klasifikasi WHO), diantaranya Kabupaten Bangkalan (27,9%), Kabupaten Pamekasan (24,2%), Kota Pasuruan (21,6%), Kabupaten Bondowoso (21,1%), serta Kota Probolinggo (20,4%). Untuk kategori balita stunting, sebanyak 15 wilayah memiliki prevalensi stunting di atas rata-rata Jawa Timur (26,7%). Kabupaten Bangkalan (43%) dan Kabupaten Pamekasan (42,5%) adalah dua wilayah dengan angka prevalensi tertinggi di atas 40% dan termasuk wilayah “sangat buruk” dalam klasifikasi WHO untuk masalah stunting. Untuk kategori balita wasting, sebanyak 19 kabupaten/kota memiliki prevalensi di atas rata-rata prevalensi Jawa Timur (6,9%). Kabupaten Bangkalan memiliki angka tertinggi untuk prevalensi wasting¸ yaitu sebanyak 12%. Selain Bangkalan, Kota Pasuruan (11,4%), Kabupaten Mojokerto (10,7%), dan Kabupaten Gresik (10%) juga masuk sebagai empat wilayah dengan prevalensi tertinggi di atas 10% dan terklasifikasi wilayah “buruk” masalah wasting.

 

Kabupaten / Kota

Status Gizi Balita

Karakteristik Masalah Gizi

IMD

ASI Eksklusif

Vitamin A Balita usia 6-59 bulan

Balita Kurus dapat PMT

Bumil dapat TTD

Underweight

Stunting

Wasting

IMD ≥ 1 jam

IMD < 1 jam

TTD Bumil ≥ 90 tablet

TTD Bumil < 90 tablet

Pacitan

13,4

21,1

6,4

Akut-Kronis

15,0

51,1

45,7

94,9

100,0

44,4

52,8

Ponorogo

15,1

25,1

9,4

Akut-Kronis

5,8

59,4

49,5

98,0

91,6

27,0

67,8

Trenggalek

12,8

24,3

5,8

Akut-Kronis

7,3

48,8

39,5

96,6

100,0

60,3

39,7

Tulungagung

13,8

22,1

6,4

Akut-Kronis

4,7

47,6

31,8

97,1

90,9

31,8

62,8

Blitar

11,0

23,3

2,7

Kronis

8,0

61,1

28,7

96,7

100,0

32,7

59,2

Kediri

18,4

33,5

6,4

Akut-Kronis

6,3

54,9

43,3

96,6

100,0

48,1

48,1

Malang

8,6

28,3

3,6

Kronis

12,6

53,3

42,2

95,5

100,0

18,3

69,2

Lumajang

13,6

28,1

3,8

Kronis

2,1

47,9

35,4

93,0

100,0

67,5

31,0

Jember

16,8

30,9

8,5

Akut-Kronis

9,0

58,4

19,8

94,0

88,2

27,2

53,1

Banyuwangi

14,3

26,2

3,7

Kronis

8,2

50,9

28,2

96,0

100,0

39,7

53,2

Bondowoso

21,1

38,3

6,2

Akut-Kronis

12,2

60,5

50,8

94,5

81,8

81,9

16,9

Situbondo

17,1

30,5

7,1

Akut-Kronis

2,5

70,7

32,4

95,7

100,0

70,1

26,1

Probolinggo

16,0

32,0

6,1

Akut-Kronis

16,6

39,6

33,6

94,3

100,0

56,7

42,7

Pasuruan

18,4

24,2

7,4

Akut-Kronis

3,0

58,2

28,3

91,5

93,8

48,3

46,5

Sidoarjo

13,5

19,0

6,8

Akut

8,2

63,5

39,5

98,8

100,0

43,8

42,3

Mojokerto

19,8

29,0

10,7

Akut-Kronis

2,9

49,4

16,0

98,4

88,0

37,4

60,5

Jombang

19,1

26,2

9,2

Akut-Kronis

13,2

58,3

30,6

96,7

92,9

24,6

74,6

Nganjuk

14,0

25,9

6,0

Akut-Kronis

1,9

78,6

14,4

92,3

100,0

37,3

61,1

Madiun

15,6

20,7

8,0

Akut-Kronis

12,9

48,9

37,6

98,3

88,2

43,3

52,0

Magetan

16,3

24,8

7,7

Akut-Kronis

3,9

58,2

43,4

94,4

100,0

26,1

71,2

Ngawi

16,4

26,9

7,6

Akut-Kronis

3,0

49,7

21,4

99,6

93,3

17,2

76,7

Bojonegoro

13,6

19,2

7,2

Akut

2,5

58,6

51,0

98,3

100,0

73,9

25,5

Tuban

19,4

25,3

4,8

Kronis

4,8

56,5

34,9

99,2

81,8

36,4

60,6

Lamongan

16,0

23,0

9,7

Akut-Kronis

4,0

66,1

25,2

97,8

100,0

44,1

51,6

Gresik

14,7

19,8

10,0

Akut

3,1

47,6

39,7

93,7

94,1

26,9

68,0

Bangkalan

27,9

43,0

12,0

Akut-Kronis

1,3

66,7

44,9

94,4

82,6

50,0

37,2

Sampang

10,7

26,4

3,7

Kronis

11,8

62,9

52,3

97,6

100,0

41,8

53,8

Pamekasan

24,2

42,5

9,1

Akut-Kronis

15,4

51,0

42,9

93,5

95,0

5,1

89,7

Sumenep

16,9

32,3

7,3

Akut-Kronis

23,5

48,6

33,1

92,2

100,0

61,3

35,6

Kota Kediri

13,6

25,6

6,2

Akut-Kronis

 

51,0

15,6

98,3

90,0

34,2

61,4

Kota Blitar

10,3

15,5

6,8

Akut

15,3

55,3

45,0

95,9

100,0

62,0

33,1

Kota Malang

14,1

27,4

8,0

Akut-Kronis

2,8

54,5

29,9

93,9

94,4

23,1

59,0

Kota Probolinggo

20,4

20,4

8,4

Akut-Kronis

18,2

47,4

30,9

95,0

94,5

30,8

59,4

Kota Pasuruan

21,6

33,4

11,4

Akut-Kronis

10,4

48,1

22,7

96,4

90,0

41,3

51,1

Kota Mojokerto

4,7

10,3

5,6

Akut

5,8

49,7

49,2

97,7

100,0

51,1

46,0

Kota Madiun

11,3

18,3

5,6

Akut

10,8

48,2

27,4

97,8

100,0

54,0

37,2

Kota Surabaya

13,8

22,8

7,0

Akut-Kronis

5,9

57,8

41,7

95,6

93,3

62,8

32,2

Kota Batu

13,9

35,1

4,2

Kronis

4,2

55,0

34,9

95,3

50,0

9,1

59,8

JATIM

15,5

26,7

6,9

Akut-Kronis

7,6

56

34,9

95,8

94,3

41,6

51,9

 

Tabel 3.1 Data Hasil Pemantauan Status Gizi Provinsi Jawa Timur tahun 2017

Sumber : Survei PSG tahun 2017


Secara keseluruhan, Kabupaten Bangkalan merupakan kabupaten dengan jumlah kasus tertinggi untuk seluruh kasus kekurangan gizi balita di Jawa Timur. Rincian prevalensi kasus kekurangan gizi di kabupaten tersebut, diantaranya underweight (27,9%), stunting (43%), dan wasting (12%). Oleh sebab itu, Kabupaten Bangkalan diklasifikasikan ke dalam wilayah “akut-kronis” untuk masalah kekurangan gizi.

 

Kabupaten / Kota

Status Gizi Balita

Karakteristik Masalah Gizi

IMD

ASI Eksklusif

Vitamin A Balita usia 0-59 bulan

Balita Kurus dapat PMT

Bumil dapat TTD

Underweight

Stunting

Wasting

IMD ≥ 1 jam

IMD ≤ 1 jam

≥ 90 tablet

< 90 tablet

Pacitan

17,9

29,0

8,1

Akut-Kronis

48,6

14,3

41,0

92,4

86,7

66,7

33,3

Ponorogo

17,1

26,3

11,1

Akut-Kronis

48,6

15,2

43,3

93,6

94,7

100,0

0,0

Trenggalek

12,8

22,4

6,1

Akut-Kronis

44,2

11,6

26,5

90,4

100,0

71,4

14,3

Tulungagung

20,2

25,8

9,6

Akut-Kronis

43,9

10,3

32,5

95,8

100,0

44,4

55,6

Blitar

9,7

19,7

6,6

Akut

44,7

18,8

28,2

91,1

78,6

50,0

50,0

Kediri

20,9

29,4

7,6

Akut-Kronis

50,9

10,4

47,0

86,1

100,0

50,0

50,0

Malang

12,5

22,9

9,1

Akut-Kronis

54,9

12,6

42,4

92,1

95,7

30,0

60,0

Lumajang

13,5

30,6

8,9

Akut-Kronis

45,4

8,0

25,0

92,5

100,0

100,0

0,0

Jember

22,8

39,3

9,9

Akut-Kronis

52,5

15,0

32,3

88,9

92,3

42,9

57,1

Banyuwangi

18,3

25,7

9,0

Akut-Kronis

47,4

8,7

27,9

86,5

83,3

71,4

28,6

Bondowoso

18,9

34,6

7,1

Akut-Kronis

61,0

9,8

37,1

89,1

100,0

83,3

16,7

Situbondo

21,7

23,0

16,2

Akut-Kronis

50,0

21,3

38,3

94,6

85,7

60,0

40,0

Probolinggo

10,2

25,3

11,5

Akut-Kronis

44,7

29,1

38,2

96,3

95,5

100,0

0,0

Pasuruan

21,6

28,8

10,5

Akut-Kronis

54,2

13,7

32,8

90,9

100,0

40,0

60,0

Sidoarjo

16,6

21,9

13,0

Akut-Kronis

56,6

4,2

32,5

89,4

100,0

50,0

37,5

Mojokerto

19,7

27,5

18,1

Akut-Kronis

30,7

7,2

17,7

92,9

94,1

40,0

40,0

Jombang

16,6

19,2

12,1

Akut

64,1

11,5

35,4

94,1

86,4

53,8

46,2

Nganjuk

15,0

22,7

7,8

Akut-Kronis

50,8

27,4

30,9

84,9

94,4

62,5

37,5

Madiun

17,5

26,8

8,9

Akut-Kronis

48,3

7,0

31,8

94,0

100,0

16,7

83,3

Magetan

16,0

22,0

4,5

Kronis

50,3

8,3

22,3

92,1

90,0

44,4

44,4

Ngawi

16,7

28,0

8,2

Akut-Kronis

44,8

9,7

22,3

90,7

100,0

33,3

58,3

Bojonegoro

18,1

30,1

7,4

Akut-Kronis

64,2

8,0

27,2

95,6

100,0

72,2

27,8

Tuban

18,6

28,0

8,1

Akut-Kronis

50,9

14,0

42,1

85,9

94,4

18,7

81,2

Lamongan

19,2

25,2

13,1

Akut-Kronis

45,8

9,5

25,0

82,7

100,0

33,3

33,3

Gresik

16,3

17,6

14,4

Akut

58,7

6,7

26,2

91,0

100,0

41,7

58,3

Bangkalan

23,1

32,1

13,0

Akut-Kronis

56,4

12,2

20,0

88,5

76,2

44,4

44,4

Sampang

25,4

44,3

10,8

Akut-Kronis

56,3

13,2

55,4

92,4

100,0

54,5

36,4

Pamekasan

25,0

33,2

11,4

Akut-Kronis

48,3

12,1

34,0

88,7

96,3

23,1

76,9

Sumenep

20,0

32,5

8,5

Akut-Kronis

66,5

8,2

40,2

92,5

100,0

62,5

37,5

Kota Kediri

19,6

26,7

13,2

Akut-Kronis

38,9

8,6

27,6

91,5

93,5

20,0

80,0

Kota Blitar

7,6

13,0

6,7

Akut

55,6

11,7

28,4

92,3

93,3

80,0

0,0

Kota Malang

13,2

24,1

7,6

Akut-Kronis

49,4

10,1

28,0

91,6

92,3

33,3

41,7

Kota Probolinggo

23,2

27,6

11,1

Akut-Kronis

51,6

14,5

21,0

92,8

100,0

60,0

40,0

Kota Pasuruan

23,9

28,1

13,4

Akut-Kronis

48,6

8,3

20,6

95,3

93,3

60,0

20,0

Kota Mojokerto

4,9

11,9

3,1

Baik

46,9

17,1

32,8

90,1

100,0

85,7

14,3

Kota Madiun

13,5

14,7

7,5

Akut

52,2

9,9

26,5

92,5

100,0

66,7

33,3

Kota Surabaya

17,1

23,2

9,8

Akut-Kronis

57,7

11,7

27,2

88,5

100,0

81,8

18,2

Kota Batu

14,2

32,7

6,5

Akut-Kronis

42,4

8,1

33,1

92,4

94,1

27,3

54,5

JATIM

17,3

26,1

9,7

Akut-Kronis

50,7

12,0

31,3

91,9

94,9

51,5

42,7

 

Tabel 3.2 Data Hasil Pemantauan Status Gizi Provinsi Jawa Timur tahun 2016

Sumber : Survei PSG tahun 2016







3.2.2 Cakupan Kegiatan Inisiasi Menyusui Dini Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur

Inisiasi Menyusui Dini (IMD) merupakan salah satu faktor penting yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi gizi bayi dan balita. Hal tersebut disebabkan karena kegiatan IMD memiliki banyak manfaat yang dapat mendukung kehidupan bayi pada 1000 hari pertama kehidupannya. Sebagai salah satu indikator kinerja program gizi, keberhasilan kegiatan IMD yang digalakkan dengan baik akan menentukan penurunan atau kenaikan status gizi balita di suatu wilayah.

Kegiatan Pemantauan Status Gizi tahun 2017 telah membagi indikator cakupan IMD tersebut berdasarkan jenis frekuensi perlakuannya, yaitu IMD yang dilakukan ≥ 1 jam dan IMD yang dilakukan < 1 jam. Hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2017 menunjukkan bahwa rata-rata ibu di Jawa Timur yang melakukan kegiatan IMD ≥ 1 jam hanya sebesar 7,6% atau hanya sekitar 7-8 dari 100 orang yang telah melakukan IMD sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Kemenkes. Akan tetapi, sebanyak 56% ibu melakukan kegiatan IMD < 1 jam. Dengan begitu, cakupan program IMD ≥ 1 jam yang telah ditetapkan sesuai standar Kemenkes belum dilaksanakan secara luas oleh masyarakat. Kabupaten Nganjuk merupakan kabupaten dengan angka cakupan IMD < 1 jam tertinggi yaitu 78,6% dan cakupan IMD ≥ 1 jam hanya 1,9%.

Kabupaten Bangkalan dengan angka tertinggi untuk seluruh kasus kekurangan gizi balita di Jawa Timur memiliki persentase 66,7% untuk cakupan IMD < 1 jam dan termasuk dalam 3 kabupaten/kota teratas yang memiliki persentase tertinggi IMD < 1 jam. Jumlah cakupan IMD ≥ 1 jam di kabupaten tersebut sekaligus menjadi yang terkecil di Jawa Timur, yaitu sekitar 1,3%.

3.2.3 Cakupan Kegiatan ASI Eksklusif Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur

Cakupan pemberian ASI Eksklusif terhadap balita mempengaruhi jumlah kasus stunting di beberapa wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur. Kabupaten Sampang adalah kabupaten dengan cakupan pemberian ASI Eksklusif tertinggi di wilayah Jawa Timur yaitu sebesar 52,3%. Sebanyak 20 (52,63%) wilayah kabupaten/kota telah memiliki cakupan pemberian ASI Eksklusif di atas rerata wilayah Provinsi Jawa Timur (34,9%) sehingga dapat dikatakan baru sekitar separuh kabupaten/kota di Jawa Timur yang telah melaksanakan program pemberian ASI eksklusif dengan capaian di atas rata-rata provinsi.

Dari 20 wilayah tersebut, sebanyak 13 (65%) wilayah memiliki jumlah kasus prevalensi stunting di bawah rerata Provinsi Jawa Timur. Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan cakupan pemberian ASI Eksklusif akan berdampak pada menurunnya angka kejadian stunting di wilayah tersebut.

3.2.4 Cakupan Pemberian Vitamin A Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur

Vitamin A berperan penting untuk membentuk sistem imunitas bayi dan balita sehingga dapat membantu menurunkan risiko terjadinya penyakit infeksi yang menghambat fungsi pencernaan pada bayi dan balita. Oleh sebab itu, cakupan pemberian vitamin A terhadap populasi balita akan mempengaruhi jumlah kasus stunting di suatu wilayah. Rata-rata pemberian vitamin A untuk balita di Jawa Timur mencapai angka 95,8%. Kabupaten Ngawi adalah kabupaten dengan cakupan pemberian vitamin A tertinggi di Jawa Timur yaitu sebesar 99,6%. Meskipun cakupan pemberiannya tinggi, prevalensi underweight, stunting, dan wasting di wilayah tersebut masih berada di atas rata-rata cakupan pemberian vitamin A di wilayah Jawa Timur.

Sebanyak 20 (52,63%) wilayah kabupaten/kota telah memiliki cakupan pemberian vitamin A di atas rerata wilayah Provinsi Jawa Timur sehingga dapat dikatakan hanya sekitar separuh kabupaten/kota di Jawa Timur yang telah melaksanakan program pemberian vitamin A di atas rata-rata capaian provinsi. Sebanyak 16 (80%) wilayah dari 20 wilayah tersebut memiliki jumlah kasus prevalensi stunting di bawah rerata Provinsi Jawa Timur. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan cakupan pemberian vitamin A pada balita akan berdampak pada menurunnya angka kejadian stunting di wilayah tersebut.

3.2.5 Cakupan Pemberian Makanan Tambahan untuk Balita Kurus Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita kurus dapat membantu pemenuhan gizi balita sehingga terjadinya masalah kurang gizi dapat dicegah atau disembuhkan apabila masalah gizi telah terjadi. Rata-rata cakupan PMT untuk balita kurus di Jawa Timur mencapai angka 94,3%. Sebanyak 22 (57,89%) wilayah kabupaten/kota telah memiliki cakupan PMT di atas rerata wilayah Provinsi Jawa Timur. Sebanyak 14 (63,64%) wilayah dari 22 wilayah tersebut memiliki jumlah kasus prevalensi stunting di bawah rerata Provinsi Jawa Timur. Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan cakupan pemberian makanan tambahan juga dapat membantu menurunkan angka kejadian stunting di wilayah tersebut.

3.2.6 Cakupan Pemberian Tablet Tambah Darah untuk Ibu Hamil Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur

Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) untuk ibu hamil merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil. Tablet Tambah Darah juga membantu ibu selama masa persalinan untuk mencegah adanya pendarahan berlebihan yang dapat mengancam jiwa ibu dan juga bayi. Selama masa kehamilan, ibu hamil memerlukan kecukupan nutrisi untuk dirinya maupun janin yang dikandung. Suplai nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan janin yang dikandung menjadi lemah dan rentan untuk mengalami keguguran maupun terjadinya stunting saat kelahiran. Oleh sebab itu, indikator cakupan kinerja pemberian TTD untuk ibu hamil dapat menjadi penentu tingkat kejadian kekurangan gizi, seperti stunting¸ di suatu wilayah. Kementerian Kesehatan telah menetapkan standar jumlah Tablet Tambah Darah (TTD) yang harus diperoleh dan dikonsumsi ibu hamil selama kehamilan adalah 90 tablet atau lebih. Pemenuhan TTD tersebut harus dilakukan secara masif di seluruh wilayah di Indonesia guna mencegah terjadinya gangguan masa dan pasca-kehamilan baik bagi ibu maupun bayi itu sendiri.

Data PSG 2017 menunjukkan bahwa cakupan Tablet Tambah Darah bagi ibu hamil hanya sebesar 41,6% atau tidak sampai separuh dari seluruh populasi ibu hamil di Jawa Timur. Grafik TTD menunjukkan bahwa Kabupaten Pamekasan merupakan kabupaten dengan cakupan TTD ≥ 90 tablet terendah, yaitu hanya 5,1% dan Kota Batu menduduki posisi kedua dengan cakupan sebesar 9,1%. Dampak kurangnya pemenuhan TTD ≥ 90 tablet bagi kedua wilayah tersebut adalah tingginya kasus stunting di wilayah tersebut serta tingginya kasus wasting di wilayah Pamekasan.

3.3 Tahap Analisis Data

3.3.1 Perbandingan Cakupan Program Gizi Jawa Timur dengan Target Nasional

Menurut Hasil PSG status gizi balita bedasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB Provinsi Jawa Timur tahun 2017 berturut turut sebesar 15.5%, 26.7%, dan 6.9%. Dari persentase ini, Jawa Timur termasuk ke dalam provinsi yang berstatus ‘Akut-Kronis’. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, prevalensi balita Jawa Timur 2.3% lebih rendah untuk masalah gizi underweight; 2.9% lebih rendah untuk masalah gizi stunting; dan 2.6% lebih rendah untuk masalah gizi wasting. Jika dibandingkan dengan prevalensi pada tahun 2016, prevalensi balita Jawa Timur underweight dan wasting berturut-turut turun sebesar 1.8% dan 2.8%. namun untuk prevalensi stunting naik sebesar 0.5%.

 

 

Under

weight

Stunting

Wasting

ASI Ekslusif

IMD

<1 jam

TTD

≥90 tablet

PMT

Vit A

Jawa Timur tahun 2017

15.5

26.6

6.9

34.9

56

41.6

94.3

95.8

Nasional tahun  2017

17.8

29.6

9.5

35.7

51.3

31.3

59.1

94.7

Jawa Timur tahun 2016

17.3

26.1

9.7

31.3

50.7

51.5

94.9

91.9

Nasional tahun 2016

17.8

27.5

11.1

29.5

42,6

40,2

36.8

90.1

 

Tabel 3.6 Tabel Perbandingan Masalah Cizi dan Program Gizi

Untuk indikator program gizi, cakupan balita Provinsi Jawa Timur yang mendapat ASI Eksklusif tahun 2017 sebesar 34.9%. Angka ini 0.8% lebih rendah dari rata-rata cakupan ASI Eksklusif Nasional tetapi jika dibandingkan dengan tahun 2016 cakupannya naik sebesar 3.6%.  Dari angka ini dapat kita ketahui bahwa pemberian ASI eksklusif masih jauh dari harapan. Secara nasional, target cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 44%. Namun, angka ini belum mencapai dari target cakupan ASI eksklusif yang ditetapkan oleh pemerintah. (Kementrian Kesehatan RI, 2019)

Cakupan bayi baru lahir Provinsi Jawa Timur tahun 2017 yang mendapat IMD <1 jam yaitu 56%. Angka ini lebih tinggi 4.7% dari rata-rata Nasional. Jika dibandingkan dengan tahun 2016, cakupan naik 5.3%. Untuk balita yang tidak mendapat IMD Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 sebanyak 36.4%. angka ini ternyata turun sebesar 0.9% jika dibandingkan dengan tahun 2016. Target nasional cakupan bayi yang mendapatkan IMD pada tahun 2017 sebesar 44%. Dari sini dapat kita lihat bahwa program ini telah melampaui target yang ditetapkan pemerintah. (Kementrian Kesehatan RI, 2019)

Tablet Tambah Darah (TTD) sebaiknya didapat dan dikonsumsi oleh ibu hamil selama masa kehamilan minimal 90 tablet. Cakupan ibu hamil Provinsi Jawa Timur tahun 2017 yang mendapatkan TTD ≥90 tablet sebesar 41.6%. Angka ini lebih tinggi 10.3% dari rata-rata cakupan pemberian TTD nasional. Jika dibandingkan dengan tahun 2016, cakupan Provinsi Jawa Timur turun sebesar 9.9%. Target pemberian TTD 90 tablet selama masa kehamilan tahun 2017 sebesar 90%. Dari sini dapat diketahui bahwa cakupan program pemberian tablet tambah darah 90 tablet selama masa kelamilan masih jauh dari yang di targetkan.

Cakupan balita Provinsi Jawa Timur tajun 2017 yang mendapat PMT sebesar 94.3%. Angka ini lebih tinggi 35.2% dari rata-rata cakupan pemberian PMT nasional. Dibandingkan dengan tahun 2016, angka cakupan provinsi Jawa Timur turun sebesar 0.6%. Target Balita kurus yang mendapat makanan tambahan sebesar 80%, jadi program ini telah melampaui target nasional. Cakupan balita Provinsi Jawa Timur tahun 2017 yang mendapat kapsul vitamin A sebesar 95.8%. angka ini lebih tinggi 1.1% dari rata-rata Nasional. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, cakupan pemberian kapsul vitamin A naik sebesar 3.9%.  Target cakupan pemberian vitamin A nasional adalah 80%. Dari sini dapat dilihat bahwa cakupan program pemberian kapsul vitamin A telah melampaui target.

3.3.2  Perbandingan Cakupan Program Gizi Antar Kabupaten/Kota di Jawa Timur

Dari hasil rata-rata capaian program-program tersebut, hanya sekitar 21 wilayah di Jawa Timur yang memiliki persentase cakupan program di atas rata-rata cakupan Jawa Timur. Dengan kata lain, cakupan program-program gizi tersebut hanya menaungi sekitar separuh wilayah atau separuh populasi ibu dan bayi di Jawa Timur. Oleh karenanya, angka kejadian kurang gizi (underweight, stunting, dan wasting) balita di Jawa Timur masih tetap berada pada kategori akut-kronis (PSG, 2017) serta kategori buruk (World Health Organization, 2000).

Cakupan pemberian IMD, pemberian ASI Eksklusif, pemberian vitamin A, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita kurus, dan pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) pada ibu hamil digunakan sebagai indikator kinerja program gizi dilakukan karena seluruh faktor tersebut berpengaruh secara langsung terhadap status gizi dan kesehatan bayi dan balita. Oleh sebab itu, keberhasilan cakupan dari seluruh program tersebut menjadi penting bagi suatu wilayah karena juga dapat mempengaruhi tingkat kejadian masalah gizi balita sebagai bentuk outcome dari indikator cakupan tersebut.

Dari hasil pemetaan grafik scatter plot dapat ditelaah bahwa wilayah dengan cakupan pemberian ASI Eksklusif, pemberian vitamin A, dan pemberian makanan tambahan yang tinggi akan cenderung memiliki angka kejadian stunting dan wasting di bawah rata-rata Jawa Timur. Untuk wilayah dengan angka cakupan yang rendah, program-program gizi tersebut tidak terlalu berdampak signifikan terhadap angka kejadian stunting tetapi berdampak signifikan untuk kejadian wasting. Hal ini disebabkan karena permasalahan stunting merupakan masalah kronis yang bisa terjadi secara menahun dan dapat dipengaruhi oleh faktor lain yang lebih mendasari, seperti faktor sosial-ekonomi dan ketahanan pangan suatu wilayah. Sedangkan, program-program gizi tersebut lebih untuk mencegah atau meningkatkan sistem kekebalan bayi dan balita untuk menurunkan risiko terjadinya gizi buruk yang akut, seperti wasting.  

Pengaruh cakupan program pemberian pemenuhan gizi balita terhadap status gizi balita di suatu wilayah dapat dilihat dari salah satu wilayah dengan angka kejadian kurang gizi yang tergolong tinggi, yaitu Kabupaten Bangkalan. Kabupaten Bangkalan memiliki 27,9% kasus underweight, 43% kasus stunting, dan 12% kasus wasting. Seluruh angka tersebut merupakan angka prevalensi tertinggi untuk seluruh wilayah di Jawa Timur. Apabila dianalisis dari cakupan seluruh indikator program pemenuhan gizi balita di wilayah tersebut, beberapa indikator program gizi, seperti pemberian IMD, pemberian Vitamin A, dan pemberian PMT untuk balita di wilayah tersebut belum memenuhi capaian rata-rata Jawa Timur.

Hanya sebesar 1,3% populasi ibu hamil di Kabupaten Bangkalan yang melakukan Inisiasi Menyusui Dini selama satu jam atau lebih sesuai anjuran dari Kementerian Kesehatan. Padahal, pola asuhan pemberian IMD dapat memberikan manfaat positif bagi bayi baru dilahirkan dalam bentuk sistem kekebalan tubuh yang didapat dari kolostrum ASI yang baru pertama kali dikeluarkan ibu setelah melahirkan. Penyapihan dilakukan selama satu jam dimaksudkan agar terjadi adanya efek bonding antara ibu dan bayinya sehingga dapat membantu meningkatkan hubungan kasih sayang antara ibu dan anaknya. Cakupan yang terlalu kecil tersebut dapat menjadi salah satu faktor pengaruh tingginya angka kejadian balita kurang gizi di Kabupaten Bangkalan.

Selain pemberian IMD, pemberian makanan tambahan untuk balita kurus di wilayah Bangkalan juga hanya sebesar 82,6%, selisih 11,7% dari rata-rata cakupan PMT Jawa Timur. Pemberian makanan tambahan yang dilakukan baik di puskesmas maupun posyandu menjadi kebutuhan yang penting untuk menangani balita kurus karena dapat membantu menyuplai kebutuhan nutrisi yang belum tercukupi. Cakupan pemenuhan PMT di suatu wilayah harus mampu menyuplai seluruh balita yang diidentifikasi mengalami masalah kekurangan gizi. Cakupan PMT di wilayah Bangkalan terlalu sedikit untuk menangani masalah kurang gizi di kabupaten tersebut sehingga angka stunting dan wasting masih terlalu tinggi.

3.3.3  Hubungan Antara Kinerja Program Gizi dengan Permasalahan Gizi

Cakupan program ASI Eksklusif Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian underweight dan wasting Provinsi Jawa Timur. Untuk angka kejadian stunting, pemberian ASI Eksklusif tidak memberi pengaruh yang signifikan karena angka kejadian stunting meningkat dari tahun 2016. Hal ini dapat saja terjadi karena stunting merupakan masalah gizi kronis yang dapat disebabkan karena banyak faktor (multifactor) misalnya kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, serta asupan makanan yang kurang dalam waktu lama. Sedangkan underweight dan wasting merupakan masalah gizi akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat sehingga dapat ditangani dengan perbaikan asupan gizi balita. Itulah mengapa program perbaikan gizi seperti pemberian ASI, IMD, dan PMT lebih menunjukan pengaruh yang signifikan pada masalah gizi kronis.

Program yang selanjutnya adalah inisiasi menyusui dini. Cakupan program IMD Provinsi Jawa Timur tahun 2017 meningkat dibandingkan dengan tahun 2016. Peningkatan ini berpengaruh pada penurunan angka kejadian underweight dan wasting tetapi tidak berpengaruh signifikan pada angka kejadian stunting. cakupan pemberian kapsul Vitamin A Provinsi Jawa Timur tahun 2017 juga meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini juga memberi pengaruh pada penurunan angka kejadian underweight dan wasting. Namun pemberian vitamin A ini juga tidak memberi dampak yang signifikan terhadap penurunan angka kejadian stunting.

Cakupan pemberian tablet tablet tambah darah Provinsi Jawa Timur tahun 2017 juga mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. hal ini memberi dampak terhadap meningkatnya angka kejadian stunting tetapi tidak menunjukan pengaruh yang besar pada angka kejadian underweight dan wasting. Hal ini dapat terjadi karena tablet tambah darah ini diberikan kepada ibu hamil sebagai upaya preventif agar bayi tidak mengalami BBLR sehingga TTD ini memberi pengaruh yang signifikan pada masalah gizi kronis. Cakupan pemberian PMT Provinsi Jawa Timur tahun 2017 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan penurunan angka kejadian wasting karena program pemberian makanan tambahan ini ditujukan kepada balita kurus sehingga apabila jumlah balita wasting mengalami penurunan maka ini berdampak pada berkurangnya jumlah balita yang harus diberi PMT.

Tinggi rendahnya cakupan program gizi merupakan penentu tinggi rendahnya kejadian status gizi balita di suatu wilayah karena program-program gizi tersebut memiliki dampak yang penting untuk meningkatkan gizi masyarakat. Adanya hasil pemantauan status gizi di suatu wilayah dapat membantu pemerintah untuk mengetahui kecenderungan masalah dan capaian program gizi serta membantu memetakan wilayah berdasarkan tingkat urgensinya sehingga membantu pemerintah untuk merumuskan kebijakan serta intervensi di wilayah tersebut. Berbicara mengenai cakupan program gizi, intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dapat berupa peningkatan distribusi suplemen gizi, pemerataan pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan di seluruh wilayah, serta pembekalan pengetahuan gizi secara kontinu dengan memanfaatkan kader maupun tokoh masyarakat setempat untuk dapat meningkatkan pengetahuan ibu terhadap pentingnya kesehatan gizi bayi dan balita.

 

3.4  Tahap Diseminasi / Penyebarluasan Informasi

Angka rata-rata cakupan beberapa program gizi (Tabel 3.1) di Jawa Timur telah berada di atas rata-rata nasional kecuali untuk program ASI Eksklusif, namun angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional. Langkah diseminasi atau penyebarluasan informasi yang dapat dilakukan oleh Kementerian Kesehatan sebagai bagian dari pemerintah pusat adalah memberikan umpan balik pencapaian kinerja surveilans gizi kepada lintas sektor tingkat Provinsi Jawa Timur serta melakukan advokasi kepada pimpinan daerah. Dengan adanya kegiatan diseminasi ini, Kementerian Kesehatan bersama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dapat berdiskusi mengenai intervensi yang sesuai untuk menanggulangi maupun mencegah timbulnya permasalahan.

Hasil diskusi mengenai intervensi dan rekomendasi kebijakan penanggulangan yang telah didiskusikan, selanjutnya akan diadvokasikan kembali kepada Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota maupun kepala daerah kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur. Pemerintah provinsi bersama pemerintah daerah akan berdiskusi bersama untuk menentukan strategi kebijakan dan intervensi yang tepat disesuaikan juga dengan hasil analisis data yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah provinsi juga menentukan daerah mana saja yang harus menjadi prioritas utama untuk cakupan intervensi program gizi. Hasil perencanaan strategi kebijakan tersebut selanjutnya dituangkan dalam rincian anggaran daerah atau APBD.

Proses penyebarluasan informasi hasil surveilans gizi ini selanjutnya akan berlangsung secara terus-menerus hingga fasilitas pelayanan kesehatan paling rendah, seperti Puskesmas dan Posyandu. Begitu pula dengan hasil perumusan kebijakan yang telah dibentuk masing-masing pemerintah daerah dapat diterapkan lebih lanjut disesuaikan dengan otonomi daerah masing-masing.

3.5  Rekomendasi

Berdasarkan data-data di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan untuk mencegah peningkatan kasus underweight, stunting, dan wasting, serta meningkatkan cakupan bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif, cakupan bayi baru lahir yang mendapat IMD, cakupan ibu hamil yang mendapatkan TTD selama masa kehamilan, cakupan balita yang mendapat makanan tambahan, dan peningkatan cakupan balita yg mendapat kapsul vitamin A adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatkan pendidikan gizi masyarakat melalui penyediaan materi KIE dan Kampanye, yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan masyarakat untuk berperilaku sadar gizi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kekurangan gizi, penyebab dan akibatnya, agar mereka termotivasi untuk berperan serta dalam upaya penanggulangannya, serta meningkatkan kemampuan keluarga/masyarakat dalam pencegahan, penemuan dini kasus dan mencari pertolongan pelayanan, pendampingan pada rawat jalan dan proses rehabilitasi, serta pemantauan berkesinambungan agar kekurangan gizi tidak terulang. Misalnya dalam ASI Eksklusif, edukasi mengenai pentingnya ASI Eksklusif dan IMD harus dilakukan karena, keberhasilan dalam menyusui berkaitan erat dengan adanya dukungan dan dorongan dari orang-orang disekitar ibu, yaitu keluarga. Diharapkan, suatu pemberian informasi melalui media komunikasi, informasi, dan edukasi dalam meningkatkan penggunaan ASI, sehingga menambah keyakinan ibu-ibu bahwa mereka akan dapat menyusui bayinya dengan sukses.
  2. Memenuhi kebutuhan obat program gizi terutama kapsul vitamin A dan TTD melalui optimalisasi sumber daya pusat dan daerah sebagai bentuk pencegahan masalah gizi. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah dan mengurangi timbulnya masalah gizi, baik masalah gizi makro maupun gizi mikro.
  3. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan petugas dalam pemantauan pertumbuhan, konseling menyusui dan MPASI, tata laksana gizi buruk, surveilans dan program gizi lainnya. Kegiatan ini ditujukan untuk menanggulangi masalah gizi buruk pada balita.
  4. Meningkatkan pelayanan gizi ibu hamil berupa pemberian TTD dan skrining ibu hamil KEK dengan pelayanan antenatal (ANC). Untuk itu, perlu mengecek persediaan TTD dan segera distribusikan ke BDD untuk diberikan kepada ibu hamil yang belum mendapatkan TTD.
  5. Mengoptimalkan advokasi dan peningkatan kolaborasi dengan program dan sektor terkait, mitra, pihak swasta dan masyarakat dalam rangka mencegah terjadinya gizi kurang/buruk pada balita, antara lain dalam hal tumbuh kembang anak, pencegahan penyakit menular, penyediaan air bersih dan sanitasi, pertanian dan peternakan, ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, monitoring dan evaluasi, dll.
  6. Meningkatkan ketersediaan pedoman/protokol penanggulangan gizi buruk yang didukung ketersediaan peralatan, tempat, dan obat-obatan dalam melaksanakan tatalaksana gizi buruk pada balita. Misalnya dalam memberikan pelayanan rawat jalan: untuk balita usia 6-59 bulan dengan gizi buruk tanpa komplikasi. Di mana layanan ini dilakukan di fasilitas kesehatan primer/puskesmas. Pelayanan rawat inap untuk: bayi < 6 bulan dengan gizi buruk (dengan atau tanpa komplikasi); balita gizi buruk usia 6-59 bulan dengan komplikasi dan/atau penyakit penyerta yang diduga dapat menyebabkan gizi buruk, seperti TB dan HIV; serta semua bayi berusia di atas 6 bulan dengan berat badan kurang dari 4 kg. Rawat inap dilakukan di puskesmas perawatan yang mampu memberi pelayanan balita gizi buruk dengan komplikasi (kecuali pada bayi < 6 bulan harus di rumah sakit), Therapeutic Feeding Centre, RS pratama, serta RS tipe C, B dan A.
  7. Menjadikan penanggulangan gizi kurang/buruk pada balita sebagai upaya prioritas wilayah yang harus segera diatasi dengan langkah-langkah peningkatan deteksi dini kasus, dan meningkatkan cakupan penanganan kasus dengan pelayanan yang berkualitas.
  8. Meningkatkan sistem informasi dan pelaporan gizi buruk/kurang/masalah gizi lainnya di setiap tingkatan wilayah, agar masalah gizi tersebut cepat terdeteksi dan ditangani. Hal ini karena, kasus kekurangan gizi yang ditemukan sedini mungkin, dapat mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang yang mungkin timbul.
  9. Meningkatkan fungsi posyandu dan penggerakan masyarakat secara intensif untuk pemantauan pertumbuhan balita dan tindak lanjutnya, identifikasi gizi kurang/buruk, serta penggerakan dalam upaya ketahanan pangan keluarga dan masyarakat.

3.6  Peran Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam Surveilans

            Seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) yang bisa disebut dengan tenaga kesehatan masyarakat sangat berperan dalam surveilans, termasuk surveilans gizi, mulai dari penilaian pendahuluan hingga penyampaian informasi hasil surveilans tersebut. Hal ini sesuai dengan fungsi mereka yang berfokus pada melaksanakan pelayanan UKM di tingkat masyarakat. (Bappenas, 2019)

            Pada tahap awal atau penilaian pendahuluan surveilans tentang status gizi kurang pada balita, tenaga kesehatan masyarakat berperan dalam melakukan penilaian keadaan serta kondisi di daerah Jawa Timur sebagai daerah yang akan dilakukan surveilans untuk menentukan desain yang tepat untuk surveilans gizi. Penilaian ini meliputi beberapa hal, seperti:

  1. Jenis, tingkat, dan waktu terjadinya masalah gizi khususnya gizi kurang pada balita

Hasil penilaian ini dapat digunakan untuk membedakan kelompok yang beresiko.

  1. Pengenalan dan penggambaran kelompok khusus yang memiliki resiko

Pada penilaian ini, digunakan 3 klasifikasi, yaitu:

a.      Keadaan biologis: umur, jenis kelamin, gangguan kesehatan lain.

b.     Situasi fisik: jenis daerah (kota/desa), ekologi, jenis pangan, geografis, sanitasi

c.      Sosio-ekonomis dan budaya, meliputi: kelompok etnis atau budaya, pekerjaan, pelayanan kesehatan.

  1. Faktor yang menyebab masalah gizi  khususnya gizi kurang pada balita

Penilaian ini dapat dilakukan dengan menganalisis data yang tersedia. Dari hasil analisis tersebut akan dihasilkan berbagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya masalah gizi yang tengah dihadapi.

  1. Menentukan sumber data yang tersedia dan dapat digunakan oleh sistem surveilans gizi

Setelah melakukan penilaian pendahuluan, tenaga kesehatan masyarakat turut dalam melakukan pengumpulan data. Dalam pengumpulan data ini dilakukan penentuan indikator-indikator yang akan digunakan dalam surveilans gizi. Pemilihan indikator ini harus mempertimbangkan kemudahan perhitungan, kecepatan dan frekuensi ketersediaan data, serta biaya Dalam masalah yang kami bahas ini, indikator yang digunakan adalah indikator masalah gizi (persentase balita underweight, stunting, dan wasting) dan indikator program gizi (cakupan bayi usia 6 bulan mendapatkan ASI Eksklusif, bayi baru lahir mendapat IMD, ibu hamil mendapatkan TTD, balita kurus mendapatkan PMT, dan balita mendapatkan kapsul vitamin A)(Syafei, 2010).

Tahap selanjutnya adalah pengolahan, analisis, dan interpretasi hasil surveilans gizi. Hal ini sesuai dengan kompetensi lulusan SKM yaitu mampu melakukan kajian dan analisis situasi. Tenaga kesehatan masyarakat melakukan analisis antara hasil dan target yang ditetapkan sebelumnya untuk dapat mengidentifikasi masalah. Dari hasil analisis ini dibuat tanggapan maupun saran mengenai tindakan yang dapat dilakukan untuk menghadapi masalah (Syafei, 2010).

Setelah didapat informasi yang tepat, tenaga kesehatan masyarakat dapat menyebarkan informasi ini kepada pihak yang berkepentingan dengan bahasa yang mudah dipahami, hal ini sesuai dengan kompetensi lulusan SKM yaitu dapat berkomunikasi secara efektif sehingga informasi tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya pengendalian dan evaluasinya. Selain penyampaian informasi yang dihasilkan, tenaga kesehatan masyarakat juga berperan dalam menyampaikan rekomendasi. (Syafei, 2010).

 

.

 


 

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada tahun 2017 status gizi balita di provinsi Jawa Timur berada pada tingkat akut-kronis, yang artinya masalah-masalah gizi balita yang terjadi berada pada tingkat akut dan kronis. Ditinjau dari masing-masing kondisi status gizi di Jawa Timur, indikator akut dan kronis tersebut berdasarkan persentase rata-rata prevalensi balita pendek (stunting) sebesar 26,7% (≥20%), balita kurus (wasting) dengan persentase 6,9% (≥5%), dan balita underweight (gizi buruk/gizi kurang) sebesar 15,5%. Seluruh prevalensi balita kurang gizi tersebut termasuk klasifikasi “kurang” menurut klasifikasi WHO tentang masalah kesehatan masyarakat untuk prevalensi kurang gizi.

Bayi baru lahir Provinsi Jawa Timur tahun 2017 yang mendapat IMD <1 jam sebesar 56%. Angka ini lebih tinggi 4.7% dari rata-rata Nasional dengan target sebesar 44%. Sehingga cakupan bayi baru lahir yang mendapat IMD <1 jam telah memenuhi harapan. Hal ini juga memberi pengaruh pada penurunan angka kejadian underweight dan wasting. Cakupan balita Provinsi Jawa Timur yang mendapat ASI Eksklusif tahun 2017 sebesar 34.9%.  Secara nasional, target cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 44%. Sehingga cakupan pemberian ASI eksklusif masih jauh dari harapan. Hal ini berpengaruh terhadap perubahan angka kejadian underweight dan wasting Provinsi Jawa Timur. Balita Provinsi Jawa Timur tajun 2017 yang mendapat PMT sebesar 94.3%. Angka ini lebih tinggi 35.2% dari rata-rata cakupan pemberian PMT nasional dengan target balita kurus yang mendapat makanan tambahan sebesar 80%, jadi program ini telah memenuhi harapan. program PMT memiliki pengaruh terhadap penurunan angka kejadian wasting. Cakupan ibu hamil Provinsi Jawa Timur tahun 2017 yang mendapatkan TTD ≥90 tablet sebesar 41.6%. Angka ini lebih tinggi 10.3% dari rata-rata cakupan pemberian TTD nasional, namun diketahui bahwa cakupan program pemberian tablet tambah darah 90 tablet selama masa kelamilan masih jauh dari yang di targetkan (90%). Ada hubungan antara pemberian tablet tablet tambah darah kepada ibu hamil dengan angka kejadian stunting dan BBLR. balita Provinsi Jawa Timur tahun 2017 yang mendapat kapsul vitamin A sebesar 95.8%. angka ini lebih tinggi 1.1% dari rata-rata Nasional. Target cakupan pemberian vitamin A nasional adalah 80%. Dari sini dapat dilihat bahwa cakupan program pemberian kapsul vitamin A telah melampaui target. Ada hubungan antara pemberian vitamin A kepada balita dengan angka kejadian  underweight dan wasting.

Dari hasil rata-rata capaian program-program gizi tersebut hanya menaungi sekitar separuh wilayah atau separuh populasi ibu dan bayi di Jawa Timur. Oleh karenanya, angka kejadian kurang gizi (underweight, stunting, dan wasting) balita di Jawa Timur masih tetap berada pada kategori akut-kronis

4.2 Saran

Masyarakat diharapkan dapat lebih aktif untuk mencari informasi terkait dengan gizi balita, seperti membaca informasi yang terdapat di buku KIA atau pun sering bertanya pada tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan terdekat. Bagi Jurusan Kesehatan Masyarakat Perlu upaya peningkatan pengetahuan dan sikap melalui pengabdian, serta perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor lain yang mungkin berhubungan.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bappenas. (2019). Fungsi Kesehatan Masyarakat dan Health Security. Jakarta

BPPSDMK. (2017). Surveilans Gizi. http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/SURVAILANS-GIZI-FINAL-SC.pdf (Akses tanggal 3 April 2021 pukul 21.29 WIB)

Direktorat Gizi Masyarakat Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan. (2017). Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2016.

Handayani, R. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi pada Anak Balita. Journal Endurance, 217-224.

Kementerian Kesehatan RI (2018) Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. (2019). “Laporan Akuntabilitas Kinerja 2018”. Direktorat Gizi Masyarakat, 152(9), 1689–1699.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2017.

Kementerian Kesehatan, RI. 2019. Pedoman Pencegahan Dan Penatalaksanaan Gizi Buruk Pada Balita.

Kementerian Kesehatan RI (2018) Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017. Jakarta.

Kementerian PPN/ Bappenas. PEDOMAN PELAKSANAAN INTERVENSI PENURUNAN STUNTING TERINTEGRASI DI KABUPATEN/ KOTA. Rencana Aksi Nasional dalam Rangka Penurunan Stunting: Rembuk Stunting 1–51 (2018).

Syafei, Abdullah. (2010). Gambaran Pelaksanaan Sistem Surveilans Gizi Masyarakat di Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Jakarta. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

World Health Organization (2000) Classification of Severity of Malnutrition in a Community for Children Under 5 Years of Age from ‘The Management of Nutrition in Major Emergencies’. Genewa.

 

 









Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH || Amsal dalam Al-Qur’an

MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN LINGKUNGAN “ PELAKSANAAN SURVEILANS PENGAWASAN AIR BERSIH DAN LIMBAH CAIR DI RUMAH SAKIT UMUM HIDAYAH PURWOKERTO”

MAKALAH || Manusia, Moralitas, dan Hukum