MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT SURVEILANS GIZI "PEMANTAUAN STATUS GIZI BALITA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2017"
MAKALAH SURVEILANS KESEHATAN
MASYARAKAT
SURVEILANS GIZI
PEMANTAUAN STATUS GIZI BALITA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2017
DAFTAR ISI
2.1 Faktor Penyebab Masalah Gizi
2.2 Indikator Masalah Gizi dan
Program Gizi
2.3 Demografi Provinsi Jawa Timur
tahun 2017
2.3.1 Kondisi Geografis dan Administrasi
2.4 Masalah Gizi di Provinsi Jawa
Timur Tahun 2017
3.1 Tahap Pengumpulan Data
3.2.1 Gambaran Umum Status Gizi Balita dan Cakupan Program Gizi di Jawa
Timur
3.2.2 Cakupan Kegiatan Inisiasi Menyusui Dini Tiap Kabupaten/Kota Jawa
Timur
3.2.3 Cakupan Kegiatan ASI Eksklusif Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur
3.2.4 Cakupan Pemberian Vitamin A Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur
3.2.5 Cakupan Pemberian Makanan Tambahan untuk Balita Kurus Tiap
Kabupaten/Kota Jawa Timur
3.2.6 Cakupan Pemberian Tablet Tambah Darah untuk Ibu Hamil Tiap
Kabupaten/Kota Jawa Timur
3.3.1 Perbandingan Cakupan Program Gizi Jawa Timur dengan Target Nasional
3.3.2 Perbandingan Cakupan Program
Gizi Antar Kabupaten/Kota di Jawa Timur
3.3.3 Hubungan Antara Kinerja
Program Gizi dengan Permasalahan Gizi
3.6 Peran Sarjana Kesehatan
Masyarakat dalam Surveilans
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Status gizi adalah suatu ukuran
mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang
dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh (Almatsier, 2010). Cara
menentukan status gizi seseorang atau kelompok yaitu dengan melakukan penilaian
status gizi baik secara langsung yaitu dengan antropometri, klinis, biokimia
dan biofisik dan yang tidak langsung yaitu dengan survei konsumsi makanan,
statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2012). Status gizi balita
merupakan salah satu indikator kesehatan dalam pencapaian keberhasilan
pencapaian MDGs nomor 4 terkait mengurangi angka kematian anak. Lembar Fakta
2013 terkait pengurangan angka kematian anak menyebutkan bahwa pneumonia,
komplikasi kelahiran prematur, diare, komplikasi terkait intrapartum dan
malaria merupakan pembunuh pertama. Sementara kekurangan gizi memberikan
kontribusi sampai 45 persen dari seluruh kematian balita (United Nations,
2013). Menurut hasil Riskesdas 2018, sebesar 30.8% balita Indonesia termasuk
kategori pendek dan sangat pendek, dengan persentase tertinggi juga di Provinsi
Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Prevalensi balita pendek dan sangat
pendek di Yogyakarta sebanyak 13.86%. Kulon Progo merupakan kabupaten dengan
prevalensi stunting terbanyak kedua setelah kabupaten Sleman, yaitu sebanyak
16.38%.
Menurut World Health Organization
(2000), prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika
prevalensinya 20% atau lebih. Karenanya persentase balita pendek di Indonesia
masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi.
Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia
juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%),
Thailand (16%) dan Singapura (4%)(UNSD, 2014). Global Nutrition Report tahun 2014. menunjukkan Indonesia termasuk
dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita.
Pos pelayanan terpadu (posyandu)
merupakan forum komunikasi alih teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat
oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk
pengembangan sumber daya manusia sejak dini (Effendi,1998). Posyandu saat ini
tetap merupakan sarana penting di lingkungan masyarakat untuk mencapai keluarga
sadar gizi. Posyandu adalah salah satu kegiatan UPGK (Upaya Perbaikan Gizi dan
keluarga). Juga salah satu program desa yang paling melibatkan banyak kader.
Pelaksanaan posyandu dilakukan oleh kader posyandu. Kader posyandu sebagai
mitra dalam mewujudkan program-program pemerintah berasal dan dipilih
masyarakat (Mantra, 1997). Pemantauan panjang/tinggi badan balita oleh kader
posyandu sudah selayaknya juga dilakukan secara rutin seperti halnya pengukuran
berat badan, sehingga kejadian stunting ataupun terjadinya penyakit tertentu
dapat diketahui secara dini dapat diberikan saran dan tindak lanjut. Kegiatan
antropometri pada balita sangat memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang
khusus. Keterampilan dan pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar/pelatihan.
Selama ini pengukuran tinggi/ panjang badan belum dilakukan secara rutin di
Posyandu/ Puskesmas, sedangkan variabel tinggi termasuk menentukan betapa
pentingnya penilaian terhadap balita pendek dan terjadinya kejadian penyakit
tertentu. Pertimbangan petugas belum mampu melakukan pengukuran tinggi/Panjang
tampaknya tidak dapat dijadikan alasan. Sebab kesalahan dalam pengukuran dan
perencanaan pengukuran pertumbuhan balita adalah umum (WHO, 2008).
Makalah
kelompok kami membahas tentang Pemantauan Status Gizi Balita Provinsi Jawa
Timur Tahun 2017, hasil perkembangan surveilans gizi balita di lingkup kerja
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 yang berdasarkan beberapa
indikator program gizi, serta sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Surveilans
Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk tahap pengumpulan
data Hasil Pemantauan Status Gizi?
2. Bagaimana model penyajian dan
pengolahan data Hasil Pemantauan Status Gizi untuk Provinsi Jawa Timur pada
tahun 2017?
3. Apa saja hasil analisis data yang
dapat dihasilkan?
4. Bagaimana bentuk tahap diseminasi
yang dilakukan?
5. Bagaimana bentuk rekomendasi yang
dapat diberikan untuk mengatasi kesenjangan cakupan program gizi tersebut?
6. Bagaimana peranan tenaga Kesehatan
Masyarakat dalam penanganan pemantauan status gizi balita di Jawa Timur ?
1.3
Tujuan Makalah
- Untuk menjelaskan bentuk
pengumpulan data Hasil Pemantauan Status Gizi
- Untuk menyajikan model
penyajian dan pengolahan data Hasil Pemantauan Status Gizi untuk Provinsi
Jawa Timur pada tahun 2017
- Untuk menjelaskan hasil
analisis data yang dapat dihasilkan
- Untuk menjelaskan bentuk tahap
diseminasi yang dilakukan
- Untuk memberikan bentuk
rekomendasi yang dapat diberikan untuk mengatasi kesenjangan cakupan
program gizi tersebut
- Untuk menjelaskan mengenai
fungsi peranan tenaga ahli kesehatan masyarakat dalam fokus penanganan
permasalahan gizi di Jawa Timur
1.4 Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan dan pengetahuan
tentang permasalahan gizi di Jawa Timur berdasarkan akurasi data yang kami
sampaikan
2. Untuk mengetahui secara presisi
penyebab utama dari permasalahan gizi tersebut
3. Diketahuinya terobosan program yang
akan berimplementasi pada kebijakan yang mengacu pada penanganan masalah gizi di
Jawa Timur
4. Menambah pengetahuan seputar peranan
dan fungsi secara langsung tenaga ahli kesehatan masyarakat dalam fokus
permasalahan gizi di Jawa Timur.
1.5 Metode Penelitian
Pada makalah yang membahas
pemantauan status gizi balita di Provinsi Jawa Timur Tahun 2017 ini kami
menggunakan data sekunder dari Hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2017 dan 2016
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta Studi
literatur dari berbagai sumber lain telah kami cantumkan pada bagian daftar pustaka.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Faktor Penyebab Masalah Gizi
Penyebab masalah gizi balita yang
terjadi disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor langsung dan tidak langsung.
Faktor langsung meliputi pola asupan pangan yang tidak seimbang dan adanya
infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung meliputi persedian pangan, pola asuh,
sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan.
- Faktor
Langsung
a.
Pola asupan pangan
Seiring dengan pertumbuhan balita
dan umur balita, maka kebutuhan konsumsi dari balita pun juga bertambah.
Konsumsi ini dipengaruhi oleh jenis pangan, cara pengolahan, distribusi dan
kebiasaan pangan dari keluarga. Asupan energi dan protein sangatlah penting dalam
pertumbuhan dan metabolisme terutama pada saat 1000 HPK. Apabila balita
kekurangan asupan sumber energi utama seperti karbohidrat dan lemak, maka tubuh
akan menggunakan protein sebagai sumber energinya. Hal ini sangat berbahaya,
karena protein berfungsi untuk zat pembangun, sehingga menyebabkan gangguan
pertumbuhan. Jika dibiarkan dalam jangka waktu lama akan berpotensi terjadi
stunting.
b. Penyakit Infeksi
Selain pola makan dari seorang
balita, penyebab langsung masalah gizi pada balita adalah adanya penyakit
infeksi. Terdapat interaksi antara pola makan balita dengan penyakit infeksi.
Apabila balita tidak mendapat asupan yang baik, balita akan mengalami penurunan
berat badan, pertumbuhan lambat, dan memiliki daya tahan tubuh yang kurang
baik, sehingga resiko untuk terserang penyakit infeksi akan meningkat. Jika
dibiarkan terus menerus penyakit infeksi akan semakin parah dan dapat menyebab
malabsorpsi serta nafsu makan makan terus menurun.
- Faktor
Tidak Langsung
a.
Aksesibilitas/persediaan pangan
Persediaan/ketahanan pangan ini
sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dari orang tua balita. Banyaknya
anggota keluarga serta jarak paritas juga dapat mempengaruhi ketahan pangan.
Semakin banyak anggota keluarga harus dibarengi oleh kondisi ekonomi yang baik.
Apabila kondisi ekonomi tidak sesuai akan beresiko pada kurangnya asupan pangan
untuk keluarga termasuk balita. Jarak kehamilan yang terlalu padat dapat
mempengaruhi pemberian ASI oleh ibu kepada anak. Yang mana pemberian ASI
eksklusif ini sangat penting untuk menurunkan resiko penyakit infeksi dan
kekurangan gizi.
b. Pola asuh
Pola asuh balita sangat penting
karena dapat mempengaruhi tumbuh kembang dari balita. Pola asuh ini dipengaruhi
oleh pengetahuan dan pendidikan orang tua terutama ibu balita mengenai gizi
balita. Semakin tinggi pengetahuan
seorang ibu tentang gizi balita, maka semakin kecil resiko balita mengalami
masalah gizi.
c.
Sanitasi Lingkungan
Ketersediaan air bersih sangatlah
penting. Sanitasi yang bersih, cukup dan memadai dapat menurunkan resiko untuk
terjangkit penyakit infeksi.
d. Pelayanan Kesehatan
Ketersediaan pelayanan kesehatan
dasar yang memadai sangatlah penting.
Kesulitan akses pelayanan kesehatan baik karena jarak antara rumah
dengan pelayanan kesehatan yang jauh maupun karena ketidakmampuan membayar
layanan dapat berdampak pada status gizi balita.
Dari 2 faktor di atas didapat bahwa
faktor mendasar dari masalah gizi ini bukan hanya mencakup aspek kesehatan,
melainkan kondisi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kependudukan, dan
politik. Oleh karena itu, penangannya tidak cukup diarahkan kepada gangguan
gizi dan kesehatan saja. (Handayani, 2017)
2.2
Indikator Masalah Gizi dan Program Gizi
2.2.1 Indikator masalah
gizi
Indikator masalah gizi adalah
indikator yang digunakan untuk menilai seberapa besar masalah gizi yang terjadi
di masyarakat dalam suatu wilayah tertentu. Indikator masalah gizi terdiri
atas:
- Persentase
Balita Berat Badan Kurang (Underweight)
Berat Badan Kurang (Underweight)
merupakan masalah gizi yang bersifat umum dapat disebabkan karena masalah gizi
kronis maupun akut. Underweight
adalah kegagalan bayi untuk mencapai berat badan ideal, yang kemudian juga bisa
mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan, sesuai usianya, dalam jangka waktu
tertentu. Gangguan ini bisa disebabkan karena balita kekurangan energi dan
zat-zat gizi yang dibutuhkan sesuai usianya.
Berat badan kurang adalah kategori status gizi berdasarkan
indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) dengan Z-score kurang dari -2 SD. Sedangkan persentase balita Berat Badan
Kurang adalah jumlah balita dengan kategori status gizi Berat Badan Kurang
terhadap jumlah seluruh balita yang ditimbang dikali 100%. Berat badan kurang
dinilai bukan masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensi dibawah 10%,
dengan rumus untuk menghitung persentase balita underweight yaitu jumlah balita underweight
/ jumlah balita ditimbang kemudian dikali 100%.
Frekuensi pelaporan untuk balita dengan underweight dilakukan setiap tahun di
fasilitas kesehatan setempat. Penimbangan berat badan balita dilakukan pada
seluruh sasaran balita di wilayah kerja puskesmas baik di posyandu maupun di
fasilitas pendidikan anak usia dini. Kemudian laporan hasil penimbangan dicatat
dan dientry oleh puskesmas untuk selanjutnya ditentukan kategori status gizi
dan persentase jumlah balita underweight.
- Persentase
Balita Pendek (Stunting)
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan
oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan
gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek
(kerdil) dari standar usianya. Balita Pendek merupakan masalah gizi yang
bersifat kronis yang disebabkan oleh banyak faktor baik dari masalah kesehatan
maupun di luar kesehatan dan berlangsung lama. Kondisi ini dapat berdampak pada
gangguan kognitif dan risiko menderita penyakit degeneratif pada usia dewasa.
Definisi pendek disini adalah kategori status gizi berdasarkan indeks Tinggi
Badan menurut Umur (TB/U) dengan z-score kurang dari -2 SD.
Prevalensi balita pendek dinilai bukan masalah kesehatan
masyarakat apabila prevalensinya ada dibawah 20%. Persentase balita pendek
adalah jumlah balita dengan kategori status gizi pendek terhadap jumlah seluruh
balita diukur dikali 100%. Kemudian untuk frekuensi pelaporan dilakukan setiap
tahun di fasilitas kesehatan setempat. Pengukuran dilakukan pada seluruh
sasaran balita di wilayah kerja puskesmas baik di Posyandu maupun di PAUD
daerah setempat. Laporan hasil pengukuran dicatat dan di entry oleh puskesmas
untuk selanjutnya ditentukan kategori status gizi dan persentase jumlah balita pendek dalam suatu
wilayah.
- Persentase Balita Gizi Kurang (Wasting)
Gizi kurang merupakan masalah gizi
yang bersifat akut terutama disebabkan oleh asupan yang kurang atau penyakit
infeksi. Gizi kurang berdampak pada gangguan pertumbuhan pada anak sehingga
anak yang
mengalami kondisi ini umumnya memiliki proporsi tubuh yang kurang ideal.
Pasalnya, kondisi ini membuat berat badan tidak sepadan (kurus) dengan tinggi
badan untuk anak di usia tertentu. Gizi kurang adalah kategori status gizi
berdasarkan indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) dengan z-score
kurang dari -2 SD
Prevalensi gizi kurang pada anak dinilai bukan masalah kesehatan
masyarakat apabila prevalensi dibawah 5%. Persentase balita gizi kurang adalah
jumlah balita dengan kategori status gizi kurang terhadap jumlah seluruh balita
diukur dikali 100%. Frekuensi pelaporan dilakukan setiap tahun dengan melakukan
penimbangan dan pengukuran pada seluruh sasaran balita di wilayah kerja
Puskesmas baik di Posyandu maupun di fasilitas pendidikan anak usia dini.
Kemudian laporan hasil penimbangan dan pengukuran dicatat dan di entry oleh
Puskesmas untuk selanjutnya ditentukan kategori status gizinya dan persentase
jumlah balita gizi kurang dalam suatu wilayah.
2.2.2 Indikator program
gizi
Indikator kinerja gizi adalah
indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja program gizi, yang
meliputi:
- Cakupan
bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
mengamanatkan bahwa setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI eksklusif
kepada bayi yang dilahirkannya selama enam bulan pertama agar mencapai
pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal, selanjutnya, mereka harus
memberi makanan pendamping yang bergizi dan terus menyusui hingga bayi berusia
dua tahun atau lebih. Definisi dari bayi usia 6 bulan yang mendapat ASI
Eksklusif adalah seluruh bayi yang telah
mencapai umur 5 bulan 29 hari diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain
kecuali obat, vitamin dan mineral sejak lahir.
Frekuensi pelaporan data
dilakukan setiap bulan dengan angka cakupan tahunan diperoleh melalui
penjumlahan bulan Januari sampai Desember (kumulatif). Berikut adalah beberapa
mekanisme pelaporan data:
a.
Mencatat hasil recall ASI Eksklusif ke dalam KMS setiap bulan.
b. Mencatat KMS
masing-masing balita ke dalam register posyandu.
c.
Merekap jumlah bayi yang mencapai usia 6 bulan 0
hari atau lebih dengan kategori pemberian ASI (ASI Eksklusif/Tidak ASI
Eksklusif).
d. Menghitung persentase
bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif. Dengan ketentuan persentase bayi usia
6 bulan mendapat ASI Eksklusif adalah jumlah bayi mencapai usia 5 bulan 29 hari
mendapat ASI Eksklusif 6 bulan terhadap jumlah seluruh bayi mencapai usia 5
bulan 29 hari dikali 100%. Kinerja akan dinilai baik apabila persentase bayi
usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif sesuai dengan target yang sudah ditetapkan
oleh pemerintah daerah setempat.
- Cakupan
bayi baru lahir yang mendapat IMD
Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) adalah proses menyusu dimulai segera setelah bayi lahir. IMD dilakukan
dengan cara kontak kulit ke kulit antara bayi dengan ibunya segera setelah
lahir dan berlangsung minimal 1 (satu) jam dengan tujuan untuk melindungi bayi
yang baru lahir dari tertular infeksi dan mengurangi angka kematian bayi baru
lahir. Indikator IMD merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan
keberhasilan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil. Kinerja suatu pelayanan
kesehatan dalam suatu daerah dinilai baik apabila persentase bayi baru lahir
yang mendapat IMD sesuai dengan target yang sudah ditentukan sebelumnya. Cara
menghitung persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD adalah jumlah bayi baru
lahir hidup yang mendapat IMD terhadap jumlah bayi baru lahir hidup dikali
100%.
Data yang diambil dapat
bersumber dari buku KIA, kohort bayi, laporan IMD RS, Puskesmas rawat inap atau
bidan praktik mandiri. Pelaporan data bayi yang mendapat IMD dilaporkan setiap
bulan dengan mekanisme pelaporan seperti berikut:
a.
Mencatat seluruh bayi baru lahir dan menentukan
kategori IMD atau tidak IMD ke dalam kohort bayi.
b. Merekap jumlah bayi baru
lahir dan kategori IMD.
c.
Menghitung persentase bayi baru lahir hidup
melakukan IMD terhadap jumlah bayi baru lahir hidup yang ada.
- Cakupan
ibu hamil yang mendapatkan TTD selama masa kehamilan
Salah satu intervensi
yang dilakukan untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil adalah pemberian
TTD selama masa kehamilan. Ibu hamil disarankan untuk mengonsumsi TTD sejak
awal konsepsi sampai akhir trimester III. TTD adalah tablet yang sekurangnya
mengandung zat besi setara dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat.
Dengan adanya indikator ini diharapkan pemerintah dapat melakukan evaluasi
kinerja apakah TTD sudah diberikan kepada seluruh sasaran dengan melihat
persentase pemberian TTD kepada ibu hamil. Persentase ibu hamil mendapat 90 TTD
adalah jumlah ibu hamil yang selama kehamilan mendapat minimal 90 TTD terhadap
jumlah sasaran ibu hamil dikali 100%.
Data yang sudah
diperoleh kemudian akan dilaporkan setiap bulan, angka cakupan tahunan
diperoleh melalui penjumlahan bulan Januari sampai Desember (kumulatif) dengan
mekanisme seperti berikut:
a.
Mencatat jumlah TTD yang diberikan kepada ibu
setiap kali melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan ke dalam kohort.
b. Merekap jumlah ibu hamil
dengan usia kehamilan akhir trimester III.
c.
Merekap jumlah ibu hamil dengan usia kehamilan
akhir trimester III yang sudah mendapatkan TTD minimal 90 tablet.
d. Menghitung persentase
ibu hamil yang mendapat TTD minimal 90 tablet.
- Cakupan
balita kurus yang mendapat PMT
Balita kurus adalah anak usia 6 bulan 0 hari sampai dengan
59 bulan 29 hari dengan status gizi kurus (BB/PB atau BB/TB -3 SD sampai dengan
kurang dari -2 SD). Berdasarkan data Survei Diet Total (SDT) tahun 2014
diketahui bahwa lebih dari separuh balita (55,7%) mempunyai asupan energi yang
kurang dari Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Pemberian Makanan
Tambahan (PMT) adalah kegiatan pemberian makanan kepada balita dalam bentuk
kudapan yang aman dan bermutu serta kegiatan pendukung lainnya dengan
memperhatikan aspek mutu dan keamanan pangan serta mengandung nilai gizi yang
sesuai dengan kebutuhan balita. Dengan adanya pemberian makanan tambahan
khususnya bagi kelompok rawan merupakan salah satu strategi suplementasi dalam
mengatasi masalah gizi yang ada di Indonesia.
Persentase balita kurus mendapat makanan tambahan adalah
jumlah balita kurus yang mendapat makanan tambahan terhadap jumlah balita kurus
dikali 100%. Kinerja dianggap baik apabila persentase balita kurus yang
mendapat PMT sesuai dengan target yang sudah ditentukan oleh pemerintah
setempat. Pelaporan data dilakukan setiap bulan dengan mekanisme pelaporan
seperti berikut:
a.
Melakukan
pemantauan pertumbuhan dan mencatat hasil pengukuran ke dalam register.
b. Menentukan kategori status gizi berdasarkan indeks BB/TB
(Sangat Kurus/Kurus/Normal/Gemuk).
c.
Menghitung
jumlah balita kurus.
d. Merekap pemberian makanan tambahan pada balita kurus.
e.
Menghitung
persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan.
- Cakupan
balita yang mendapat kapsul vitamin A
Umumnya, asupan vitamin
A yang didapat dari makanan sehari-hari masih kurang padahal vitamin A adalah
zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Apabila tubuh kekurangan vitamin
A (KVA) dalam waktu yang lama, maka dapat menimbulkan berbagai masalah
kesehatan yang berdampak pada meningkatnya risiko kesakitan dan kematian.
Vitamin A juga berperan penting kepada bayi dan anak balita karena dengan
mempertahankan asupan vitamin A dalam bayi dan balita, maka dapat mengurangi
masalah kesehatan masyarakat seperti cacingan dan campak. Oleh karena itu
pemerintah melakukan upaya dalam mencegah KVA bagi bayi dan balita dengan
pendistribusian kapsul vitamin A setiap 6 bulan sekali yaitu bulan Februari dan
Agustus. Kapsul vitamin A adalah kapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi,
yaitu 100.000 Satuan Internasional (SI) untuk bayi umur 6-11 bulan dan 200.000
SI untuk anak balita 12- 59 bulan.
Persentase balita
mendapat kapsul vitamin A adalah jumlah
bayi 6-11 bulan ditambah jumlah balita 12-59 bulan yang mendapat 1 (satu)
kapsul vitamin A pada periode 6 (enam) bulan terhadap jumlah seluruh balita
6-59 bulan dikali 100%. Kinerja dinilai baik apabila persentase balita 6-59
bulan yang mendapat vitamin A sesuai dengan target yang sudah ditentukan
sebelumnya. Kemudian sumber data dalam pelaporan ini adalah laporan pemberian
kapsul vitamin A untuk balita pada bulan Februari dan Agustus, serta laporan
LB3 SP2TP. Sedangkan pelaporan data dilakukan setiap 6 bulan (bulan Februari
dan Agustus). Data tahunan menggabungkan data cakupan bayi umur 6 – 11 bulan
yang mendapat vitamin A di bulan Februari dan Agustus, sedangkan data cakupan
balita umur 12 – 59 bulan yang mendapat vitamin A menggunakan data bulan
Agustus. Berikut merupakan mekanisme pelaporan data:
a.
Mencatat balita yang mendapat Vitamin A.
b. Merekap balita yang
menerima Vitamin A berdasarkan kelompok umur.
c.
Menghitung persentase balita yang mendapat
vitamin.
2.3
Demografi Provinsi Jawa Timur tahun 2017
2.3.1 Kondisi Geografis
dan Administrasi
Provinsi Jawa Timur terletak di
bagian timur Pulau Jawa yang memiliki luas wilayah daratan 47.959 km2 (sumber
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur).
Jawa Timur berada pada 111º0’ hingga 114º4’ Bujur Timur (BT) dan 7º12’
hingga 8º48’ Lintang Selatan (LS) dengan batas wilayah sebagai berikut :
●
Sebelah Utara : Laut Jawa
●
Sebelah Selatan : Samudera Hindia
●
Sebelah Timur: Selat Bali
●
Sebelah Barat : Provinsi Jawa Tengah
Provinsi Jawa Timur memiliki 229
pulau, yang terdiri dari 162 pulau bernama dan 67 pulau tidak bernama, dengan
panjang pantai sekitar 2.833,85 km. Pulau Madura merupakan pulau terbesar yang
saat ini sudah terhubung dengan wilayah daratan Jawa Timur melalui jembatan
‘Suramadu’. Di sebelah timur Pulau Madura terdapat gugusan pulau-pulau, yang
paling timur adalah Kepulauan Kangean dan yang paling utara adalah Kepulauan
Masalembu. Di bagian selatan Provinsi Jawa Timur, terdapat 2 (dua) pulau kecil,
yakni Nusa Barung dan Pulau Sempu. Sedangkan di bagian utara terdapat Pulau
Bawean yang berada 150 km sebelah utara Pulau Jawa. Kabupaten Banyuwangi
memiliki wilayah paling luas di antara kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa
Timur. Secara administratif, Provinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten, 9
kota, 664 kecamatan dan 8.501 desa/kelurahan.
2.3.2 Kependudukan
Jumlah
penduduk Provinsi Jawa Timur tahun 2017 sebesar 39.292.972 jiwa dengan rincian
jumlah penduduk laki-laki 19.397.878 jiwa dan penduduk perempuan 19.895.094
jiwa. Daerah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Surabaya (2.874.699
jiwa), sedangkan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Mojokerto (127.279
jiwa). Kepadatan penduduk di kota relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kabupaten. Kota Surabaya memiliki kepadatan penduduk tertinggi dengan 8.808,10
km2 /jiwa yang artinya 1km2 dihuni oleh 8.809 jiwa.
Dari grafik piramida di atas,
komposisi penduduk terbesar adalah kelompok umur 15-19 tahun dengan jumlah
penduduk laki-laki 1.571.368 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 1.506.603 jiwa.
Sedangkan komposisi penduduk paling sedikit adalah kelompok umur 70-64 tahun
dengan jumlah penduduk laki-laki 381.349 jiwa dan jumlah penduduk perempuan
474.537 jiwa. Indikator penting terkait distribusi penduduk menurut umur yang
sering digunakan untuk mengetahui produktivitas penduduk yaitu Angka Beban
Tanggungan atau Dependency Ratio. Angka Beban Tanggungan adalah angka yang
menyatakan perbandingan antara banyaknya orang berumur tidak produktif (belum
produktif/umur di bawah 15 tahun dan tidak produktif lagi/umur 65 tahun ke
atas) dengan yang berumur produktif (umur 15–64 tahun). Angka ini dapat
digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi
suatu negara. Semakin tinggi persentase dependency ratio menunjukkan semakin
tinggi beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai
hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Sedangkan
persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya
beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang
belum produktif dan tidak produktif lagi.
Angka
Beban Tanggungan penduduk Provinsi Jawa Timur pada tahun 2016 sebesar 44. Hal
ini berarti bahwa 100 penduduk Provinsi Jawa Timur yang produktif, di samping
menanggung dirinya sendiri, juga menanggung 44 orang yang tidak produktif.
2.4
Masalah Gizi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2017
Kekurangan gizi pada anak balita
merupakan suatu kondisi yang mencerminkan keadaan pertumbuhan anak balita, yang
diukur berdasarkan berat badan anak dan tinggi badan anak yang dikaitkan dengan
umur, seperti indeks BB/U (berat badan berdasarkan umur), TB/U (tinggi badan
berdasarkan umur) dan BB/TB (berat badan berdasarkan tinggi badan). Berikut
adalah data-data terkait gambaran umum mengenai masalah gizi Jawa Timur pada
tahun 2017.
Stunting merupakan klasifikasi dari indikator status gizi TB/U
(Tinggi Badan/Umur). Anak yang dikatakan stunting
adalah ia yang memiliki tinggi badan tidak sesuai dengan umurnya, biasanya
ia akan lebih pendek daripada anak seusianya. Stunting pada anak balita
adalah suatu keadaan dimana anak balita mengalami pendek atau sangat pendek
(pendek bila TB/U antara -3 SD sampai dengan -2 SD dan sangat pendek bila TB/U
≤ -3 SD).
Berdasarkan grafik diatas,
prevalensi stunting di Provinsi Jawa
Timur adalah 7.9% balita sangat pendek, 18.8% balita pendek, dan 73.2% balita
normal. Persentase stunting (sangat
pendek+pendek) pada kelompok balita di Provinsi Jawa Timur menunjukkan angka
26.7%. Angka ini tentu tidak bisa dikatakan rendah, walaupun prevalensinya
masih lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase stunting di Indonesia/nasional dengan angka 29,6%. Underweight merupakan klasifikasi dari
status gizi BB/U (Berat Badan/Umur). BB/U menunjukkan pertumbuhan berat badan
anak terhadap umurnya, apakah sesuai atau tidak. Jika berat badan anak di bawah
rata-rata anak seusianya, maka dikatakan anak tersebut underweight. Underweight pada anak balita adalah suatu keadaan dimana anak
balita mengalami gizi kurang atau gizi buruk (gizi kurang bila BB/U antara -3
SD sampai dengan -2 SD dan gizi buruk BB/U ≤ 3SD).
Berdasarkan grafik diatas, di
Provinsi Jawa Timur terdapat 2,9% balita gizi buruk, 12,6% balita gizi kurang,
82,3% balita gizi baik, dan 2,2% balita gizi lebih. Persentase underweight (gizi buruk + gizi kurang)
pada kelompok balita di Provinsi Jawa Timur adalah sebesar 15,5%. Angka ini
masih lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase underweight pada kelompok balita di Indonesia/nasional, yaitu
sebesar 17,8%, yang mana berarti Provinsi Jawa Timur masih berada pada
persentase dibawah rata-rata.
Wasting merupakan salah satu klasifikasi dari indikator status gizi
BB/TB (Berat Badan/Tinggi Badan). Anak yang dikatakan kurus adalah mereka yang
memiliki berat badan rendah yang tidak sesuai terhadap tinggi badan yang
dimilikinya. Wasting adalah suatu keadaan dimana anak balita mengalami
kurus dan sangat kurus (kurus bila BB/TB antara -3 SD sampai dengan -2 SD dan
sangat kurus bila BB/TB ≤ -3 SD).
Berdasarkan grafik wasting diatas, di Provinsi Jawa Timur
terdapat 1.6% balita sangat kurus, 5.3% balita kurus, 88.1% balita normal, dan
5% balita gemuk. Persentase wasting (sangat
kurus+kurus) pada kelompok balita di Provinsi Jawa Timur adalah 6.9%. Angka ini
masih lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase angka wasting Indonesia/nasional di angka
9,5%.
Berdasarkan grafik stunting, underweight, dan wasting, Provinsi Jawa Timur memiliki
persentase indikator status gizi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
persentase indikator status gizi Indonesia/nasional. Namun, hal ini bukan
berarti Provinsi Jawa Timur lepas tanggung jawab dalam penanganan stunting, underweight, dan wasting. Berdasarkan data dari Bappenas,
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang menjadi wilayah
prioritas penanganan permasalahan stunting
selama tahun 2018-2019.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tahap Pengumpulan Data
Data
yang digunakan merupakan data sekunder dari Hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2017
sebagai data utama dan juga menggunakan data Pemantauan Status Gizi tahun 2016
sebagai bentuk perbandingan. Hasil Pemantauan Status Gizi dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Selain itu, digunakan juga beberapa data yang
berkaitan dengan gizi pada beberapa laporan kesehatan yang telah disusun oleh
pemerintah pusat.
Teknik
pengumpulan data PSG 2017 dan 2016 menggunakan metode wawancara dengan
menggunakan kuesioner, pengukuran antropometri, serta pemeriksaan garam.
3.2 Tahap
Penyajian Data
3.2.1 Gambaran
Umum Status Gizi Balita dan Cakupan Program Gizi di Jawa Timur
Laporan Hasil Pemantauan Status Gizi
tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan angka
kejadian masalah kekurangan gizi pada balitaTimur serta cakupan program gizi
yang berkaitan dengan masalah gizi tersebut. Tabel 3.1 menunjukkan rata-rata
status gizi balita di seluruh kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur berada di
tingkat akut-kronis, yang berarti masalah gizi balita di Provinsi Jawa Timur
pada tahun 2017 adalah masalah gizi yang bersifat akut dan kronis. Sifat
indikator akut dan kronis tersebut merujuk pada rata-rata prevalensi balita
pendek (stunting) Jawa Timur yang memiliki persentase 26,7% (di
atas ≥ 20%) serta rata-rata prevalensi balita kurus (wasting)
dengan persentase 6,9% (di atas ≥ 5%) (Modifikasi WHO (1997) dalam (PSG, 2017).
Ditinjau dari masing-masing kondisi
status gizi, Jawa Timur memiliki rata-rata prevalensi balita umderweight (gizi buruk/gizi kurang)
sebesar 15,5%, balita stunting (pendek
dan sangat pendek) sebesar 26,7%, balita wasting
(kurus dan sangat kurus) sebesar 6,9%, serta balita gemuk sebesar 5%.
Seluruh prevalensi balita kurang gizi tersebut termasuk klasifikasi “kurang”
menurut klasifikasi WHO tentang masalah kesehatan masyarakat untuk prevalensi
kurang gizi (World Health Organization, 2000).
Sebanyak 18 kabupaten/kota di Jawa
Timur memiliki angka prevalensi balita underweight
di atas rata-rata prevalensi wilayah (15,5%). Sebanyak 5 kabupaten/kota
memiliki angka prevalensi tertinggi di atas 20% (kategori “buruk” dalam
klasifikasi WHO), diantaranya Kabupaten Bangkalan (27,9%), Kabupaten Pamekasan
(24,2%), Kota Pasuruan (21,6%), Kabupaten Bondowoso (21,1%), serta Kota
Probolinggo (20,4%). Untuk kategori balita stunting,
sebanyak 15 wilayah memiliki prevalensi stunting
di atas rata-rata Jawa Timur (26,7%). Kabupaten Bangkalan (43%) dan
Kabupaten Pamekasan (42,5%) adalah dua wilayah dengan angka prevalensi
tertinggi di atas 40% dan termasuk wilayah “sangat buruk” dalam klasifikasi WHO
untuk masalah stunting. Untuk
kategori balita wasting, sebanyak 19
kabupaten/kota memiliki prevalensi di atas rata-rata prevalensi Jawa Timur
(6,9%). Kabupaten Bangkalan memiliki angka tertinggi untuk prevalensi wasting¸ yaitu sebanyak 12%. Selain
Bangkalan, Kota Pasuruan (11,4%), Kabupaten Mojokerto (10,7%), dan Kabupaten
Gresik (10%) juga masuk sebagai empat wilayah dengan prevalensi tertinggi di
atas 10% dan terklasifikasi wilayah “buruk” masalah wasting.
Kabupaten
/ Kota |
Status
Gizi Balita |
Karakteristik
Masalah Gizi |
IMD |
ASI
Eksklusif |
Vitamin
A Balita usia 6-59 bulan |
Balita
Kurus dapat PMT |
Bumil
dapat TTD |
||||
Underweight |
Stunting |
Wasting |
IMD
≥ 1 jam |
IMD
< 1 jam |
TTD
Bumil ≥ 90 tablet |
TTD
Bumil < 90 tablet |
|||||
Pacitan |
13,4 |
21,1 |
6,4 |
Akut-Kronis |
15,0 |
51,1 |
45,7 |
94,9 |
100,0 |
44,4 |
52,8 |
Ponorogo |
15,1 |
25,1 |
9,4 |
Akut-Kronis |
5,8 |
59,4 |
49,5 |
98,0 |
91,6 |
27,0 |
67,8 |
Trenggalek |
12,8 |
24,3 |
5,8 |
Akut-Kronis |
7,3 |
48,8 |
39,5 |
96,6 |
100,0 |
60,3 |
39,7 |
Tulungagung |
13,8 |
22,1 |
6,4 |
Akut-Kronis |
4,7 |
47,6 |
31,8 |
97,1 |
90,9 |
31,8 |
62,8 |
Blitar |
11,0 |
23,3 |
2,7 |
Kronis |
8,0 |
61,1 |
28,7 |
96,7 |
100,0 |
32,7 |
59,2 |
Kediri |
18,4 |
33,5 |
6,4 |
Akut-Kronis |
6,3 |
54,9 |
43,3 |
96,6 |
100,0 |
48,1 |
48,1 |
Malang |
8,6 |
28,3 |
3,6 |
Kronis |
12,6 |
53,3 |
42,2 |
95,5 |
100,0 |
18,3 |
69,2 |
Lumajang |
13,6 |
28,1 |
3,8 |
Kronis |
2,1 |
47,9 |
35,4 |
93,0 |
100,0 |
67,5 |
31,0 |
Jember |
16,8 |
30,9 |
8,5 |
Akut-Kronis |
9,0 |
58,4 |
19,8 |
94,0 |
88,2 |
27,2 |
53,1 |
Banyuwangi |
14,3 |
26,2 |
3,7 |
Kronis |
8,2 |
50,9 |
28,2 |
96,0 |
100,0 |
39,7 |
53,2 |
Bondowoso |
21,1 |
38,3 |
6,2 |
Akut-Kronis |
12,2 |
60,5 |
50,8 |
94,5 |
81,8 |
81,9 |
16,9 |
Situbondo |
17,1 |
30,5 |
7,1 |
Akut-Kronis |
2,5 |
70,7 |
32,4 |
95,7 |
100,0 |
70,1 |
26,1 |
Probolinggo |
16,0 |
32,0 |
6,1 |
Akut-Kronis |
16,6 |
39,6 |
33,6 |
94,3 |
100,0 |
56,7 |
42,7 |
Pasuruan |
18,4 |
24,2 |
7,4 |
Akut-Kronis |
3,0 |
58,2 |
28,3 |
91,5 |
93,8 |
48,3 |
46,5 |
Sidoarjo |
13,5 |
19,0 |
6,8 |
Akut |
8,2 |
63,5 |
39,5 |
98,8 |
100,0 |
43,8 |
42,3 |
Mojokerto |
19,8 |
29,0 |
10,7 |
Akut-Kronis |
2,9 |
49,4 |
16,0 |
98,4 |
88,0 |
37,4 |
60,5 |
Jombang |
19,1 |
26,2 |
9,2 |
Akut-Kronis |
13,2 |
58,3 |
30,6 |
96,7 |
92,9 |
24,6 |
74,6 |
Nganjuk |
14,0 |
25,9 |
6,0 |
Akut-Kronis |
1,9 |
78,6 |
14,4 |
92,3 |
100,0 |
37,3 |
61,1 |
Madiun |
15,6 |
20,7 |
8,0 |
Akut-Kronis |
12,9 |
48,9 |
37,6 |
98,3 |
88,2 |
43,3 |
52,0 |
Magetan |
16,3 |
24,8 |
7,7 |
Akut-Kronis |
3,9 |
58,2 |
43,4 |
94,4 |
100,0 |
26,1 |
71,2 |
Ngawi |
16,4 |
26,9 |
7,6 |
Akut-Kronis |
3,0 |
49,7 |
21,4 |
99,6 |
93,3 |
17,2 |
76,7 |
Bojonegoro |
13,6 |
19,2 |
7,2 |
Akut |
2,5 |
58,6 |
51,0 |
98,3 |
100,0 |
73,9 |
25,5 |
Tuban |
19,4 |
25,3 |
4,8 |
Kronis |
4,8 |
56,5 |
34,9 |
99,2 |
81,8 |
36,4 |
60,6 |
Lamongan |
16,0 |
23,0 |
9,7 |
Akut-Kronis |
4,0 |
66,1 |
25,2 |
97,8 |
100,0 |
44,1 |
51,6 |
Gresik |
14,7 |
19,8 |
10,0 |
Akut |
3,1 |
47,6 |
39,7 |
93,7 |
94,1 |
26,9 |
68,0 |
Bangkalan |
27,9 |
43,0 |
12,0 |
Akut-Kronis |
1,3 |
66,7 |
44,9 |
94,4 |
82,6 |
50,0 |
37,2 |
Sampang |
10,7 |
26,4 |
3,7 |
Kronis |
11,8 |
62,9 |
52,3 |
97,6 |
100,0 |
41,8 |
53,8 |
Pamekasan |
24,2 |
42,5 |
9,1 |
Akut-Kronis |
15,4 |
51,0 |
42,9 |
93,5 |
95,0 |
5,1 |
89,7 |
Sumenep |
16,9 |
32,3 |
7,3 |
Akut-Kronis |
23,5 |
48,6 |
33,1 |
92,2 |
100,0 |
61,3 |
35,6 |
Kota Kediri |
13,6 |
25,6 |
6,2 |
Akut-Kronis |
|
51,0 |
15,6 |
98,3 |
90,0 |
34,2 |
61,4 |
Kota Blitar |
10,3 |
15,5 |
6,8 |
Akut |
15,3 |
55,3 |
45,0 |
95,9 |
100,0 |
62,0 |
33,1 |
Kota Malang |
14,1 |
27,4 |
8,0 |
Akut-Kronis |
2,8 |
54,5 |
29,9 |
93,9 |
94,4 |
23,1 |
59,0 |
Kota Probolinggo |
20,4 |
20,4 |
8,4 |
Akut-Kronis |
18,2 |
47,4 |
30,9 |
95,0 |
94,5 |
30,8 |
59,4 |
Kota Pasuruan |
21,6 |
33,4 |
11,4 |
Akut-Kronis |
10,4 |
48,1 |
22,7 |
96,4 |
90,0 |
41,3 |
51,1 |
Kota Mojokerto |
4,7 |
10,3 |
5,6 |
Akut |
5,8 |
49,7 |
49,2 |
97,7 |
100,0 |
51,1 |
46,0 |
Kota Madiun |
11,3 |
18,3 |
5,6 |
Akut |
10,8 |
48,2 |
27,4 |
97,8 |
100,0 |
54,0 |
37,2 |
Kota Surabaya |
13,8 |
22,8 |
7,0 |
Akut-Kronis |
5,9 |
57,8 |
41,7 |
95,6 |
93,3 |
62,8 |
32,2 |
Kota Batu |
13,9 |
35,1 |
4,2 |
Kronis |
4,2 |
55,0 |
34,9 |
95,3 |
50,0 |
9,1 |
59,8 |
JATIM |
15,5 |
26,7 |
6,9 |
Akut-Kronis |
7,6 |
56 |
34,9 |
95,8 |
94,3 |
41,6 |
51,9 |
Tabel 3.1 Data Hasil Pemantauan
Status Gizi Provinsi Jawa Timur tahun 2017
Sumber : Survei PSG tahun 2017
Secara keseluruhan, Kabupaten
Bangkalan merupakan kabupaten dengan jumlah kasus tertinggi untuk seluruh kasus
kekurangan gizi balita di Jawa Timur. Rincian prevalensi kasus kekurangan gizi
di kabupaten tersebut, diantaranya underweight
(27,9%), stunting (43%), dan wasting (12%). Oleh sebab itu, Kabupaten
Bangkalan diklasifikasikan ke dalam wilayah “akut-kronis” untuk masalah
kekurangan gizi.
Kabupaten
/ Kota |
Status
Gizi Balita |
Karakteristik
Masalah Gizi |
IMD |
ASI
Eksklusif |
Vitamin
A Balita usia 0-59 bulan |
Balita
Kurus dapat PMT |
Bumil
dapat TTD |
||||
Underweight |
Stunting |
Wasting |
IMD
≥ 1 jam |
IMD
≤ 1 jam |
≥
90 tablet |
<
90 tablet |
|||||
Pacitan |
17,9 |
29,0 |
8,1 |
Akut-Kronis |
48,6 |
14,3 |
41,0 |
92,4 |
86,7 |
66,7 |
33,3 |
Ponorogo |
17,1 |
26,3 |
11,1 |
Akut-Kronis |
48,6 |
15,2 |
43,3 |
93,6 |
94,7 |
100,0 |
0,0 |
Trenggalek |
12,8 |
22,4 |
6,1 |
Akut-Kronis |
44,2 |
11,6 |
26,5 |
90,4 |
100,0 |
71,4 |
14,3 |
Tulungagung |
20,2 |
25,8 |
9,6 |
Akut-Kronis |
43,9 |
10,3 |
32,5 |
95,8 |
100,0 |
44,4 |
55,6 |
Blitar |
9,7 |
19,7 |
6,6 |
Akut |
44,7 |
18,8 |
28,2 |
91,1 |
78,6 |
50,0 |
50,0 |
Kediri |
20,9 |
29,4 |
7,6 |
Akut-Kronis |
50,9 |
10,4 |
47,0 |
86,1 |
100,0 |
50,0 |
50,0 |
Malang |
12,5 |
22,9 |
9,1 |
Akut-Kronis |
54,9 |
12,6 |
42,4 |
92,1 |
95,7 |
30,0 |
60,0 |
Lumajang |
13,5 |
30,6 |
8,9 |
Akut-Kronis |
45,4 |
8,0 |
25,0 |
92,5 |
100,0 |
100,0 |
0,0 |
Jember |
22,8 |
39,3 |
9,9 |
Akut-Kronis |
52,5 |
15,0 |
32,3 |
88,9 |
92,3 |
42,9 |
57,1 |
Banyuwangi |
18,3 |
25,7 |
9,0 |
Akut-Kronis |
47,4 |
8,7 |
27,9 |
86,5 |
83,3 |
71,4 |
28,6 |
Bondowoso |
18,9 |
34,6 |
7,1 |
Akut-Kronis |
61,0 |
9,8 |
37,1 |
89,1 |
100,0 |
83,3 |
16,7 |
Situbondo |
21,7 |
23,0 |
16,2 |
Akut-Kronis |
50,0 |
21,3 |
38,3 |
94,6 |
85,7 |
60,0 |
40,0 |
Probolinggo |
10,2 |
25,3 |
11,5 |
Akut-Kronis |
44,7 |
29,1 |
38,2 |
96,3 |
95,5 |
100,0 |
0,0 |
Pasuruan |
21,6 |
28,8 |
10,5 |
Akut-Kronis |
54,2 |
13,7 |
32,8 |
90,9 |
100,0 |
40,0 |
60,0 |
Sidoarjo |
16,6 |
21,9 |
13,0 |
Akut-Kronis |
56,6 |
4,2 |
32,5 |
89,4 |
100,0 |
50,0 |
37,5 |
Mojokerto |
19,7 |
27,5 |
18,1 |
Akut-Kronis |
30,7 |
7,2 |
17,7 |
92,9 |
94,1 |
40,0 |
40,0 |
Jombang |
16,6 |
19,2 |
12,1 |
Akut |
64,1 |
11,5 |
35,4 |
94,1 |
86,4 |
53,8 |
46,2 |
Nganjuk |
15,0 |
22,7 |
7,8 |
Akut-Kronis |
50,8 |
27,4 |
30,9 |
84,9 |
94,4 |
62,5 |
37,5 |
Madiun |
17,5 |
26,8 |
8,9 |
Akut-Kronis |
48,3 |
7,0 |
31,8 |
94,0 |
100,0 |
16,7 |
83,3 |
Magetan |
16,0 |
22,0 |
4,5 |
Kronis |
50,3 |
8,3 |
22,3 |
92,1 |
90,0 |
44,4 |
44,4 |
Ngawi |
16,7 |
28,0 |
8,2 |
Akut-Kronis |
44,8 |
9,7 |
22,3 |
90,7 |
100,0 |
33,3 |
58,3 |
Bojonegoro |
18,1 |
30,1 |
7,4 |
Akut-Kronis |
64,2 |
8,0 |
27,2 |
95,6 |
100,0 |
72,2 |
27,8 |
Tuban |
18,6 |
28,0 |
8,1 |
Akut-Kronis |
50,9 |
14,0 |
42,1 |
85,9 |
94,4 |
18,7 |
81,2 |
Lamongan |
19,2 |
25,2 |
13,1 |
Akut-Kronis |
45,8 |
9,5 |
25,0 |
82,7 |
100,0 |
33,3 |
33,3 |
Gresik |
16,3 |
17,6 |
14,4 |
Akut |
58,7 |
6,7 |
26,2 |
91,0 |
100,0 |
41,7 |
58,3 |
Bangkalan |
23,1 |
32,1 |
13,0 |
Akut-Kronis |
56,4 |
12,2 |
20,0 |
88,5 |
76,2 |
44,4 |
44,4 |
Sampang |
25,4 |
44,3 |
10,8 |
Akut-Kronis |
56,3 |
13,2 |
55,4 |
92,4 |
100,0 |
54,5 |
36,4 |
Pamekasan |
25,0 |
33,2 |
11,4 |
Akut-Kronis |
48,3 |
12,1 |
34,0 |
88,7 |
96,3 |
23,1 |
76,9 |
Sumenep |
20,0 |
32,5 |
8,5 |
Akut-Kronis |
66,5 |
8,2 |
40,2 |
92,5 |
100,0 |
62,5 |
37,5 |
Kota Kediri |
19,6 |
26,7 |
13,2 |
Akut-Kronis |
38,9 |
8,6 |
27,6 |
91,5 |
93,5 |
20,0 |
80,0 |
Kota Blitar |
7,6 |
13,0 |
6,7 |
Akut |
55,6 |
11,7 |
28,4 |
92,3 |
93,3 |
80,0 |
0,0 |
Kota Malang |
13,2 |
24,1 |
7,6 |
Akut-Kronis |
49,4 |
10,1 |
28,0 |
91,6 |
92,3 |
33,3 |
41,7 |
Kota Probolinggo |
23,2 |
27,6 |
11,1 |
Akut-Kronis |
51,6 |
14,5 |
21,0 |
92,8 |
100,0 |
60,0 |
40,0 |
Kota Pasuruan |
23,9 |
28,1 |
13,4 |
Akut-Kronis |
48,6 |
8,3 |
20,6 |
95,3 |
93,3 |
60,0 |
20,0 |
Kota Mojokerto |
4,9 |
11,9 |
3,1 |
Baik |
46,9 |
17,1 |
32,8 |
90,1 |
100,0 |
85,7 |
14,3 |
Kota Madiun |
13,5 |
14,7 |
7,5 |
Akut |
52,2 |
9,9 |
26,5 |
92,5 |
100,0 |
66,7 |
33,3 |
Kota Surabaya |
17,1 |
23,2 |
9,8 |
Akut-Kronis |
57,7 |
11,7 |
27,2 |
88,5 |
100,0 |
81,8 |
18,2 |
Kota Batu |
14,2 |
32,7 |
6,5 |
Akut-Kronis |
42,4 |
8,1 |
33,1 |
92,4 |
94,1 |
27,3 |
54,5 |
JATIM |
17,3 |
26,1 |
9,7 |
Akut-Kronis |
50,7 |
12,0 |
31,3 |
91,9 |
94,9 |
51,5 |
42,7 |
Tabel 3.2 Data Hasil Pemantauan
Status Gizi Provinsi Jawa Timur tahun 2016
Sumber : Survei PSG tahun 2016
3.2.2 Cakupan Kegiatan
Inisiasi Menyusui Dini Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur
Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
merupakan salah satu faktor penting yang secara langsung dapat mempengaruhi
kondisi gizi bayi dan balita. Hal tersebut disebabkan karena kegiatan IMD
memiliki banyak manfaat yang dapat mendukung kehidupan bayi pada 1000 hari
pertama kehidupannya. Sebagai salah satu indikator kinerja program gizi,
keberhasilan kegiatan IMD yang digalakkan dengan baik akan menentukan penurunan
atau kenaikan status gizi balita di suatu wilayah.
Kegiatan Pemantauan Status Gizi tahun 2017 telah
membagi indikator cakupan IMD tersebut berdasarkan jenis frekuensi
perlakuannya, yaitu IMD yang dilakukan ≥ 1 jam dan IMD yang dilakukan < 1
jam. Hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2017 menunjukkan bahwa rata-rata ibu di
Jawa Timur yang melakukan kegiatan IMD ≥ 1 jam hanya sebesar 7,6% atau hanya
sekitar 7-8 dari 100 orang yang telah melakukan IMD sesuai standar yang telah
ditetapkan oleh Kemenkes. Akan tetapi, sebanyak 56% ibu melakukan kegiatan IMD
< 1 jam. Dengan begitu, cakupan program IMD ≥ 1 jam yang telah ditetapkan
sesuai standar Kemenkes belum dilaksanakan secara luas oleh masyarakat.
Kabupaten Nganjuk merupakan kabupaten dengan angka cakupan IMD < 1 jam
tertinggi yaitu 78,6% dan cakupan IMD ≥ 1 jam hanya 1,9%.
Kabupaten
Bangkalan dengan angka tertinggi untuk seluruh kasus kekurangan gizi balita di
Jawa Timur memiliki persentase 66,7% untuk cakupan IMD < 1 jam dan termasuk
dalam 3 kabupaten/kota teratas yang memiliki persentase tertinggi IMD < 1
jam. Jumlah cakupan IMD ≥ 1 jam di kabupaten tersebut sekaligus menjadi yang
terkecil di Jawa Timur, yaitu sekitar 1,3%.
3.2.3 Cakupan Kegiatan
ASI Eksklusif Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur
Cakupan pemberian ASI Eksklusif
terhadap balita mempengaruhi jumlah kasus stunting
di beberapa wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur. Kabupaten Sampang adalah
kabupaten dengan cakupan pemberian ASI Eksklusif tertinggi di wilayah Jawa
Timur yaitu sebesar 52,3%. Sebanyak 20 (52,63%) wilayah kabupaten/kota telah
memiliki cakupan pemberian ASI Eksklusif di atas rerata wilayah Provinsi Jawa
Timur (34,9%) sehingga dapat dikatakan baru sekitar separuh kabupaten/kota di
Jawa Timur yang telah melaksanakan program pemberian ASI eksklusif dengan
capaian di atas rata-rata provinsi.
Dari
20 wilayah tersebut, sebanyak 13 (65%) wilayah memiliki jumlah kasus prevalensi
stunting di bawah rerata Provinsi
Jawa Timur. Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan cakupan pemberian ASI Eksklusif
akan berdampak pada menurunnya angka kejadian stunting di wilayah tersebut.
3.2.4 Cakupan Pemberian
Vitamin A Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur
Vitamin A berperan penting untuk
membentuk sistem imunitas bayi dan balita sehingga dapat membantu menurunkan
risiko terjadinya penyakit infeksi yang menghambat fungsi pencernaan pada bayi
dan balita. Oleh sebab itu, cakupan pemberian vitamin A terhadap populasi
balita akan mempengaruhi jumlah kasus stunting
di suatu wilayah. Rata-rata pemberian vitamin A untuk balita di Jawa Timur
mencapai angka 95,8%. Kabupaten Ngawi adalah kabupaten dengan cakupan pemberian
vitamin A tertinggi di Jawa Timur yaitu sebesar 99,6%. Meskipun cakupan
pemberiannya tinggi, prevalensi underweight,
stunting, dan wasting di wilayah
tersebut masih berada di atas rata-rata cakupan pemberian vitamin A di wilayah
Jawa Timur.
Sebanyak
20 (52,63%) wilayah kabupaten/kota telah memiliki cakupan pemberian vitamin A
di atas rerata wilayah Provinsi Jawa Timur sehingga dapat dikatakan hanya
sekitar separuh kabupaten/kota di Jawa Timur yang telah melaksanakan program
pemberian vitamin A di atas rata-rata capaian provinsi. Sebanyak 16 (80%)
wilayah dari 20 wilayah tersebut memiliki jumlah kasus prevalensi stunting di bawah rerata Provinsi Jawa
Timur. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan cakupan pemberian vitamin A pada
balita akan berdampak pada menurunnya angka kejadian stunting di wilayah tersebut.
3.2.5 Cakupan Pemberian
Makanan Tambahan untuk Balita Kurus Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur
Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) untuk balita kurus dapat membantu pemenuhan gizi balita
sehingga terjadinya masalah kurang gizi dapat dicegah atau disembuhkan apabila
masalah gizi telah terjadi. Rata-rata cakupan PMT untuk balita kurus di Jawa
Timur mencapai angka 94,3%. Sebanyak 22 (57,89%) wilayah kabupaten/kota telah
memiliki cakupan PMT di atas rerata wilayah Provinsi Jawa Timur. Sebanyak 14
(63,64%) wilayah dari 22 wilayah tersebut memiliki jumlah kasus prevalensi stunting di bawah rerata Provinsi Jawa
Timur. Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan cakupan pemberian makanan
tambahan juga dapat membantu menurunkan angka kejadian stunting di wilayah tersebut.
3.2.6 Cakupan Pemberian
Tablet Tambah Darah untuk Ibu Hamil Tiap Kabupaten/Kota Jawa Timur
Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD)
untuk ibu hamil merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya anemia
pada ibu hamil. Tablet Tambah Darah juga membantu ibu selama masa persalinan
untuk mencegah adanya pendarahan berlebihan yang dapat mengancam jiwa ibu dan
juga bayi. Selama masa kehamilan, ibu hamil memerlukan kecukupan nutrisi untuk
dirinya maupun janin yang dikandung. Suplai nutrisi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan janin yang dikandung menjadi lemah dan rentan untuk mengalami
keguguran maupun terjadinya stunting saat
kelahiran. Oleh sebab itu, indikator cakupan kinerja pemberian TTD untuk ibu
hamil dapat menjadi penentu tingkat kejadian kekurangan gizi, seperti stunting¸ di suatu wilayah. Kementerian
Kesehatan telah menetapkan standar jumlah Tablet Tambah Darah (TTD) yang harus
diperoleh dan dikonsumsi ibu hamil selama kehamilan adalah 90 tablet atau
lebih. Pemenuhan TTD tersebut harus dilakukan secara masif di seluruh wilayah
di Indonesia guna mencegah terjadinya gangguan masa dan pasca-kehamilan baik
bagi ibu maupun bayi itu sendiri.
Data PSG 2017
menunjukkan bahwa cakupan Tablet Tambah Darah bagi ibu hamil hanya sebesar
41,6% atau tidak sampai separuh dari seluruh populasi ibu hamil di Jawa Timur.
Grafik TTD menunjukkan bahwa Kabupaten Pamekasan merupakan kabupaten dengan
cakupan TTD ≥ 90 tablet terendah, yaitu hanya 5,1% dan Kota Batu menduduki
posisi kedua dengan cakupan sebesar 9,1%. Dampak kurangnya pemenuhan TTD ≥ 90
tablet bagi kedua wilayah tersebut adalah tingginya kasus stunting di wilayah tersebut serta tingginya kasus wasting di wilayah Pamekasan.
3.3 Tahap Analisis Data
3.3.1 Perbandingan Cakupan Program
Gizi Jawa Timur dengan Target Nasional
Menurut
Hasil PSG status gizi balita bedasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB Provinsi Jawa
Timur tahun 2017 berturut turut sebesar 15.5%, 26.7%, dan 6.9%. Dari persentase
ini, Jawa Timur termasuk ke dalam provinsi yang berstatus ‘Akut-Kronis’. Jika
dibandingkan dengan rata-rata nasional, prevalensi balita Jawa Timur 2.3% lebih
rendah untuk masalah gizi underweight; 2.9% lebih rendah untuk masalah gizi
stunting; dan 2.6% lebih rendah untuk masalah gizi wasting. Jika dibandingkan
dengan prevalensi pada tahun 2016, prevalensi balita Jawa Timur underweight dan
wasting berturut-turut turun sebesar 1.8% dan 2.8%. namun untuk prevalensi
stunting naik sebesar 0.5%.
|
Under weight |
Stunting |
Wasting |
ASI Ekslusif |
IMD <1 jam |
TTD ≥90 tablet |
PMT |
Vit A |
Jawa Timur tahun 2017 |
15.5 |
26.6 |
6.9 |
34.9 |
56 |
41.6 |
94.3 |
95.8 |
Nasional tahun 2017 |
17.8 |
29.6 |
9.5 |
35.7 |
51.3 |
31.3 |
59.1 |
94.7 |
Jawa Timur tahun 2016 |
17.3 |
26.1 |
9.7 |
31.3 |
50.7 |
51.5 |
94.9 |
91.9 |
Nasional tahun 2016 |
17.8 |
27.5 |
11.1 |
29.5 |
42,6 |
40,2 |
36.8 |
90.1 |
Tabel 3.6 Tabel Perbandingan Masalah
Cizi dan Program Gizi
Untuk indikator program gizi,
cakupan balita Provinsi Jawa Timur yang mendapat ASI Eksklusif tahun 2017
sebesar 34.9%. Angka ini 0.8% lebih rendah dari rata-rata cakupan ASI Eksklusif
Nasional tetapi jika dibandingkan dengan tahun 2016 cakupannya naik sebesar
3.6%. Dari angka ini dapat kita ketahui
bahwa pemberian ASI eksklusif masih jauh dari harapan. Secara nasional, target
cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 44%. Namun, angka
ini belum mencapai dari target cakupan ASI eksklusif yang ditetapkan oleh
pemerintah. (Kementrian Kesehatan RI, 2019)
Cakupan bayi baru lahir Provinsi
Jawa Timur tahun 2017 yang mendapat IMD <1 jam yaitu 56%. Angka ini lebih
tinggi 4.7% dari rata-rata Nasional. Jika dibandingkan dengan tahun 2016,
cakupan naik 5.3%. Untuk balita yang tidak mendapat IMD Provinsi Jawa Timur
pada tahun 2017 sebanyak 36.4%. angka ini ternyata turun sebesar 0.9% jika
dibandingkan dengan tahun 2016. Target nasional cakupan bayi yang mendapatkan
IMD pada tahun 2017 sebesar 44%. Dari sini dapat kita lihat bahwa program ini
telah melampaui target yang ditetapkan pemerintah. (Kementrian Kesehatan RI,
2019)
Tablet Tambah Darah (TTD) sebaiknya didapat dan
dikonsumsi oleh ibu hamil selama masa kehamilan minimal 90 tablet. Cakupan ibu
hamil Provinsi Jawa Timur tahun 2017 yang mendapatkan TTD ≥90 tablet sebesar
41.6%. Angka ini lebih tinggi 10.3% dari rata-rata cakupan pemberian TTD
nasional. Jika dibandingkan dengan tahun 2016, cakupan Provinsi Jawa Timur
turun sebesar 9.9%. Target pemberian TTD 90 tablet selama masa kehamilan tahun
2017 sebesar 90%. Dari sini dapat diketahui bahwa cakupan program pemberian
tablet tambah darah 90 tablet selama masa kelamilan masih jauh dari yang di
targetkan.
Cakupan balita Provinsi Jawa Timur
tajun 2017 yang mendapat PMT sebesar 94.3%. Angka ini lebih tinggi 35.2% dari
rata-rata cakupan pemberian PMT nasional. Dibandingkan dengan tahun 2016, angka
cakupan provinsi Jawa Timur turun sebesar 0.6%. Target Balita kurus yang
mendapat makanan tambahan sebesar 80%, jadi program ini telah melampaui target
nasional. Cakupan balita Provinsi Jawa Timur tahun 2017 yang mendapat kapsul
vitamin A sebesar 95.8%. angka ini lebih tinggi 1.1% dari rata-rata Nasional.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, cakupan pemberian kapsul vitamin A
naik sebesar 3.9%. Target cakupan
pemberian vitamin A nasional adalah 80%. Dari sini dapat dilihat bahwa cakupan program
pemberian kapsul vitamin A telah melampaui target.
3.3.2 Perbandingan Cakupan Program Gizi Antar
Kabupaten/Kota di Jawa Timur
Dari hasil rata-rata capaian
program-program tersebut, hanya sekitar 21 wilayah di Jawa Timur yang memiliki
persentase cakupan program di atas rata-rata cakupan Jawa Timur. Dengan kata
lain, cakupan program-program gizi tersebut hanya menaungi sekitar separuh
wilayah atau separuh populasi ibu dan bayi di Jawa Timur. Oleh karenanya, angka
kejadian kurang gizi (underweight, stunting,
dan wasting) balita di Jawa Timur
masih tetap berada pada kategori akut-kronis (PSG, 2017) serta kategori buruk
(World Health Organization, 2000).
Cakupan pemberian IMD, pemberian ASI
Eksklusif, pemberian vitamin A, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita
kurus, dan pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) pada ibu hamil digunakan sebagai
indikator kinerja program gizi dilakukan karena seluruh faktor tersebut
berpengaruh secara langsung terhadap status gizi dan kesehatan bayi dan balita.
Oleh sebab itu, keberhasilan cakupan dari seluruh program tersebut menjadi
penting bagi suatu wilayah karena juga dapat mempengaruhi tingkat kejadian
masalah gizi balita sebagai bentuk outcome
dari indikator cakupan tersebut.
Dari hasil pemetaan grafik scatter plot dapat ditelaah bahwa
wilayah dengan cakupan pemberian ASI Eksklusif, pemberian vitamin A, dan
pemberian makanan tambahan yang tinggi akan cenderung memiliki angka kejadian stunting dan wasting di bawah rata-rata Jawa Timur. Untuk wilayah dengan angka
cakupan yang rendah, program-program gizi tersebut tidak terlalu berdampak
signifikan terhadap angka kejadian stunting
tetapi berdampak signifikan untuk kejadian wasting.
Hal ini disebabkan karena permasalahan stunting
merupakan masalah kronis yang bisa terjadi secara menahun dan dapat
dipengaruhi oleh faktor lain yang lebih mendasari, seperti faktor
sosial-ekonomi dan ketahanan pangan suatu wilayah. Sedangkan, program-program
gizi tersebut lebih untuk mencegah atau meningkatkan sistem kekebalan bayi dan
balita untuk menurunkan risiko terjadinya gizi buruk yang akut, seperti wasting.
Pengaruh cakupan program pemberian
pemenuhan gizi balita terhadap status gizi balita di suatu wilayah dapat
dilihat dari salah satu wilayah dengan angka kejadian kurang gizi yang tergolong
tinggi, yaitu Kabupaten Bangkalan. Kabupaten Bangkalan memiliki 27,9% kasus underweight, 43% kasus stunting, dan 12% kasus wasting. Seluruh angka tersebut
merupakan angka prevalensi tertinggi untuk seluruh wilayah di Jawa Timur.
Apabila dianalisis dari cakupan seluruh indikator program pemenuhan gizi balita
di wilayah tersebut, beberapa indikator program gizi, seperti pemberian IMD,
pemberian Vitamin A, dan pemberian PMT untuk balita di wilayah tersebut belum
memenuhi capaian rata-rata Jawa Timur.
Hanya sebesar 1,3% populasi ibu
hamil di Kabupaten Bangkalan yang melakukan Inisiasi Menyusui Dini selama satu
jam atau lebih sesuai anjuran dari Kementerian Kesehatan. Padahal, pola asuhan
pemberian IMD dapat memberikan manfaat positif bagi bayi baru dilahirkan dalam
bentuk sistem kekebalan tubuh yang didapat dari kolostrum ASI yang baru pertama
kali dikeluarkan ibu setelah melahirkan. Penyapihan dilakukan selama satu jam
dimaksudkan agar terjadi adanya efek bonding
antara ibu dan bayinya sehingga dapat membantu meningkatkan hubungan kasih
sayang antara ibu dan anaknya. Cakupan yang terlalu kecil tersebut dapat
menjadi salah satu faktor pengaruh tingginya angka kejadian balita kurang gizi
di Kabupaten Bangkalan.
Selain
pemberian IMD, pemberian makanan tambahan untuk balita kurus di wilayah
Bangkalan juga hanya sebesar 82,6%, selisih 11,7% dari rata-rata cakupan PMT
Jawa Timur. Pemberian makanan tambahan yang dilakukan baik di puskesmas maupun
posyandu menjadi kebutuhan yang penting untuk menangani balita kurus karena
dapat membantu menyuplai kebutuhan nutrisi yang belum tercukupi. Cakupan
pemenuhan PMT di suatu wilayah harus mampu menyuplai seluruh balita yang
diidentifikasi mengalami masalah kekurangan gizi. Cakupan PMT di wilayah
Bangkalan terlalu sedikit untuk menangani masalah kurang gizi di kabupaten
tersebut sehingga angka stunting dan wasting masih terlalu tinggi.
3.3.3 Hubungan Antara Kinerja Program Gizi dengan
Permasalahan Gizi
Cakupan
program ASI Eksklusif Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 meningkat jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini berpengaruh terhadap penurunan
angka kejadian underweight dan wasting Provinsi Jawa Timur. Untuk angka
kejadian stunting, pemberian ASI Eksklusif tidak memberi pengaruh yang
signifikan karena angka kejadian stunting meningkat dari tahun 2016. Hal ini
dapat saja terjadi karena stunting merupakan masalah gizi kronis yang dapat
disebabkan karena banyak faktor (multifactor) misalnya kemiskinan, perilaku
hidup tidak sehat, serta asupan makanan yang kurang dalam waktu lama. Sedangkan
underweight dan wasting merupakan masalah gizi akut sebagai akibat dari
peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat sehingga dapat ditangani dengan
perbaikan asupan gizi balita. Itulah mengapa program perbaikan gizi seperti
pemberian ASI, IMD, dan PMT lebih menunjukan pengaruh yang signifikan pada
masalah gizi kronis.
Program yang selanjutnya adalah
inisiasi menyusui dini. Cakupan program IMD Provinsi Jawa Timur tahun 2017
meningkat dibandingkan dengan tahun 2016. Peningkatan ini berpengaruh pada
penurunan angka kejadian underweight dan wasting tetapi tidak berpengaruh
signifikan pada angka kejadian stunting. cakupan pemberian kapsul Vitamin A
Provinsi Jawa Timur tahun 2017 juga meningkat jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Hal ini juga memberi pengaruh pada penurunan angka kejadian
underweight dan wasting. Namun pemberian vitamin A ini juga tidak memberi
dampak yang signifikan terhadap penurunan angka kejadian stunting.
Cakupan pemberian tablet tablet
tambah darah Provinsi Jawa Timur tahun 2017 juga mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya. hal ini memberi dampak terhadap meningkatnya angka kejadian
stunting tetapi tidak menunjukan pengaruh yang besar pada angka kejadian
underweight dan wasting. Hal ini dapat terjadi karena tablet tambah darah ini
diberikan kepada ibu hamil sebagai upaya preventif agar bayi tidak mengalami
BBLR sehingga TTD ini memberi pengaruh yang signifikan pada masalah gizi
kronis. Cakupan pemberian PMT Provinsi Jawa Timur tahun 2017 mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan penurunan angka
kejadian wasting karena program pemberian makanan tambahan ini ditujukan kepada
balita kurus sehingga apabila jumlah balita wasting mengalami penurunan maka
ini berdampak pada berkurangnya jumlah balita yang harus diberi PMT.
Tinggi rendahnya cakupan program
gizi merupakan penentu tinggi rendahnya kejadian status gizi balita di suatu
wilayah karena program-program gizi tersebut memiliki dampak yang penting untuk
meningkatkan gizi masyarakat. Adanya hasil pemantauan status gizi di suatu
wilayah dapat membantu pemerintah untuk mengetahui kecenderungan masalah dan capaian
program gizi serta membantu memetakan wilayah berdasarkan tingkat urgensinya
sehingga membantu pemerintah untuk merumuskan kebijakan serta intervensi di
wilayah tersebut. Berbicara mengenai cakupan program gizi, intervensi yang
dilakukan oleh pemerintah dapat berupa peningkatan distribusi suplemen gizi,
pemerataan pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan di seluruh wilayah, serta
pembekalan pengetahuan gizi secara kontinu dengan memanfaatkan kader maupun
tokoh masyarakat setempat untuk dapat meningkatkan pengetahuan ibu terhadap
pentingnya kesehatan gizi bayi dan balita.
3.4 Tahap Diseminasi
/ Penyebarluasan Informasi
Angka rata-rata cakupan beberapa
program gizi (Tabel 3.1) di Jawa Timur telah berada di atas rata-rata nasional
kecuali untuk program ASI Eksklusif, namun angka cakupan tersebut masih jauh
dari target nasional. Langkah diseminasi atau penyebarluasan informasi yang
dapat dilakukan oleh Kementerian Kesehatan sebagai bagian dari pemerintah pusat
adalah memberikan umpan balik pencapaian kinerja surveilans gizi kepada lintas
sektor tingkat Provinsi Jawa Timur serta melakukan advokasi kepada pimpinan
daerah. Dengan adanya kegiatan diseminasi ini, Kementerian Kesehatan bersama
dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dapat berdiskusi mengenai intervensi yang
sesuai untuk menanggulangi maupun mencegah timbulnya permasalahan.
Hasil diskusi mengenai intervensi
dan rekomendasi kebijakan penanggulangan yang telah didiskusikan, selanjutnya
akan diadvokasikan kembali kepada Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota maupun
kepala daerah kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur. Pemerintah provinsi bersama
pemerintah daerah akan berdiskusi bersama untuk menentukan strategi kebijakan
dan intervensi yang tepat disesuaikan juga dengan hasil analisis data yang
telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah
provinsi juga menentukan daerah mana saja yang harus menjadi prioritas utama
untuk cakupan intervensi program gizi. Hasil perencanaan strategi kebijakan
tersebut selanjutnya dituangkan dalam rincian anggaran daerah atau APBD.
Proses penyebarluasan informasi
hasil surveilans gizi ini selanjutnya akan berlangsung secara terus-menerus
hingga fasilitas pelayanan kesehatan paling rendah, seperti Puskesmas dan
Posyandu. Begitu pula dengan hasil perumusan kebijakan yang telah dibentuk
masing-masing pemerintah daerah dapat diterapkan lebih lanjut disesuaikan
dengan otonomi daerah masing-masing.
3.5 Rekomendasi
Berdasarkan data-data di atas, maka
rekomendasi yang dapat diberikan untuk mencegah peningkatan kasus underweight, stunting, dan wasting,
serta meningkatkan cakupan bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif, cakupan
bayi baru lahir yang mendapat IMD, cakupan ibu hamil yang mendapatkan TTD
selama masa kehamilan, cakupan balita yang mendapat makanan tambahan, dan
peningkatan cakupan balita yg mendapat kapsul vitamin A adalah sebagai berikut:
- Meningkatkan
pendidikan gizi masyarakat melalui penyediaan materi KIE dan Kampanye,
yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan
masyarakat untuk berperilaku sadar gizi. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kekurangan gizi,
penyebab dan akibatnya, agar mereka termotivasi untuk berperan serta dalam
upaya penanggulangannya, serta meningkatkan kemampuan keluarga/masyarakat
dalam pencegahan, penemuan dini kasus dan mencari pertolongan pelayanan,
pendampingan pada rawat jalan dan proses rehabilitasi, serta pemantauan
berkesinambungan agar kekurangan gizi tidak terulang. Misalnya dalam ASI
Eksklusif, edukasi mengenai pentingnya ASI Eksklusif dan IMD harus
dilakukan karena, keberhasilan dalam menyusui berkaitan erat dengan adanya
dukungan dan dorongan dari orang-orang disekitar ibu, yaitu keluarga.
Diharapkan, suatu pemberian informasi melalui media komunikasi, informasi,
dan edukasi dalam meningkatkan penggunaan ASI, sehingga menambah keyakinan
ibu-ibu bahwa mereka akan dapat menyusui bayinya dengan sukses.
- Memenuhi
kebutuhan obat program gizi terutama kapsul vitamin A dan TTD melalui
optimalisasi sumber daya pusat dan daerah sebagai bentuk pencegahan
masalah gizi. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah dan mengurangi
timbulnya masalah gizi, baik masalah gizi makro maupun gizi mikro.
- Meningkatkan
kemampuan dan keterampilan petugas dalam pemantauan pertumbuhan, konseling
menyusui dan MPASI, tata laksana gizi buruk, surveilans dan program gizi
lainnya. Kegiatan ini ditujukan untuk menanggulangi masalah gizi buruk
pada balita.
- Meningkatkan
pelayanan gizi ibu hamil berupa pemberian TTD dan skrining ibu hamil KEK
dengan pelayanan antenatal (ANC). Untuk itu, perlu mengecek persediaan TTD
dan segera distribusikan ke BDD untuk diberikan kepada ibu hamil yang
belum mendapatkan TTD.
- Mengoptimalkan
advokasi dan peningkatan kolaborasi dengan program dan sektor terkait,
mitra, pihak swasta dan masyarakat dalam rangka mencegah terjadinya gizi
kurang/buruk pada balita, antara lain dalam hal tumbuh kembang anak,
pencegahan penyakit menular, penyediaan air bersih dan sanitasi, pertanian
dan peternakan, ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, monitoring dan
evaluasi, dll.
- Meningkatkan
ketersediaan pedoman/protokol penanggulangan gizi buruk yang didukung
ketersediaan peralatan, tempat, dan obat-obatan dalam melaksanakan
tatalaksana gizi buruk pada balita. Misalnya dalam memberikan pelayanan
rawat jalan: untuk balita usia 6-59 bulan dengan gizi buruk tanpa
komplikasi. Di mana layanan ini dilakukan di fasilitas kesehatan
primer/puskesmas. Pelayanan rawat inap untuk: bayi < 6 bulan dengan
gizi buruk (dengan atau tanpa komplikasi); balita gizi buruk usia 6-59
bulan dengan komplikasi dan/atau penyakit penyerta yang diduga dapat
menyebabkan gizi buruk, seperti TB dan HIV; serta semua bayi berusia di
atas 6 bulan dengan berat badan kurang dari 4 kg. Rawat inap dilakukan di
puskesmas perawatan yang mampu memberi pelayanan balita gizi buruk dengan
komplikasi (kecuali pada bayi < 6 bulan harus di rumah sakit),
Therapeutic Feeding Centre, RS pratama, serta RS tipe C, B dan A.
- Menjadikan
penanggulangan gizi kurang/buruk pada balita sebagai upaya prioritas
wilayah yang harus segera diatasi dengan langkah-langkah peningkatan
deteksi dini kasus, dan meningkatkan cakupan penanganan kasus dengan
pelayanan yang berkualitas.
- Meningkatkan
sistem informasi dan pelaporan gizi buruk/kurang/masalah gizi lainnya di
setiap tingkatan wilayah, agar masalah gizi tersebut cepat terdeteksi dan
ditangani. Hal ini karena, kasus kekurangan gizi yang ditemukan sedini
mungkin, dapat mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang yang mungkin
timbul.
- Meningkatkan
fungsi posyandu dan penggerakan masyarakat secara intensif untuk
pemantauan pertumbuhan balita dan tindak lanjutnya, identifikasi gizi
kurang/buruk, serta penggerakan dalam upaya ketahanan pangan keluarga dan
masyarakat.
3.6
Peran Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam Surveilans
Seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat
(SKM) yang bisa disebut dengan tenaga kesehatan masyarakat sangat berperan
dalam surveilans, termasuk surveilans gizi, mulai dari penilaian pendahuluan
hingga penyampaian informasi hasil surveilans tersebut. Hal ini sesuai dengan
fungsi mereka yang berfokus pada melaksanakan pelayanan UKM di tingkat
masyarakat. (Bappenas, 2019)
Pada
tahap awal atau penilaian pendahuluan surveilans tentang status gizi kurang
pada balita, tenaga kesehatan masyarakat berperan dalam melakukan penilaian
keadaan serta kondisi di daerah Jawa Timur sebagai daerah yang akan dilakukan
surveilans untuk menentukan desain yang tepat untuk surveilans gizi. Penilaian
ini meliputi beberapa hal, seperti:
- Jenis, tingkat, dan waktu
terjadinya masalah gizi khususnya gizi kurang pada balita
Hasil penilaian ini dapat digunakan
untuk membedakan kelompok yang beresiko.
- Pengenalan dan penggambaran
kelompok khusus yang memiliki resiko
Pada penilaian ini, digunakan 3
klasifikasi, yaitu:
a. Keadaan biologis: umur, jenis
kelamin, gangguan kesehatan lain.
b. Situasi fisik: jenis daerah
(kota/desa), ekologi, jenis pangan, geografis, sanitasi
c. Sosio-ekonomis dan budaya, meliputi:
kelompok etnis atau budaya, pekerjaan, pelayanan kesehatan.
- Faktor yang menyebab masalah
gizi khususnya gizi kurang pada
balita
Penilaian ini dapat dilakukan dengan
menganalisis data yang tersedia. Dari hasil analisis tersebut akan dihasilkan
berbagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya masalah gizi yang tengah
dihadapi.
- Menentukan sumber data yang
tersedia dan dapat digunakan oleh sistem surveilans gizi
Setelah melakukan penilaian
pendahuluan, tenaga kesehatan masyarakat turut dalam melakukan pengumpulan
data. Dalam pengumpulan data ini dilakukan penentuan indikator-indikator yang
akan digunakan dalam surveilans gizi. Pemilihan indikator ini harus
mempertimbangkan kemudahan perhitungan, kecepatan dan frekuensi ketersediaan
data, serta biaya Dalam masalah yang kami bahas ini, indikator yang digunakan
adalah indikator masalah gizi (persentase balita underweight, stunting, dan wasting)
dan indikator program gizi (cakupan bayi usia 6 bulan mendapatkan ASI
Eksklusif, bayi baru lahir mendapat IMD, ibu hamil mendapatkan TTD, balita
kurus mendapatkan PMT, dan balita mendapatkan kapsul vitamin A)(Syafei, 2010).
Tahap selanjutnya adalah pengolahan,
analisis, dan interpretasi hasil surveilans gizi. Hal ini sesuai dengan
kompetensi lulusan SKM yaitu mampu melakukan kajian dan analisis situasi.
Tenaga kesehatan masyarakat melakukan analisis antara hasil dan target yang
ditetapkan sebelumnya untuk dapat mengidentifikasi masalah. Dari hasil analisis
ini dibuat tanggapan maupun saran mengenai tindakan yang dapat dilakukan untuk
menghadapi masalah (Syafei, 2010).
Setelah didapat informasi yang
tepat, tenaga kesehatan masyarakat dapat menyebarkan informasi ini kepada pihak
yang berkepentingan dengan bahasa yang mudah dipahami, hal ini sesuai dengan
kompetensi lulusan SKM yaitu dapat berkomunikasi secara efektif sehingga
informasi tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menentukan arah kebijakan
kegiatan, upaya pengendalian dan evaluasinya. Selain penyampaian informasi yang
dihasilkan, tenaga kesehatan masyarakat juga berperan dalam menyampaikan
rekomendasi. (Syafei, 2010).
.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada tahun 2017 status gizi balita
di provinsi Jawa Timur berada pada tingkat akut-kronis, yang artinya
masalah-masalah gizi balita yang terjadi berada pada tingkat akut dan kronis.
Ditinjau dari masing-masing kondisi status gizi di Jawa Timur, indikator akut
dan kronis tersebut berdasarkan persentase rata-rata prevalensi balita pendek (stunting) sebesar 26,7% (≥20%), balita kurus (wasting)
dengan persentase 6,9% (≥5%), dan balita underweight (gizi buruk/gizi kurang) sebesar
15,5%. Seluruh prevalensi balita kurang gizi tersebut termasuk klasifikasi
“kurang” menurut klasifikasi WHO tentang masalah kesehatan masyarakat untuk
prevalensi kurang gizi.
Bayi baru lahir Provinsi Jawa Timur tahun 2017
yang mendapat IMD <1 jam sebesar 56%. Angka ini lebih tinggi 4.7% dari
rata-rata Nasional dengan target sebesar 44%. Sehingga cakupan bayi baru lahir
yang mendapat IMD <1 jam telah memenuhi harapan. Hal ini juga memberi
pengaruh pada penurunan angka kejadian underweight dan wasting. Cakupan balita
Provinsi Jawa Timur yang mendapat ASI Eksklusif tahun 2017 sebesar 34.9%. Secara nasional, target cakupan bayi mendapat
ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 44%. Sehingga cakupan pemberian ASI
eksklusif masih jauh dari harapan. Hal ini berpengaruh terhadap perubahan angka
kejadian underweight dan wasting Provinsi Jawa Timur. Balita Provinsi Jawa
Timur tajun 2017 yang mendapat PMT sebesar 94.3%. Angka ini lebih tinggi 35.2%
dari rata-rata cakupan pemberian PMT nasional dengan target balita kurus yang
mendapat makanan tambahan sebesar 80%, jadi program ini telah memenuhi harapan.
program PMT memiliki pengaruh terhadap penurunan angka kejadian wasting.
Cakupan ibu hamil Provinsi Jawa Timur tahun 2017 yang mendapatkan TTD ≥90
tablet sebesar 41.6%. Angka ini lebih tinggi 10.3% dari rata-rata cakupan
pemberian TTD nasional, namun diketahui bahwa cakupan program pemberian tablet
tambah darah 90 tablet selama masa kelamilan masih jauh dari yang di targetkan
(90%). Ada hubungan antara pemberian tablet tablet tambah darah kepada ibu
hamil dengan angka kejadian stunting dan BBLR. balita Provinsi Jawa Timur tahun
2017 yang mendapat kapsul vitamin A sebesar 95.8%. angka ini lebih tinggi 1.1%
dari rata-rata Nasional. Target cakupan pemberian vitamin A nasional adalah
80%. Dari sini dapat dilihat bahwa cakupan program pemberian kapsul vitamin A
telah melampaui target. Ada hubungan antara pemberian vitamin A kepada balita
dengan angka kejadian underweight dan
wasting.
Dari hasil rata-rata capaian
program-program gizi tersebut hanya menaungi sekitar separuh wilayah atau separuh
populasi ibu dan bayi di Jawa Timur. Oleh karenanya, angka kejadian kurang gizi
(underweight, stunting, dan wasting) balita di Jawa Timur masih
tetap berada pada kategori akut-kronis
4.2 Saran
Masyarakat diharapkan dapat lebih
aktif untuk mencari informasi terkait dengan gizi balita, seperti membaca
informasi yang terdapat di buku KIA atau pun sering bertanya pada tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan terdekat. Bagi Jurusan Kesehatan Masyarakat
Perlu upaya peningkatan pengetahuan dan sikap melalui pengabdian, serta perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor lain yang
mungkin berhubungan.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas.
(2019). Fungsi Kesehatan Masyarakat dan
Health Security. Jakarta
BPPSDMK.
(2017). Surveilans Gizi. http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/SURVAILANS-GIZI-FINAL-SC.pdf (Akses tanggal 3 April 2021 pukul
21.29 WIB)
Direktorat
Gizi Masyarakat Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan. (2017). Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun
2016.
Handayani,
R. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Status Gizi pada Anak Balita. Journal Endurance, 217-224.
Kementerian
Kesehatan RI (2018) Buku Saku Pemantauan
Status Gizi Tahun 2017. Jakarta.
Kementerian
Kesehatan RI. (2019). “Laporan Akuntabilitas Kinerja 2018”. Direktorat Gizi Masyarakat, 1–52(9),
1689–1699.
Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Tahun 2017.
Kementerian
Kesehatan, RI. 2019. Pedoman Pencegahan Dan Penatalaksanaan Gizi Buruk Pada
Balita.
Kementerian
Kesehatan RI (2018) Buku Saku Pemantauan
Status Gizi Tahun 2017. Jakarta.
Kementerian
PPN/ Bappenas. PEDOMAN PELAKSANAAN INTERVENSI PENURUNAN STUNTING TERINTEGRASI
DI KABUPATEN/ KOTA. Rencana Aksi Nasional dalam Rangka Penurunan Stunting:
Rembuk Stunting 1–51 (2018).
Syafei,
Abdullah. (2010). Gambaran Pelaksanaan
Sistem Surveilans Gizi Masyarakat di Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Jakarta. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
World
Health Organization (2000) Classification
of Severity of Malnutrition in a Community for Children Under 5 Years of Age
from ‘The Management of Nutrition in Major Emergencies’. Genewa.
Komentar
Posting Komentar